Zora dan Alby keluar dari ruangan Dokter, ekspresi dari keduanya membuat Rein bisa langsung menebak, bahwa hasilnya tidak terlalu memuaskan.
"Ada panggilan telpon dari sekretaris Anda, Nona." Imbuh Rein yang langsung menghampiri keduanya.
"Em, kita langsung ke kantor sekarang." Perintah Zora kemudian.
Alby meraih tangan Zora sebelum wanita itu sempat mengambil langkahnya. Tampaknya ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Rein yang menyadari itu, langsung meninggalkan keduanya disana dan kembali ke mobil lebih dulu.
"Apa kau kecewa dengan hasilnya?" Tanya Alby dengan raut wajah sedihnya.
Zora menatap dalam netra yang tampak asing itu, lalu tersenyum sambil membalas genggaman tangan Alby.
"Aku bersyukur, Tuhan masih mengembalikanmu padaku, terlepas dari apa yang sedang kau alami saat ini. Paling tidak, sosokmu kini kembali nyata. Dan aku minta maaf atas apa yang telah aku lakukan padamu dulu." Lirih Zora, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Maaf..?" Kening Alby sedikit mengernyit. Ia tidak terlalu paham dengan kata 'maaf' yang baru saja di ucapkan Zora. Mengapa ia justru minta maaf?
"Memangnya-" Kalimat Alby menggantung.
"Lupakan saja apa yang telah terjadi dimasa lalu," Sela Zora cepat. "Bukankah hidup harus terus berjalan kedepan."
"Apakah aku justru harus bersyukur dengan apa yang terjadi." Batin Zora.
"Ayo!" Ajak Zora, lalu mulai melangkah. Alby mengikuti langkah Zora dengan rasa penasaran, apa yang sebenarnya terjadi dimasa lalu?
*
Haris langsung berdiri dari duduknya saat melihat sosok yang berjalan berdampingan dengan Zora. Matanya membulat sempurna. "Bagaimana bisa terjadi." Gumamnya.
Zora dan Alby terus melangkah menghampiri Haris yang sedang menunggu di lobby.
"Bukankah sekretaris saya sudah dengan jelas mengatakan bahwa saya menolak project yang Anda ajukan." Imbuh Zora, lalu duduk tepat dihadapan Haris. Sedangkan Haris yang masih berdiri terbujur ditempatnya tak dapat mengalihkan pandangannya dari arah Alby, yang kini sedang duduk disamping Zora sambil menatapnya bingung.
"Bu-bukankah.." Ucap Haris terbata. Ia benar benar tidak menyangka dengan apa yang ia lihat. Bagaimana bisa orang yang dinyatakan mati bisa hidup kembali.
"Silahkan duduk Pak Haris, saya tidak punya banyak waktu." Tegas Zora.
Ya, setiap kali berhadapan dengan pria itu emosi Zora sering tak dapat di kontrol. Sialnya, pria itu juga tidak pernah berhenti mengganggu waktu Zora dengan alasan pekerjaan.
Haris perlahan kembali duduk, pun dengan perlahan mengalihkan pandangannya ke arah Zora.
"Bagaimana bisa terjadi?" Tanya Haris dengan ekspresi seriusnya.
"Bukankah sudah saya katakan, saya tidak punya banyak waktu. Apa lagi untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi, pada Anda." Kembali, Zora seakan ingin mengusir Haris dengan cepat dari sana.
Haris, adalah mitra kerja NR Group, yang kini di pimpin oleh Zora.
Selain itu, jauh sebelum bertemu di NR Group, Haris adalah orang yang nyaris menikahi Zora. Namun, pernikahan itu gagal.
Mendapat perlakuan seperti itu, Haris justru tersenyum lalu menunduk.
"Jangan terlalu membenciku, Nona." Imbuh Haris sambil menyeringai. "Aku takut nanti keadaan menjadi terbalik, dan kau harus bersimpuh di kakiku sambil memohon."
Alby, mengernyitkan keningnya setelah mendengar dan memperhatikan apa yang sedang terjadi di antara keduanya. Zora dan Haris! Tampaknya ada sesuatu yang tidak beres. Ia langsung memutar otaknya, apalagi setelah melihat Zora tampak tidak begitu nyaman melayani percakapan Haris.
"Tuan, maaf." Sela Alby. "Tampaknya kami tidak bisa terlalu lama melayani Anda sekarang." Lanjutnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Zora. "Sayang, bukankah katamu kita harus menemui klien penting sekarang." Ujar Alby, sambil menggenggam tangan Zora.
"Em.." Zora tersenyum ke arah Alby. Bagaimana ia bisa berfikir spontan seperti itu.
"Maaf, kami harus pergi sekarang. Dan untuk project yang Anda maksud, aku benar-benar tidak tertarik." Zora ikut bangkit setelah Alby, lalu berlenggang meninggalkan Haris disana. Sambil menggandeng mesra lengan Alby.
"Bagaimana bisa kau terpikirkan cara itu." Bisik Zora.
"Entahlah, hanya terpikir begitu saja." Sahut Alby, lalu tersenyum tipis.
Zora tertawa pelan.
"Siapa pria itu?" Tampaknya Alby penasaran.
Zora sempat terdiam beberapa saat, lalu menekan tombol lift.
"Salah satu klien yang pernah bekerja sama dengan perusahaan kita."
"Lalu?" Alby belum terlalu puas dengan jawaban Zora.
"Kerja samanya berantakan pada saat itu, dan perusahaan hampir saja bangkrut." Menilik lebih jauh kebelakang, dimana saat itu hidup Zora benar-benar di uji. Kehilangan Alby, lalu harus menanggung amarah dari keluarga besar Dareen karena warisan yang ditinggalkan oleh Alby, juga perusahaan yang berada di ujung tanduk. Perjuangan yang harus dilewati Zora dengan susah payah dan penuh perjuangan. Tidak mudah, hingga pada akhirnya kini Zora bisa berdiri membusungkan dada setelah peluh keringat yang bercucuran untuk kembali memperbaiki nama baik perusahaan.
Alby tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Sepertinya, ini bukan waktu yang tepat meminta Zora menceritakan semuanya. Apalagi ketika melihat raut wajah Zora tampak seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Alby, mencoba perlahan memahami kondisi yang sedang terjadi.
Keduanya melangkah masuk kedalam lift. "Maafkan aku." Lirih Alby, sesaat setelah pintu lift kembali tertutup.
Zora mengalihkan pandangannya, memperhatikan baik - baik pria yang sudah begitu dirinduinya.
Lalu, air mata mengalir begitu saja. Zora tak bermaksud ingin menangis, namun entah mengapa Zora merasa bahagia sekaligus juga pilu. Dadanya terasa sesak, dan sesaat kemudian Zora menangis histeris. Menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Zora masih tak menyangka, Tuhan sangat baik padanya. Mengembalikan Alby padanya sesuai dengan keinginannya. Hal yang tak disangka - sangka bisa terjadi.
Alby memeluk tubuh yang bergetar karena sedang menangis itu. Mengusap pelan punggung Zora, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk menenangkan Zora.
*
“Kau bisa beristirahat didalam ruangan itu jika lelah.” Imbuh Zora sesampainya didalam ruang kerjanya.
Alby menoleh ke ruangan yang ditunjuk Zora.
“Lantas kau?” Alby kembali menoleh ke arah Zora yang sudah mengambil langkah menuju meja kerjanya.
“Ada pekerjaan yang harus aku kerjakan.” Waktu Zora kini memang harus dihabiskan untuk bekerja, ia bahkan tak terlalu sempat memperdulikan kesehatannya, terlebih dengan bayi yang sedang ia kandung. Zora bahkan terkadang lupa ada nyawa yang juga harus di prioritaskan oleh dirinya.
Alih - alih beristirahat didalam ruangan itu, Alby lebih memilih untuk duduk di sofa yang berada di tengah ruang kerja Zora, memperhatikan Zora yang tampak sibuk bekerja. Mata yang sembab dan hidung yang memerah tak lantas melunturkan kecantikan Zora. Wanita itu tetap tampak cantik, sekalipun dalam keadaan menangis.
“Ceritakan sedikit tentang kehidupan kita.” Kalimat itu membuat Zora menghentikan pekerjaannya, jarinya yang tadi sedang begitu lihai mengetik, menjadi lemas seketika mendengar kalimat yang baru saja di ucapkan Alby. Pasalnya itu bukan cerita yang bisa diceritakan dengan gembira. Penuh air mata dan rasa kebencian dibalik cerita itu. Haruskah Zora memberitahukannya? Bahwa dulu ia sangat membenci sosok Alby.
"Hemm... aku bingung harus memulainya dari mana." Ujar Zora akhirnya, tampa menoleh ke arah Alby. Zora lanjut mengetik.
Alby bangkit dari duduknya, meraih kursi yang terletak didepan meja kerja Zora, lalu meletakkan kursi itu disamping Zora. "Kau bisa memulai dari, bagaimana akhirnya kita bisa menikah." Alby duduk disana dan bertanya dengan antusias.
Zora menarik napas dalam, "Kau sangat tergila - gila padaku, hingga tak pernah menyerah untuk mendapatkanku." Zora memulai.
"Sungguh?" Alby terkekeh.
"Em.." Zora mengangguk untuk meyakinkan.
"Lalu setelah kita menikah?" Alby lanjut bertanya.
"Kau memperlakukan aku dengan sangat baik, saking baiknya aku sampai merasa sesak."
Alby semakin terkekeh. "Benarkah? Jadi aku sangat mencintaimu?"
"Ya, didalam hidup mu hanya ada Zora Shazmeen. Seakan tampa aku, kau tidak akan bisa hidup." Lanjut Zora, lalu beralih menatap netra Alby.
Dan kali ini, Alby tertawa terbahak.
Sontak, membuat Zora keheranan. Untuk pertama kalinya, ia melihat Alby tertawa lepas seperti ini. Dulu, ia selalu memasang wajah datar dan tampang bringas nya. Jadi tidak heran, jika kini Zora bahkan merasa jika yang berada dihadapannya kini adalah sosok yang berbeda.
"Mungkinkah ia bukan Alby?" Zora membatin.
"Benar - benar memalukan, aku tidak menyangka aku orang yang sekonyol itu." Ujar Alby masih dalam kekehannya.
"Ya, kau benar - benar orang terkonyol yang pernah aku kenal." Imbuh Zora dengan raut wajah datarnya, dan masih menatap Alby dengan penuh tanda tanya.
"Lantas.." Ucap Alby menggantung. "Apa kau juga mencintaiku?" Lanjut Alby.
Lidah Zora seakan kelu untuk menjawab pertanyaan itu.
"Cinta.." Jawab Zora, satu kata.
"Dan aku terlambat untuk itu, butuh waktu cukup lama hingga aku bisa menyadari bahwa aku ternyata sangat mencintaimu, By." Batin Zora.
"Kau tahu, dulu kau orang yang sangat sibuk. Waktumu hampir semuanya digunakan untuk bekerja. Ruangan ini, dan segala isinya menjadi saksi bagaimana kau begitu mencintai pekerjaan ini." Zora mengalihkan pembicaraan.
"Siapa yang lebih aku cintai! Kau? Atau pekerjaan ini?" Tanya Alby, yang justru membuat Zora terkekeh. Lalu menatap netra Alby dalam.
"Hanya hatimu yang dapat mengetahuinya."
Next ✔️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Amalia Khaer
Alby sosok yg peka. knpa Zora tdk belajar mencintai suaminya yaa.
2023-03-21
3