Mereka bicara dalam bahasa Negeri Kaa. Terjemahan.
Para kesatria Vom terlihat kesal karena tak menemukan satu pun anak-anak Vom di dalam rumah ataupun sekitar wilayah pemukiman itu. Mereka mendatangi sang Jenderal dengan tangan hampa ketika wanita berwajah bengis itu sedang mengelap belatinya yang berlumuran darah. Dra yang berhasil diselamatkan olehnya tampak bingung saat melihat para penduduk Gul tergeletak dengan darah ungu melumuri tubuh mereka.
"Jenderal. Anak-anak Vom tak ada di sini," ucap Panglima Goo.
"Hargh!"
DUAKK!!
Para kesatria Vom tertegun karena sang Jenderal tiba-tiba marah. Kiarra menendang sebuah ember terbuat dari besi hingga benda itu terlempar dan menghantam dinding. Para lelaki itu menatap Kia tajam terlihat gugup.
"Aku sudah menduganya! Kurang ajar! Siapa mata-mata kerajaan yang tak memberikan informasi akurat itu? Lihat saja, jika aku bertemu orang itu akan potong kepalanya!" serunya murka dengan napas memburu.
Orang-orang menelan ludah. Mereka tak pernah menyangka jika sang Jenderal akan semarah ini.
"Haruskah kita bakar desa ini agar tak meninggalkan jejak?" tanya Panglima Goo, tetapi hal itu membuat mata Kiarra terbelalak lebar.
"Biarkan saja. Aku ingin melihat bagaimana reaksi Kerajaan Ark saat tahu jika kita berulah di tempat ini. Aku ingin lihat, sejauh mana nyali mereka untuk membalas kita," ujar Kiarra bengis seraya menyarungkan belatinya kembali.
"A-Anda berniat menyulut peperangan?" tanya seorang kesatria. Kiarra menatap tajam lelaki tersebut.
"Menyulut peperangan? Dengan kita sudah menginjakkan kaki di sini, itu sudah menandakan jika Vom siap berperang, dasar goblok!" teriaknya.
"Go-blok? Apa itu?" tanya Goo heran.
"Bodoh! Idiot! Stupid!" jawab Kiarra yang membuat semua orang malah kebingungan dengan bahasanya.
Kiarra tahu jika orang-orang itu akan bingung dengan ucapannya. Kiarra juga menyadari satu hal. Selama ini, ia bisa memahami bahasa orang-orang itu karena pengetahuan bahasa Kia di Negeri Kaa sudah terserap olehnya. Hanya saja, Kiarra yang dulunya memang menguasai bahasa Jepang, Inggris, Indonesia dan Mandarin seperti membuat bahasa-bahasa itu spontan tercampur begitu saja ketika ia sedang berbicara.
"Kita pergi dari sini. Sia-sia yang kulakukan jika ternyata tak mendapatkan hasil dari pembantaianku kesekian kali," ucapnya menyombong.
Para kesatria berikut Dra mengangguk pelan. Mereka mulai menaiki kuda dan bersiap untuk meninggalkan desa yang sudah kehilangan penduduknya itu.
"Oh, mana buntalan bekal milikku? Bukankah, aku sudah mengikatnya pada pelana kuda?" tanya seorang kesatria bingung.
"Milikku juga tak ada!" sahut kesatria lainnya.
Kiarra menahan senyum. "Dasar cengeng. Hanya buntalan berisi makanan dan barang-barang tak berguna masih kalian perdebatkan? Memalukan. Apakah kalian akan mati hanya karena harus berpuasa sampai tiba di kerajaan?" sindir Kiarra tajam di mana ia benar-benar menikmati perannya kali ini.
"Ti-tidak, Jenderal. Kami baik-baik saja," jawab salah seorang kesatria dengan pandangan tertunduk.
"Kita pergi. Heyah!" ajak Kiarra seraya memacu kudanya untuk meninggalkan desa Gul.
Dra menoleh dan memandangi para penduduk yang tergeletak bersimbah darah di segala tempat dengan saksama. Ia seperti menyadari sesuatu, tetapi memilih diam dan segera pergi. Rombongan Kiarra memacu kuda dengan cepat sebelum bulan merah muncul. Bagi Kiarra, bulan itu seperti berdarah karena tampak mengerikan dan seperti memancarkan aura pembunuh.
Kaki-kaki kuda bermata ungu itu melaju kencang membelah jalanan tanah untuk kembali ke rumah. Kiarra sudah tak sabar ingin menemui Raja dan menanyakan tujuan misinya. Ia merasa jika berita itu palsu mengingat dirinya juga sudah mencari keberadaan anak-anak Vom, tetapi tak ada jejak di sana. Tepat sebelum bulan merah menampakkan wujud, kuda-kuda telah berhasil tiba usai Kiarra memaksa hewan-hewan berekor ungu itu untuk terus berlari.
Kedatangan Kiarra dan rombongan tentu disambut oleh semua orang. Para dayang Kiarra yang melihat dari atas menara mengembangkan senyuman karena kekasih mereka pulang dengan selamat tak terlihat adanya luka atau berkurangnya anggota pasukan. Mereka bergegas turun untuk menyambut sang majikan. Sayangnya, sang Jenderal tak membalas sambutan penuh suka cita itu. Wajahnya tegang seperti menyimpan sebuah amarah kepada seseorang.
"Jenderal Kia telah kembali!" seru penjaga pintu ruangan aula seraya membuka papan kayu tersebut.
Ruangan besar layaknya aula tampak megah dengan pilar-pilar besar penyangga terbuat dari batu. Kekuatan bangunan itu diperkuat dengan lantai batu bermotif dari pahatan ukiran tangan seorang ahli. Cahaya lilin dan obor pada dinding-dinding bangunan menerangi luasnya ruangan dengan atap menjulang tinggi meski bercahaya redup. Tirai-tirai jendela terikat untuk membiarkan cahaya ungu dari sang bulan mempercantik ruangan kerajaan tersebut.
Ruangan besar yang difungsikan untuk berdiskusi dan menerima tamu, kini telah dipenuhi orang-orang penting di Kerajaan Vom. Raja, ratu dan para petinggi kerajaan berkumpul untuk menyambut kedatangan sang Jenderal berikut Panglima Goo dan Dra. Jubah kebanggaan dikenakan sebagai tanda tingginya jabatan yang mereka junjung. Lapisan kulit pada tubuh diperindah dengan gelang-gelang dan kalung emas untuk melengkapi status bangsawan orang-orang itu.
"Jenderal Kia! Ini adalah tugas tersingkat yang kau emban karena pulang begitu cepat. Kabar baik apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Penasihat Raja dengan rentangan tangan ketika Kiarra, Dra dan Panglima Goo memasuki ruangan.
GLUNDUNG ....
"Oh!" kejut orang-orang dalam ruangan saat Kia menggelundungkan sebuah kepala dengan mulut menganga dari sebuah buntalan kain yang ia bawa.
Ratu sampai terperanjat dan nyaris berteriak karena kaget. Goo dan Dra bahkan tak mengetahui jika isi buntalan milik Kia adalah kepala. Mereka berpikir jika itu adalah perlengkapannya.
"Orang itu bersumpah padaku jika tak ada anak-anak Vom yang diculik. Aku tak percaya dan kupenggal kepalanya. Kubantai seluruh penduduk untuk mencari keberadaan anak-anak itu. Namun, hanya dusta yang kudapatkan di desa itu!" teriak Kiarra marah seraya membanting kain buntalan tersebut ke lantai.
"Apa maksudmu, Jenderal?" tanya sang Raja dengan mata menyipit.
"Tak ada anak-anak Vom di tempat itu! Pasukanku dan Panglima Goo sudah menggeledah seluruh tempat untuk mencarinya. Tak ada jejak mereka di sana! Siapa pemberi informasi palsu itu? Tunjukkan orang itu padaku!" teriaknya marah dengan napas memburu.
"Kia! Jaga bicaramu di depan raja!" seru pejabat tinggi negara yang berada di ruangan tersebut.
Kiarra yang tersulut emosi tak menjawab dan melirik pria itu tajam. Mata orang-orang di ruangan itu terkunci pada sosok sang Jenderal yang terlihat diliputi kebencian.
"Jenderal Kia. Sikapmu hari ini sudah menunjukkan jika kau adalah ancaman bagi kerajaan. Kami baru saja mendapatkan informasi jika dayang-dayangmu yang diusir dari Vom kini memihak kerajaan musuh. Mereka bersekongkol untuk menjatuhkan kerajaan. Mereka akan datang menyerang dalam skala besar dan itu semua karena salahmu!" tunjuk seorang pejabat kerajaan menunjuk.
Mata Kiarra melotot karena kini ia malah disudutkan atas hal yang dirasa benar olehnya.
"Sebagai hukuman, kau akan berada di garis depan untuk menghalau musuh. Bukankah perang adalah kegemaranmu?" sindir sang Ratu, tetapi Kiarra malah terkekeh geli dengan kepala menggeleng.
"Kudengar, Anda tak membakar desa itu, Jenderal Kia. Apakah Anda bermaksud untuk mengobarkan peperangan antara Kerajaan Vom dan Ark dengan meninggalkan jejak?" tanya seorang pejabat dengan senyum liciknya.
"Desa Gul tak seperti yang dikabarkan. Tempat itu hanya dihuni oleh para penduduk miskin. Dibakar atau tidak, Ark tak akan mendatangi kita hanya karena desa tak berharga itu!" tegas Kiarra.
"Kerajaan Ark melindungi desa itu! Sudah pasti Desa Gul berada dalam wilayah kekuasaannya!" seru Raja menunjukkan kemurkaannya.
"Itu tidak benar. Desa Gul berada di perbatasan wilayah Vom dan Ark. Desa itu diasingkan. Mereka tidak masuk dalam kekuasaan Kerajaan Ark," jawab Kiarra mempertahankan pendapatnya.
"Jika benar demikian, kenapa setiap kita melakukan penyerangan, Desa Gul selalu dibantu oleh pasukan Ark?" tanya sang Raja dengan napas memburu.
"Lalu kenapa saat aku datang membantai desa itu, pasukan Kerajaan Ark tak muncul? Jika benar desa itu masuk dalam wilayahnya, seharusnya desa itu dibentengi dan dijaga oleh pasukan Ark. Sedangkan aku? Aku bisa keluar masuk desa itu dengan mudahnya. Bahkan, pembantaian yang kulakukan adalah hal termudah karena penduduknya hanya warga sipil dan bukan seorang prajurit!" jawab Kiarra tak kalah emosi.
Suasana dalam ruangan itu tegang seketika. Raja dan sang Jenderal saling bertatapan tajam.
"Kau meragukan informasi dari mata-mata Kerajaan Vom? Kau tahu hukumannya, Jenderal Kia? Hukumanmu akan lebih berat ketimbang berada di garis depan," tanya Penasihat Raja.
"Akan kuberitahu hukuman yang pantas bagi seorang pendusta. Potong lidah," jawab Kiarra bengis balas menatap penasihat itu.
"Apa kau bermaksud menentang perintah raja?" tanya sang Ratu kembali bicara.
"Perintah mana yang kutentang? Apa Anda tak bisa membedakan? Aku pergi berperang, membantai penduduk sendirian, lalu aku pulang dengan tangan kosong karena tak ditemukan satu pun anak-anak dari Vom. Sebenarnya, siapa di sini yang dungu?" sindir Kiarra tajam.
"Kau menghina Ratu!" seru pejabat tinggi kerajaan menunjuk.
"Dan aku tak segan menghina kalian satu per satu jika tak becus dalam mengelola informasi!" jawabnya menunjuk orang-orang yang duduk di kursi. "Apakah otak kalian tumpul sejak duduk di singgasana itu sehingga tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Bawa kemari mata-mata itu, biar kucongkel matanya dan kupotong lidahnya!" teriak Kiarra geram seraya menarik pedang.
"Dia menentang Raja!" seru pejabat tinggi lainnya.
Dra panik berikut Panglima Goo yang berada di tempat itu. Kiarra ditatap tajam dan dianggap pemberontak di istana. Terlebih, ia dituduh sudah membawa petaka bagi kerajaan usai pengusiran dayang-dayang perempuannya. Kiarra yang diliputi amarah dan kebencian, terpikirkan sebuah ide gila dipikirannya. Wanita itu berjalan mundur dengan pedang masih dalam genggaman tangan kanan. Ia kini sudah lelah berpura-pura menjadi Kia.
"Kalian bilang aku berubah, bukan?" tanyanya dengan sorot mata tajam. Pandangan semua orang di ruangan itu terfokus pada Kia seorang. "Kuberitahukan satu rahasia besar yang hanya diketahui olehku dan Dra," sambungnya yang membuat mata Dra melotot lebar.
***
wah bentar lagi puasa LAP. Lele ucapkan semoga puasa di bulan Ramadhan ini lancar, tidak sakit, dan lancar dalam setiap usaha untuk mendapatkan berkah Illahi. amin❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Wati_esha
Kiarra ... kau masih peka? Tak tahukah posisi mata - mata atau bosnya mata - mata?
2023-04-03
1
Wati_esha
Ada pejabat yang cepat terima informasi Kiarra tak membumi hanguskan desa itu. Berarti ada penyusup di dalam rombongan Kiarra - Goo.
2023-04-03
0
Wati_esha
Mengapa Goo diam saja tak membantu Kiarra?
2023-04-03
0