"Gue puas banget liat muka Vera tadi." Nita tertawa membayangkan wajah Vera.
"Dia pasti malu banget tuh," sahut Santi.
"Tapi kasihan juga sih sebenernya, gue tadi niatnya biar Vera diam, eh malah Mbak kasirnya cerita gitu, gue enggak enak sebenernya," berbeda dengan dua sahabatnya itu, Aisyah justru prihatin dengan Vera yang selalu terlihat wah saat disekolah tapi ternyata kenyataannya tak seperti itu.
"Biarin ajalah Ais, dia patut dapat pelajaran. Selama ini dia sering nyakitin Lo," Nita merasa tak setuju dengan pernyataan Aisyah.
"Gue sebenernya tahu siapa orang tua Vera, maksudnya ayahnya Vera. Dia itu pegawai kecamatan, kalian bisa bayangin berapa gaji pegawai kecamatan, kan? Dia pasti menyembunyikan identitas keluarganya, makanya mereka mengira Vera anak pengusaha kaya, apalagi penampilannya yang selalu wah," ucap Aisyah dia teringat saat bertemu ayahnya Vera di kecamatan.
"Kok Lo tahu si?" tanya Santi dan Nita mengangguk, setuju akan pertanyaan Santi.
Aishah mengangguk, "Iya, waktu itu gue benerin KK sama Mama, nah yang ngurusin itu Ayahnya Vera. Awalnya dia tanya gue sekolah dimana, setelah tahu dia bilang kalau anaknya namanya Vera sekolah di tempat yang sama dengan gue, bahkan satu angkatan. Dan satu angkatan kita yang namanya Vera, kan cuma dia," jelasnya.
Kedua sahabatnya itu terdiam, mencerna semua perkataan Aisyah.
"Kalau benar gitu, Vera keterlaluan enggak sih? Secara dia hanya anak pegawai biasa, tapi sombongnya tingkat dewa," sahut Santi.
"Entahlah, mungkin ayahnya punya kerjaan sampingan, sebagai pengusaha juga mungkin? Terus tadi dia kebetulan enggak bawa uang cash juga. Kita berfikir positif ajalah," Aisyah tak ingin pembicaraan ini berlarut, dia sedikit menyesal karena sudah menceritakan tentang ayah Vera pada dua sahabatnya membuat keduanya berfikiran negatif.
"Kalian masih punya keinginan ke suatu tempat tapi belum tercapai atau tidak? Kalau ada yuk kita kesana," ajak Aisyah mengalihkan pembicaraan.
"Pengen nonton film terbaru itu loh, yang menceritakan pernikahan rahasia anak SMA, gimana?" Nita yang paling menyukai film dan drama memberi saran.
"Tapi belanjaan kita gimana?" Santi melihat semua belanjaan mereka yang ada di jok belakang taksi yang mereka pesan.
"Kita ke rumah Lo aja, taruh barang, terus keluar lagi, gimana?" saran Aisyah, sebab rumah paling dekat dari mall yang baru mereka datangi adalah rumah Santi.
Hari itu benar-benar merak habiskan dengan bersenang-senang, sebab setelah itu mereka sama sekali tak memiliki kesempatan yang sama hingga ujian berakhir. Setelah ujian berakhir pun Aisyah tak bisa ikut serta kedua temennya, dia harus mengurus beberapa berkas yang harus dibawa ke luar negeri.
Seperti baru kemarin mereka asyik menonton film, makan enak diresto mewah, serta berbelanja barang branded di mall, kini mereka harus segera berpisah jarak dan waktu, sebab tepat hari ini Aisyah akan pergi meninggalkan kedua sahabatnya beserta sang Mama tercinta, tapi dia lebih dahulu datang ke kota Papanya, karena salah seorang utusan sang Papa akan menemaninya di sana hingga beberapa hari atau beberapa minggu ke depan.
Semalam Nita dan Santi menginap di rumah Aisyah, mereka menghabiskan malam dengan mengenang cerita yang telah mereka lewati bersama. Kini ketiganya sedang tersenyum bersama tapi air mata tak bisa berbohong seperti senyum dibibir mereka yang sedikit bisa menipu.
"Gue janji bakalan hubungi kalian kalau sudah sampai. Kalian semangat buat daftar kuliah ya, empat tahun kemudian gue tunggu kalian di rumah ini." Aisyah memeluk satu persatu sahabatnya, rasanya tak kuasa jika harus berpisah dengan mereka.
Setelah menangis bersama dua sahabatnya dia pun menghampiri sang Mama yang sejak tadi duduk di sebuah kursi menatapnya tanpa berkedip. Mama ikut menangis haru, dia bahagia jika putrinya bisa kuliah di tempat yang diinginkannya.
"Ma, aku pamit ya. Aku bakalan rindu berat sama mama." Aisyah memeluk tubuh sang Mama disertau derai air mata.
Mama membalas pelukan tersebut erat, "Iya sayang, kejar cita-cita mu di sana, doa Mama selalu menyertai mu, dan jaga diri baik-baik ya, serta jaga sikap karena kamu tinggal di negara orang lain, yang sudah pasti berbeda dalam segi apapun dari bumi kita sendiri," tuturnya, entah sudah keberapa kalinya, tapi Mama seakan tak bosan mengingatkan putrinya itu.
"Pasti Ma, Mama juga jaga diri baik-baik ya. Aku harus pergi sekarang, Ma." Aisyah melepaskan pelukannya, dia tak mau bertahan lebih lama lagi, sebab bisa saja dia tak jadi pergi jika melakukan hal itu.
Dia pun masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangan pada sang Mama dan kedua sahabatnya. Sebenarnya sang Mama ingin sekali mengantar Aisyah sampai dia berangkat ke luar negeri, tapi apa daya dia tak mungkin bisa melakukan hal itu, sebab bisa saja dia bertemu dengan istri Fadly nantinya. Bukan hanya dia yang akan terkena masalah, bahkan nanti Aisyah pun akan terkena masalah jika itu terjadi.
Aisyah terus menatap belakang, hingga mobil berbelok menghilangkan bayangan Mama dan dua sahabatnya. Dia pasti akan merindukan mereka, kampung halamannya juga dan tentu saja suasana di kampung yang sangat asri jauh dari polusi.
💜🔥💜🔥💜
Perjalanan pertamanya menggunakan burung besi di atas awan itu sedikit membuatnya kewalahan, selama berjam-jam melayang di atas langit dia merasa takut sebenarnya, tapi untung saja sang Papa mengutus orang yang tepat. Gadis dewasa yang menemaninya itu selalu mengurus dia terutama saat dirinya tak berdaya.
Kini perjalanan itu telah berlalu, dia sudah sampai di sebuah apartemen sederhana yang akan ditempati selama kuliah di tempat ini.
"Nazwa, istirahatlah. Aku akan membeli makanan untuk kita," Bella, perempuan itu yang terus mengurus Aisyah seperti adiknya sendiri, bahkan mereka baru saja saling mengenal sehari sebelum pergi ke negara ini.
Bella salah satu karyawan Fadly yang memang pernah tinggal di negara ini selama kurang lebih dua tahun, dia dulunya kuliah di sini, tapi karena usaha sang Papa gulung tikar, dia harus melanjutkan kuliah di negaranya sendiri. Dan kini dia diberi mandat untuk menjaga dan membimbing anak bosnya untuk tinggal di sini.
"Kak Bella, udah aku bilang jangan panggil Nazwa, aku enggak suka!" seru Aisyah dengan suara lemah.
"Loh, kenapa? Nama kamu kan memang Nazwa," Bella sebenarnya sudah tahu kenapa Aisyah tak mau dipanggil dengan nama Nazwa.
"Panggil aku Aisyah, please!" pinta Aisyah.
"Sekarang aku mau tidur, silahkan jika Kakak mau cari makan." Aisyah masuk ke dalam kamar tanpa membawa kopernya yang masih berada di luar kamar, dia tak sanggup jika harus membereskan barang bawaan nya saat ini, tubuhnya masih lemas ditambah kepalanya pusing, tak lupa perutnya yang sangat tak nyaman karena mabuk perjalanan udara.
💜🔥💜🔥💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments