“Kakak, mau memakainya?”
“Nggak dek, kakak nggak suka memakai cadar.”
“Berarti, kain ini untuk ku aja ya, kak.”
“Ambilah, siapa tau kau cocok memakainya.”
Seketika itu juga, secarik kain itu di ambil Seruni dari tangan Tiara dan dia langsung mengikatkannya.
“Gimana Ayak, apakah aku cocok memakainya?”
“Tentu sayang, kau sangat cocok memakainya.”
Mendengar kata pujian itu, Tiara merasa sedih. Wajahnya yang cantik terlihat merengut di hadapan Datuk Malelo dan Seruni.
“Kamu kenapa sayang?” tanya Datuk Malelo pada Tiara putrinya.
“Kenapa nggak aku aja yang memakai cadar itu, bukankah aku yang menemukannya tadi.”
“Benar sayang, cadar itu memang kamu yang menemukannya, tapi yang kehilangan orang tua itu, saat ini Seruni, sementara kamu nggak kehilangan siapa-siapa bukan?"
“Tapi, kenapa harus Seruni yang memakainya Ayah?”
“Siapa tahu dengan memakai cadar itu, Seruni bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan kedua orang yang melihatnya. Lagian kau nggak suka memakai cadar bukan?”
“Ya Ayah, aku mengerti sekarang,” jawab Tiara pelan.
“Terimakasih atas pengertian mu putri ku, karena nggak mudah menerima, jika kita kehilangan orang tua yang kita cintai.”
“Ya Ayah.”
“Nah, kita kembali pulang kerumah. Untuk selanjutnya akan kita pikirkan di rumah saja.”
Lalu mereka pun kembali melesat, berlari dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk di tengan pepohonan yang rindang. Hutan belantara yang lebat, tidaklah menjadi rintangan buat mereka untuk berjalan dan berlari secepat mungkin kearah mana yang mereka suka.
Mesti terbilang masih kecil, tapi ilmu peringan tubuh yang di miliki oleh kedua putri Datuak Malelo itu, tak bisa di anggap remeh. Ilmu peringan tubuhnya cukup sempurna. Jika di bandingkan dengan orang dewasa.
Semua itu, tentu tak terlepas dari pelatihan diri yang di ajarkan semenjak dini, oleh Datuk Malelo. Hal itulah yang membuat mereka berdua cepat menyerap dan mendapatkan ajaran Ayahnya itu.
Malam itu, Datuk Malelo duduk dalam kesendiriannya. Pandangan matanya begitu hampa, hatinya terasa sedikit lirih. Apalagi jika Datuk Malelo teringat dengan istri tercintanya. Air mata itupun langsung mengalir tak terasa.
Sebenarnya Datuk Malelo tidak sendiri saat itu, ada ribuan anak muridnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Saudara seperguruan dan saudara dekat yang sengaja dia tinggalkan membuatnya semakin sepi.
Datuk Malelo sengaja menyendiri, menghindar dari hiruk pikuknya dunia persilatan. Niatnya untuk membesarkan putri tercintanya terus diwujudkannya. Karena menurutnya semakin lama dunia persilatan itu semakin menggila.
“Tapi..! dengan cara melatih kedua putriku dengan ilmu-ilmu tingkat tinggi, itu sama artinya aku kembali ke dunia yang sudah lama aku tinggalkan. Hmm…!” ujar Datuk Malelo seraya menarik nafas panjang.
Dengan pelan lalu Datuk Malelo melangkah menuju halaman rumahnya, mencari udara segar untuk melepaskan rasa jenuh yang menggelayuti pikirannya.
Sedangkan Seruni, malam itu matanya juga sulit untuk di pejamkan, bayangan kedua orang tuanya yang masih hidup, selalu melintas di benaknya.
“Aku harus pergi dari sini! Aku harus cari orang tua ku! Apa pun resikonya,” gumam Seruni pelan.
Sepertinya niat Seruni sudah bulat, untuk mencari kedua orang tuanya. Secara perlahan Seruni mengumpulkan pakaiannya dan membungkusnya dengan selembar kain, sehingga menyerupai sebuah buntalan kecil.
Malam dingin yang sangat mencekam itu, Seruni manatap tajam kearah luar. Tak satu ekorpun Seruni mendengar suara binatang liar yang bersuara, semuanya diam seribu bahasa. Namun malam itu merupakan malam terakhir bagi Seruni untuk menatap wajah kakaknya, Tiara.
Dengan cara mengendap-endap, Seruni keluar menyelinap lewat pintu dapur. Di kedinginan malam, Seruni terus saja berjalan mengikuti kata hatinya yang tak pasti.
Yang jelas, dia harus pergi sejauh mungkin dari rumah Ayahnya, Datuk Malelo. Agar Ayahnya tak bisa menemukan keberadaannya.
Setelah merasa jauh dari rumahnya, Seruni pun beristirahat sejenak. Di buatnya api unggun untuk menghangatkan tubuhnya yang gemetar melawan cuaca yang semakin dingin.
“Ya Allah. dinginnya malam ini,” desah Seruni sembari memangku tangannya di depan api unggun yang menyala.
Mesti begitu dingin, tekat Seruni tetap saja ingin pergi meninggalkan rumahnya.
Di saat itu tiba-tiba saja sekelebat bayangan melintas di hadapannya. Desiran anginnya menerpa wajah Seruni hingga terasa dingin.
“Astaghfirullah..! siapakah itu gerangan!” seru Seruni.
“Aku!” sahut suara itu.
“Aku siapa?”
“Justru aku yang harus bertanya kepada gadis kecil seperti mu. kenapa berada di tengah hutan sendirian di malam yang gelap begini. apa kau nggak merasa takut?” tanya suara tak berwujud tersebut.
“Nggak! aku nggak takut sama sekali,” jawab Seruni dengan suara lantang.
“O ya? benar kamu nggak takut?”
“Kenapa mesti takut, bukankah Allah selalu ada bersama orang yang lemah seperti aku.”
“Benar, kau gadis yang benar. Di dunia ini memang nggak ada yang perlu ditakutkan. Hanya Allah lah seorang tempat kita takut. Takut akan azab dan siksa yang di berikan kepada orang yang selalu berbuat durhaka kepadanya.”
“Orang bicara, selalu menampakkan batang tubuhnya. Tapi tuan bicara selalu menyembunyikan wujud tuan. Apakah tuan takut berhadapan dengan ku,” ujar Seruni dengan suara yang lantang.
“Kamu ternyata cerdas juga gadis kecil!” ujar suara itu sembari menghampiri Seruni.
“Tuan siapa?” tanya Seruni ingin tahu.
“Bapak, Sekh Abdullah. Kebetulan saya hendak ke Gunung Pangilun. Kamu kenapa berada di tengah hutan sendirian malam-malam begini?”
“Nama ku Seruni, tuan. Aku hendak pergi mencari keberadaan orang tuaku yang hilang, delapan tahun yang lalu.”
“Hilang delapan tahun yang lalu? maksudnya apa ya, Bapak nggak mengerti.”
“Orang tua ku menghilang ketika aku masih bayi, menurut penduduk kampung yang ku temui, orang tua ku di culik oleh sekelompok siluman yang menamai dirinya ratu genit.”
“Ratu genit.”
“Kata para penduduk, kedua orang tua ku mereka culik dan mereka bawa ke sarang ratu genit untuk di jadikan budak.”
“Tunggu sebentar, biar Bapak terawang dulu,” ujar sekh Abdullah seraya meletakkan kedua ujung jemari tangannya di kening.
“Tuan lihat sesuatu?”
“Bapak nggak menemukan apa-apa, selain gumpalan kabut hitam yang tebal.”
“Apa maksudnya itu tuan?” tanya Seruni ingin tahu.
“Itu artinya. Keberadaan orang tua mu, telah mereka lindungi dengan menggunakan rajah ghaib. Sehingga begitu sulit bagi kita, untuk mengetahui keberadaan kedua orang tuamu itu.”
“Wah..! kalau begitu, aku nggak bisa ketemu mereka berdua dong tuan,” ujar Seruni dengan dahi berkerut.
“Sabar, suatu saat nanti, jika Allah berkehendak, kalian pasti akan di pertemukan.”
“O ya,” jawab Seruni sembari tertunduk sedih.
“Kamu nggak perlu sedih, karena bukan hanya kamu sendiri yang kehilangan orang tua. Di dunia ini begitu banyak anak yang sama penderitaannya dengan mu.”
“Tuan, maukah tuan mengajarkan aku ilmu penerawangan yang tuan miliki?”
“Boleh saja, tapi Bapak harus tahu dulu, kau ini murid siapa sebenarnya.”
“Nama Ayahku Datuk Malelo tuan. Dialah yang mengajariku ilmu dan dia juga telah memungut aku di tengah hutan.”
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Adronitis
👍👍👍
2023-07-27
0
Dwi sonya
👍👍👍
2023-07-13
0
AbyGail
Kamu berani berbeda, menulis genre seperti ini, mantap
2023-03-25
0