Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang sempurna, kedua pendekar itu langsung melesat meninggalkan hutan belantara. Mereka berdua meliuk-liuk di antara pepohonan yang tumbuh dengan rindang.
Di lain tempat, seperti halnya Seruni yang pergi secara diam-diam meninggalkan rumahnya, begitu juga dengan Mutiara. Gadis remaja itu juga pergi meninggalkan Ayahnya Datuk Malelo. Sudah bertahun mereka tak pulang kerumah.
Di atas sebatang pohon, tampak Tiara sedang bertengger di sana. kini dia tak lagi seperti waktu dulu, hidup bebas di alam lepas. Tak ada lagi bayangan Ayah yang selalu menggembleng dan menasehati dirinya.
Hidup di alam lepas membuat Tiara menjadi liar dan bebas. Amarahnya sering kali meluap-luap dan membuat kerusakan di mana-mana. Banyak orang-orang yang tak bersalah dicelakainya.
Tiara juga pernah memporak-porandakan sebuah Desa hingga penghuninya lari kocar-kacir, sungguh suatu perilaku yang tidak terpuji.
Lain halnya dengan Seruni, mesti dia melalang buana, namun dia memamfaatkan kesempatan itu untuk menuntut ilmu, menolong orang dan berguru kepada siapa saja yang mau menerimanya menjadi seorang murid.
Siang itu, saat Tiara sedang asik duduk di bawah seatang pohon, sayup-sayup dia mendengar suara dentingan pedang yang beradu. Dia begitu yakin, kalau ada orang yang sedang bertarung.
Lalu rasa ingin tahu itu, mendorong hatinya untuk melihat apa yang dia dengar. Benar saja, dari kejauhan Tiara melihat dua orang sedang bertarung.
“Hm..! sepertinya aku harus menyaksikan pertarungan ini dari dekat!” desah Tiara pelan.
Tiara pun kemudian melesat menghampiri pertarungan itu. setelah sekian lama di perhatikan, tak terlihat di antara mereka ada yang kalah mau pun menang.
“Huuh..! bodoh sekali kalian! apa gunanya bertarung, kalau tak ada yang mati!” gerutu Tiara seraya melempar mereka berdua dengan sebuah batu.
“Hah, siapa kau! sepertinya kau bukan orang sini?” tanya salah seorang di antara mereka.
“Iya, aku bukan orang sini, aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat. Di lihat dari pertarungan kalian tadi, aku merasa sangat kecewa sekali. Untuk apa bertarung kalau nggak ada yang mati salah seorang di antara kalian berdua.”
“Jumawa kamu! ini urusan kami. Kau nggak perlu ikut campur!”
“Ya, jelas aku ikut campur dong! kalian berdua sangat payah. Buat apa bertarung, kalau hanya buang tenaga saja, kan lebih baik tidur enak di rumah.”
“Jangan sombong kau gadis kecil!” ujar salah seorang di antara mereka.
“Ayo kita habisi saja dia kak!” jawab yang satunya lagi.
“Baik,” jawab perempuan itu seraya menyerang Tiara dengan bertubi-tubi.
Serangan yang membabi buta itu pun membuat Tiara berkali-kali terdesak di buatnya dan bahkan terjatuh. Tapi demi harga diri yang telah dia banggakan, akhirnya Tiara tetap melawan dan membalas serangan mereka berdua, dengan tenaga yang telah terkuras.
“Trang! tang! ting!”
“Heat! hiaaaat…!”
Serangan demi serangan serta suara dentingan pedang yang beradu membuat suasana tempat itu menjadi terasa ramai sekali.
“Ha…ha…ha..! sudahlah anak kecil, menyerah lah! pulang sana, minta susu dulu pada Ibu mu!” ejek kedua pendekar itu seraya berkelakar.
“Kurang ajar! kau menghinaku rupanya!” seru Tiara dengan suara lantang.
“Kenapa, kau merasa tersinggung?”
“Dengar ya! sejauh ini, belum ada pendekar lain yang mampu mengalahkan aku. Apalagi menghina ku, termasuk kalian berdua!” teriak Tiara emosi.
“Jadi, mau mu apa!”
“Terima serangan ku ini! hiaaaat….!”
Maka pertarungan pun kembali terulang. Awalnya kedua wanita itu tampak terdesak oleh serangan Tiara. Akan tetapi, beberapa jurus kemudian, Tiara sendiri yang akhirnya tersungkur ke bumi.
Walau pun saat itu Tiara telah mengeluarkan jurus-jurus andalannya, namun dirinya tak sanggup mengalahkan kedua wanita itu dan tubuhnya langsung terkapar di tanah. Lemah tak berdaya.
Saat itu Datuk Malelo merasakan ada hal yang aneh pada dirinya, seperti telah terjadi sesuatu pada salah seorang putri yang disayanginya selama ini.
Mesti dia merasakan hal itu, namun Datuk Malelo tak kuasa untuk bangkit dari kasurnya. Penyakit yang telah lama dia derita tak kuasa untuk di lawannya.
Tekanan batin yang telah lama di rasakan, akibat kehilangan kedua putrinya, membuat Datuk Malelo, hanya bisa pasrah kepada Allah.
Di atas dipan yang kecil, Datuk Malelo menggigil dan mengerang menahan rasa sakit. Air matanya, tak. mau berhenti mengalir, membebani batinnya yang terluka.
Kepergian kedua putrinya merupakan beban berat yang serasa tak kuasa untuk dipikulnya. Rasa sedih dan rindu kepada kedua orang putrinya, tak mampu untuk di sembunyikan.
Sementara itu. Seruni putri angkat yang disayanginya saat itu, sedang mengembara, mencari keberadaan kedua orang tuanya yang hilang. Dia berlari dan menyusuri hutan belantara bersama dengan kakek Hasanuddin.
Dalam perjalanannya, tiba-tiba saja Seruni teringat dengan Ayahnya Datuk Malelo. Mesti dia berusaha untuk menepisnya, namun bayangan Ayahnya itu tetap bergelayut di pikirannya.
“Sebentar Kek, aku merasa Ayah dalam keadaan sakit,” ujar Seruni seraya duduk dan melakukan penerawangan.
“Hm..! benar saja firasat ku, ternyata Ayah dalam keadaan sakit.”
“Kenapa Seruni, kelihatanya kau sedih?” tanya kakek Hasanuddin dengan suara pelan.
“Sepertinya Ayah sedang sakit, kek. Aku harus segera pulang kerumah.
“Silahkan, kenapa mesti ragu, merawat orang tua yang sedang sakit, merupakan sebagian dari ilmu yang harus kau pelajari.”
“Iya, kek. Lalu bagai mana dengan kakek sendiri?”
“Tinggalkan saja kakek di sini, nanti kakek akan cari tempat tinggal yang aman.”
“Benar kakek nggak apa-apa?”
“Benar nak.”
“Kenapa kakek nggak ikut saja dengan ku, melihat Ayah yang sakit. Lagian kita bisa tinggal bersama dirumah,” ajak Seruni pada Kakek Hasanuddin.
“Nggak usah nak, lain kali kakek pasti mengunjungi Ayah mu. karena saat ini, kakek masih ada urusan yang harus di selesaikan.”
“Benar, kakek menolaknya?”
“Pulanglah nak, kirim salam pada Ayah mu Datuk Malelo.”
“Baik kek,” jawab Seruni seraya mencium tangan Kakek Hasanuddin, serta menyelipkan segenggam uang ke tangan Kakek Hasanuddin.
“Hati-hati nak!”
“Iya, kek. pergunakan uang itu untuk menyewa tempat tinggal yang layak,” jawab Seruni seraya melesat pergi meninggalkan kakek Hasanuddin sendirian.
Setelah Seruni menghilang begitu cepat dari pandangan kakek Hasanuddin, pria tua itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Hmm..! gadis yang baik dan cerdas. Tak salah Datuk Malelo memungutnya sebagai seorang anak,” gumam Hasanuddin pelan.
Semenjak hari itu, berpisahlah Seruni dengan kakek Hasanuddin, Seruni kembali pulang kerumah Ayahnya, sementara Kakek Hasanuddin pergi mencari tempat baru untuk menetap.
Setibanya Seruni di rumah, di dapatinya Datuk Malelo sedang mengerang menahan rasa sakit di kamarnya. Tubuhnya tampak begitu lemah, karena tak seorang pun putrinya yang merawat dan memberinya makan.
Perasaan iba langsung menyentuh hati nurani Seruni. Dengan linangan air mata, Seruni merawat Ayahnya dengan penuh kasih sayang. Dengan perlahan, Seruni mengusap pipi Ayahnya dengan lembut.
“Ayah, ini aku sudah pulang,” bisik Seruni ke telinga Datuak Malelo.
Mendengar suara yang lembut itu, Datuak Malelo langsung membuka mata, air mukanya tampak berubah. Senyum manis pun terkuak dari bibirnya yang pucat.
“Seruni, kau kah itu nak?” tanya Datuk Malelo dengan suara pelan.
“Iya, Ayah. Ini aku Seruni,” jawab Seruni seraya menempelkan tangan Datuk Malelo ke pipinya yang halus dan lembut.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Dwi sonya
syukurlah Seruni pulang ke rumah
2023-07-16
0
AbyGail
Dalam bahasa aku Malelo artinya merindukan 😄
2023-03-25
0
Adronitis
rasain
2023-03-14
0