Di tengah begitu banyak pendekar, tanpa rasa takut sedikit pun Siti langsung duduk di sana. melihat seorang gadis cantik duduk di antara mereka, salah seorang mencoba menghampiri Siti yang tampak begitu tenang.
“Nasinya satu Bu!” ujar Siti seraya memakan gorengan yang berada di hadapannya.
“Apa sambalnya neng?” tanya pemilik warung pada Siti.
“Telur saja Bu.”
“Baik Neng.”
Sambil menunggu pesanannya datang, Siti terus saja melahap gorengan yang ada di hadapannya.
“Masih kurang Neng?” tanya pria yang berada di sampingnya.
“Nggak Bang.”
“Kenapa?” tanya pria itu ingin tahu.
“Aku udah kenyang.”
“Tapi nasinya belum datang Neng, kok cepat banget kenyang nya?”
“Aku kenyang melihat wajah Abang.”
“Buset dah! songong amat!” ujar pria itu seraya berdiri.
“Parjo, duduk! dia itu pembeli ku, kau jangan coba-coba mengganggunya.
“Baik nyai.”
“Hm..! rasain!” gerutu Siti kesal.
“Awas kau nanti!” ancam pria itu pada Siti.
Mesti pria itu mengancamnya, Siti tak merasa gentar sedikit pun, tak berapa lama kemudian pemilik warung keluar dengan membawakan pesanan Siti.
Sepiring nasi lengkap dengan sambalnya.
“Silahkan Neng, dimakan nasinya.”
“Baik Bu, terimakasih.”
Siti kemudian menikmati hidangan yang di suguhkan kepadanya, di hadapan semua pria itu, dia melahap nasi pesanannya. Sementara semua pria yang berada di warung itu, hanya memandanginya dengan rasa kesal.
Setelah selesai menyantap makanan itu, dia pun membayarnya. Ketika hendak pergi, Siti menyempatkan diri bertanya pada Ibu pemilik warung, tentang keberadaan rumah Datuak Malelo.
“Bu, boleh aku bertanya sesuatu pada Ibu?”
“Ya, silahkan Neng.”
“Apakah Ibu tahu, dimana rumah Datuak Malelo?”
“Datuak Malelo?”
“Iya, Bu.”
“Ciri-cirinya bagai mana Neng?”
“Dia sudah tua, dan punya putri.”
“Ibu sering melihat orang tua yang berjalan bersama putrinya, di depan warung Ibu, tapi Ibu nggak tahu, seperti apa wajahnya.”
“Jadi Ibu nggak tahu ya?”
“Kalau Ibu boleh tahu, berapa orang kah putrinya itu nak?”
“Kalau nggak salah ada satu orang.”
“Kalau yang pernah Ibu lihat, putrinya ada dua orang.”
“Dua orang ya?”
“Tapi Bu, pria itu punya ilmu sangat tinggi.”
“Ooo, pria itu!”
“Iya Bu.”
“Sekarang Ibu baru ingat, Namanya Datuak Malelo, tapi dia memiliki dua orang putri yang cantik jelita, salah seorangnya mengenakan cadar.”
“Ya itu dia, dimana rumahnya Bu?”
“Teruslah berjalan kearah Barat, nanti kau akan bertemu dengan rumahnya.”
“Apakah masih jauh Bu?”
“Sekitar setengah hari perjalanan.”
Ketika Ibu itu masih bicara, Siti sudah menghilang dari pandangan semua orang. Siti berlari melesat begitu cepatnya. Siti tak lagi memperhatikan di sekelilingnya dia terus saja berlari secepat kilat.
“Waah..! gadis apaan itu, ilmunya sangat tinggi rupanya!” seru seorang pria seraya terpana memandangi Siti dari kejauhan.
“Untung saja, kau nggak di tendangnya tadi,” ujar Ibu pemilik warung pada pria itu.
“Ya, untung saja.”
“Itu makanya, kalau melihat gadis cantik itu, jangan langsung merayu. Lihat dulu dan perhatikan saja dari kejauhan.”
“Iya Bu.” jawab pria itu pelan.
Sementara itu, Siti yang saat itu telah meninggalkan mereka, tiba di halaman rumah Datuak Malelo. Dari dalam rumah itu, keluarlah seorang gadis yang seumuran dengan dirinya. Sedang menenteng sebuah ember.
“Hai..!” sapa Siti pada gadis itu.
“Hai, juga. Lagi cari siapa?” tanya Tiara pada Siti.
“Benar, disini rumah Datuak Malelo?”
“Benar, aku putrinya.”
“Kebetulan sekali, Ayahmu ada?”
“Ada, lagi di dalam.”
“Boleh aku masuk.”
“Tentu, silahkan,” jawab Tiara seraya bergegas menuju pondok kecil milik mereka.
Seraya mengiringi Tiara dari belakang, Siti memandang seluruh yang berada di sekitar rumah Datuak Malelo.
“Ayah, ada seorang gadis yang sedang mencari Ayah!” ujar Tiara dari luar rumah.
“Siapa nak, suruh dia masuk.”
“Baik Ayah, seraya mempersilahkan Siti masuk kedalam gubuk reot itu.
“Assalamu’alaikum, Datuak.”
“Wa’alaikum salam.”
“Aku Siti, Datuak. putri Datuak Basa yang telah Datuak celakai.”
“Ooo, Siti, ada apa Siti datang kesini?”
“Ayah ku sedang sekarat Datuak, aku mohon pertolongan Datuak untuk bersedia mengobati Ayah ku. Kata tabib, luka Ayah sangat parah sekali. Dia hanya bisa bertahan hingga purnama ini, jika tak ada yang menolongnya,” jelas Siti dengan beriba hati.
“Hm..! baiklah Siti, aku bersedia mengobati luka Ayahmu, ayo kita berangkat sekarang.”
“Baiklah Datuak,” jawab Siti seraya keluar dari rumah Datuak Malelo.
Mereka berduapun akhirnya berangkat menuju rumah Datuak Basa, di Gunung Pangilun Padang. Langkah kaki mereka yang begitu cepat membuat keduanya terus berlari tiada henti.
“Ayo Datuak, lebih cepat lagi,” ujar Siti.
“Baik Siti,” jawab Datuak Malelo dengan tenang.
Hingga akhirnya, perlarian merekapun terhenti, ketika kaki mereka mendarat di halaman rumah Datuak Basa. Tanpa berfikir panjang lagi, Datuak Malelo langsung masuk kedalam dan menyalurkan hawa murni nya ketubuh Datuak Basa.
Tubuh Datuak Basa, yang saat itu lemah tak berdaya, akhirnya bisa bergerak kembali. Siti yang melihat langsung tersenyum senang.
“Alhamdulillah, terimakasih Datuak,” ujar Siti seraya mencium tangan Datuak Malelo.
Merasa sedikit bertenaga, Datuak Basa langsung membuka matanya dengan pelan, saat itu dia melihat Datuak Malelo dan Siti putrinya berada di sampingnya.
“Siti, kau telah kembali nak!” ujar Datuak Basa.
“Sudah Ayah, ini Datuak Malelo, yang Siti bawakan untuk mengobati luka Ayah.”
“Kau Datuak, semua ini gara-gara putrimu. Hampir saja aku kehilangan nyawa, jika kau nggak segera datang.”
“Ayah! apa maksud dari ucapan Ayah itu? sekarang Ayah mau di obati atau tidak!” ujar Siti marah.
“Ya jelaslah! Ayah ingin di obati. Tapi semua ini kan karena ulahnya!”
“Sudahlah Siti, nggak usah di pikirkan apa yang di ucapkan Ayah mu, semua ini memang salah aku kok,” timpal Datuak Malelo.
“Sekarang bukan saatnya saling salah menyalahkan Datuak, Ayah ku memang keras hati. Sudah sekarat pun dia masih saja bisa mengancam orang lain. Datuak tahu kenapa? karen di hatinya itu hanya ada dendam, dendam dan dendam.”
“Sudahlah Siti, nggak usah di perpanjang lagi.”
“Aku kesal Datuak, Ayah bukannya berterimakasih pada Datuak, eh malah dia bicara yang menyakitkan. Kalau aku tahu sifat jelek Ayah akan terucap, aku pasti tak mau menjemput Datuak Malelo ke Pasaman!” gerutu Siti dengan emosi.
“Sudahlah Siti, mungkin Ayahmu masih marah sama Datuak. Tapi nggak apa, aku akan tetap mengobati Ayah mu sampai dia sembuh.”
“Tapi tak wajar rasanya, kalau Ayah masih menaruh dendam pada Datuak, padahal Datuak sudah berbaik hati, jauh-jauh datang dari Pasaman hanya untuk mengobatinya.
“Kenapa kau mesti membela dia sih, Siti? Sudah jelas dia itu yang telah mencelakai Ayah. Ingat Siti, nggak baik menaruh hormat pada orang yang telah berbuat jahat dan mencelakai kita nak.”
“Ayah! aku nggak seperti itu, dendam nggak akan pernah aku bawa mati. Ayah nggak perlu mengajari aku hal kotor itu.”
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Iril Nasri
semangat
2023-04-03
0
Adronitis
selamat berkarya Thor
2023-03-14
0