“Sepertinya begitu. Selain berwajah cantik, Seruni memiliki aklak dan budi pekerti baik, dia pintar dan cerdas, dia begitu mudah menyerap ilmu yang ku berikan kepadanya. Kau percaya nggak, dia bisa mempelajari Ilmu lentik jemari hanya dalam semalam.”
“Ah, benarkah itu kak?”
“Iya, Sutan.”
“Masya Allah, ternyata dia begitu jenius dan pintar.”
“Ya, begitulah Sutan.”
“O iya kak. Tadi ketika aku hendak kesini, tanpa sengaja di tengah hutan aku bertemu dengan Datuak Basa yang sedang sekarat dan tak sadarkan diri.
Saat aku memeriksanya, aku melihat ada bekas ajian Lentik jemari tepat mengenai dadanya.”
“Ya, Seruni telah menyerangnya. Tapi sewaktu kami berniat ingin mengobatinya, Datuak Basa langsung pergi dengan amarah di dadanya.”
“Awal mulanya aku hanya bermain-main saja, tapi tanpa sengaja aku menemukan Datuak Basa tergeletak pingsan di tengah hutan sendirian. Tubuhnya membiru, aku sangat yakin pasti Datuak Basa terkena ajian Lentik jemari, seingat ku ilmu itu hanya Kakak yang mempelajarinya.”
“Benar Sutan, Seruni yang melakukannya, tapi dia membantah dan menolak saat hendak kami obati.”
“Tapi akibat keras kepalanya itu, Datuak Basa saat ini sedang sekarat.”
“Hanya aku yang bisa mengobatinya Sutan.”
“Ya itu benar, pergilah obati dia.”
“Baik Sutan.”
Lama mereka berdua bercengkrama, saling melepaskan rindu. Namun di lain tempat Datuak Basa sedang sekarat, berbaring lemah tak berdaya di rumahnya. Dia merintih menahan rasa sakit yang sedang menderanya.
“Siti, Siti..Siti! sakit sekali nak, tolong Ayah nak! rengek Datuak Basa pada putri tunggalnya tersebut.
“Iya Ayah, Siti disini, ada apa?” tanya Siti seraya memijat kaki Ayahnya.
“Siti, Ayah sudah nggak kuat lagi nak. Menurut tabib Ayah hanya bisa bertahan hingga purnama yang akan datang. Kalau kau mau, pergilah temui Datuak Malelo. Bermohonlah agar dia mau datang kesini untuk mengobati luka Ayah nak.”
“Ooo, ternyata luka Ayah di sebabkan oleh Datuak Malelo?”
“Benar Siti, putrinya telah membokong Ayah dari belakang, dengan menggunakan ilmu lentik jemari yang dia miliki.”
“Pasti Ayah cari gara-gara lagi. Bukankah Siti pernah bilang pada Ayah, dendam jangan di pendam lama-lama. Tapi Ayah keras hati, Ayah selalu mengabaikan nasehat Siti. Sekarang Ayah tahu sendiri akibatnya kan?”
“Iya, iya! kenapa sih kamu lebih suka membela orang lain, ketimbang Ayah mu sendiri?”
“Karena Ayah itu selalu salah.”
“Ya sudah, sekarang kau mau bantuin Ayah atau nggak?”
“Baiklah, tapi di mana rumah Datuak Malelo itu, Yah?” tanya Siti dengan suara lembut.
“Berlarilah kau kearah barat, di tengah hutan kau akan menemui rumah Datuak Malelo. dia hidup bersama kedua orang putrinya.”
“Baiklah Ayah, Siti akan berangkat, baik-baik lah Ayah dirumah.”
“Ya putri ku, jaga dirimu baik-baik selama di perjalanan, karena hutan yang akan kau lalui sangat lebat dan banyak penyamun bersarang di dalamnya.”
“Baik Ayah,” jawab Siti seraya meninggalkan Ayahnya sendirian.
Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang sempurna, Sitipun berlari kencang melesat dengan cepat berkelebat bagaikan kilat. Meliuk-liuk diantara pepohonan yang rindang.
Tak berapa lama kemudian, tibalah Siti di suatu tempat. Siti pun berhenti karena saat itu dia melihat air sungai mengalir begitu deras, airnya tampak jernih dan menyejukkan.
Merasakan keindahan alam yang begitu asri dan sejuknya rasa air yang mengalir, Siti pun lupa dengan tugasnya.
Siti tampak begitu asyik menikmati suasana alam yang indah itu, tanpa berfikir panjang lagi Siti langsung mandi.
“Oh, segarnya air ini, jika saja sungai ini berada dekat dengan rumah, pasti aku mandi sesering mungkin,” gumam Siti dengan senangnya.
Lama Siti menikmati suasana air yang begitu menggoda hatinya, sehingga tanpa dia sadari beberapa orang pendekar telah menunggunya di luar.
“Hai teman-teman, sepertinya kali ini kita mendapat santapan enak nih!” seru salah seorang pendekar itu pada teman-temannya.
“Wah…! benar saja, ada rezki nomplok hari ini.”
Mendengar suara beberapa orang di pinggir sungai, saat itu Siti sadar, kalau posisinya berada dalam bahaya. Namun Siti bersikap tenang dan biasa-biasa saja.
“Hai cantik, keluarlah! kami sudah menunggumu disini!” seru para pendekar itu pada Siti.
Sekilas Sitipun melihat mereka dan menghitung pendekar itu, namun setelah di hitungnya Siti pun kembali mandi menikmati sejuknya air pegunungan yang mengalir deras.
“Hai cantik keluarlah dari sungai itu!”
“Kenapa aku yang mesti keluar! kalian juga bisa mandi kok, bareng aku!” balas Siti dengan suara lantang.
“Apa kata gadis itu, Jon?” tanya pimpinan mereka.
“Dia menyuruh kita masuk kedalam Kang.”
“Waah, ada rezeki kenapa mesti di abaikan hah!” ujar pimpinan pendekar itu, seraya merangsak masuk kedalam sungai yang mengalir dengan deras.
Karena tak sabaran menunggu di pinggir sungai, beberapa orang pendekar itu langsung masuk kedalam, dan berenang menghampiri Siti yang tampak dengan tenang menikmati sejuknya air sungai yang mengalir.
Siti berenang kesana dan kemari sesuka hatinya. Namun setelah beberapa orang pria itu mendekatinya, Siti langsung melompat dan melesat menjauhi sungai, dia berlari berkelebat menjauh dari para pendekar yang hendak mengganggunya.
“Kurang ajar! hooi..!” teriak pria itu kesal, di saat Siti meninggalkan mereka semua dengan mudahnya.
Pendekar itupun marah dan dia memukul sungai itu dengan kesal. Rasa sakit hatinya di lampiaskan kepada anak buahnya yang saat itu berada di dekatnya. Sontak hal itu membuat seluruh anak buahnya berlari kocar-kacir untuk menghindar.
“Dasar kurang ajar, kenapa kalian diam saja hah! Ayo di kejar!” bentak pimpinan pendekar itu.
“Kita mau kejar kemana kang? bukankah ilmu kita nggak setara dengannya?”
“Dasar bodoh, kenapa nggak belajar, agar kau bisa berlari sekencang gadis itu!”
“Maaf kang, bukankah guru kami selama ini adalah kakang.”
“Dasar dungu! anak buah nggak berguna kalian semua!” bentak pria itu kesal.
Mesti pimpinannya marah dan menghajar seluruh anak buahnya, namun tak seorang pun anak-anak itu yang berani melawan, mereka semua diam tak berkutik.
Sementara itu, Siti yang terus saja melesat berlari kian kemari mencari rumah Datuak Malelo, hingga siang hari, belum juga menemukan keberadaan rumah Datuak Malelo.
“Hm..! sudah lebih setengah hari aku berlari kian kemari, namun hingga saat ini, aku belum juga menemukan rumah Datuak Malelo,” gumam Siti seraya bertengger di atas sebatang pohon kayu.
Di saat angin mulai menerpa wajahnya, di situ Siti baru sadar, kalau Ayahnya berpesan agar Siti terus berlari kearah barat.
“Ya, kearah barat, berarti aku harus berlari kearah matahari tenggelam.”
Setelah teringat pesan Ayahnya, lalu Siti kembali berlari menuju matahari tenggelam, ditengah perjalanan Siti bertemu sebuah perkampungan kecil.
“Waah..! kebetulan sekali, ada perkampungan, lebih baik, aku mengisi perut ku dulu,” ujar Siti seraya menghentikan langkahnya. Dia pun berhenti di sebuah warung nasi.
Bersambung...
*Selamat membaca*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Iril Nasri
semoga saja dtk malelo, mau mengobati nya ya
2023-04-03
0
Adronitis
semoga Siti berhasil menemukan Datuak malelo ya
2023-03-14
0