Ternyata bukan hanya Ryuga saja yang selalu teringat akan Aisah. Gadis itu pun belum bisa melupakan Ryuga dari ingatannya, masih selalu terbayang bagaimana senyum seorang Ryu yang begitu manis dan juga ucapan lembutnya. Sungguh dia tak pernah berbicara banyak dengan lawan jenis apalagi itu orang lain, selain dengan Ryu waktu itu.
"Ahh, gue kebayang Ryuga tiap saat, gimana dong? Apa itu artinya gue udah pindah ke lain hati?" tanya Aisah pada dua sahabatnya.
Saat ini mereka sedang berada di kantin sekolah, menikmati makanan mereka masing-masing.
"Yaudah Lo sama Ryuga aja, gue sama Ye Jun, pas kan?" sahut Santi yang juga mengagumi Ye Jun.
"Apaan, enggak lah. Gue tetep mau Ye Jun, dia itu tampan paripurna, tak ada lawan dan tandingannya. Uhh pengen banget gue ngobrol panjang lebar sama dia." Aisah melupakan Ryuga sejenak, dia kembali teringat akan wajah tampan Ye Jun.
"Ck, plin plan. Pilih salah satu dong." Santi berdecak, tak percaya dengan sahabatnya yang tak bisa menentukan pilihan itu.
"Kalian berdua ributin orang yang bahkan tidak mengenal kalian, sama sekali tidak penting. Udah deh diem, makan yang anteng jangan kaya anak TK rebutan lego!" seru Nita, merasa kesal dengan dua sahabatnya karena terus meributkan dua idol itu.
"Ck, enggak asik Lo Nit." Sahut Santi menatap Nita tak suka.
Meski tak suka dengan ucapan Nita, kedua gadis itu pun langsung diam dan menikmati makanan mereka.
"Ratu halu!" Tiba-tiba suara seseorang yang paling tak mau di dengar oleh Aisah dan dua sahabatnya terdengar jelas di telinga mereka.
"Apa sih ikut campur? Lo iri ya sama Aisah, karena dia udah ketemu idolanya?" kini Santi menyahuti Vera lebih dahulu, dia tak suka sahabatnya dibilang ratu halu oleh Vera.
"Ih enggak banget gue iri sama pelakor!" Vera menatap Aisah sinis.
Kali ini Aisah terusik dengan ucapan Vera, dia tak suka sang Mama dikatakan pelakor, karena yang dia tahu Mamanya bukan wanita seperti itu.
"Lo boleh ngatain gue apapun, asalkan enggak ngatain Mama gue! Mama gue bukan pelakor! Asal Lo tahu itu!" ucap Aisah geram, dia bahkan sampai berdiri dari kursinya ingin menghampiri Vera tapi dicegah oleh Santi dan Nita.
"Ais, enggak usah ladenin dia. Inget kita sebentar lagi ujian, kita berdua enggak mau Lo kena masalah," ujar Nita, kali ini dia tak mau sahabatnya terpancing dengan ucapan Vera, karena akan mempengaruhi masa-masa terakhir mereka di SMA. Padahal biasanya Nita yang selalu meladeni Vera lebih dulu.
Aisah menghela nafas kasar, "Gue duluan." Ucapnya sambil berlalu meninggalkan kedua sahabatnya beserta Vera yang sedang tertawa bahagia.
"Lo enggak usah cari gara-gara terus deh! Pikirin juga tuh hasil ulangan Lo yang cuma bergambar badut dan bebek." Santi tersenyum remeh sambil menatap Vera.
Wajah Vera berubah merah seketika mendengar ucapan Santi, kenapa Santi bisa tahu semua nilai hasil ulangannya? Darimana gadis itu tahu?
Saat akan membalas ucapan Santi ternyata gadis itu dan Nita sudah pergi dari tempat tersebut, membuatnya makin kesal sekaligus malu. Dia pun akhirnya meninggalkan kantin tersebut menyusul tak jadi menyusul ketiga sahabatnya.
💜🔥💜🔥
Sore hari itu, tiga sahabat sedang berjalan menuju kediaman Aisah, masih dengan memakai seragam lengkap, karena mereka memang baru saja pulang dari sekolah guna mengikuti pelajaran tambahan yang memang diadakan untuk anak kelas dua belas.
"Kalian berdua yakin enggak pulang dulu nih?" tanya Aisah ditengah perjalanan mereka.
"Enggak lah, nanti kemalaman. Lagian gue udah ngomong sama ibu tadi," jawab Santi yang rumahnya paling jauh diantara mereka.
"Lo Nit?" tanya Aisah pada Nita yang belum menjawab pertanyaannya.
"Kan gue tadi udah bilang, kalo Ayah sama Ibu lagi ditempat Mbak Ayu yang baru lahiran kemarin, gimana sih Lo lupa?" Nita menjawab pertanyaannya Aisah dengan sebuah pertanyaan lain.
"Ah iya gue lupa Nit, sorry." Aisah tersenyum canggung, sebab melupakan apa yang diucapkan sahabatnya itu tadi siang.
Kedua sahabatnya itu berencana menginap di rumah Aisah seperti biasa, mereka akan mengerjakan tugas bahasa Inggris bersama-sama nanti malam, karena Aisah jagonya dalam bahasa asing itu.
Mereka bertiga mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah Aisah yang ternyata pintunya terbuka, tak seperti biasanya Mamanya Aisah sudah kembali dari konveksinya sore hari seperti ini, biasanya saat senja wanita itu kembali.
Aisah terkejut saat mendapati seorang tamu yang duduk di salah satu sofa ruang tamu. Seorang lelaki paruh baya yang tak ingin dia temui itu kini berada di rumahnya. Tak suka, tentu saja meski mereka memiliki hubungan paling kental sekalipun, sebab menurutnya lelaki itu hanya memberikan luka pada sang Mama tanpa dia tahu cerita yang sebenarnya.
"Ma, kita bertiga masuk kamar yah." Ucap Aisah setelah mengalami sang Mama.
"Nazwa, tunggu sebentar Papa mau bicara sama kamu." Lelaki paruh baya yang tak lain Papa Aisyah itu pun angkat bicara, dia tak ingin sia-sia datang ke rumah ini karena tak bisa bicara dengan putrinya.
Nita dan Santi saling tatap satu sama lain, mereka baru kali ini melihat Papa Aisyah, sebab selama ini sahabatnya itu mengatakan jika dia tak pernah bertemu dengan sang Papa yang meninggalkan dia dan Mamanya sejak Aisyah bayi, tapi sepertinya Aisyah tidak berkata jujur pada kedua sahabatnya.
"San, Nit, kalian masuk dulu ya. Nanti gue ceritain." Aisyah menatap kedua sahabatnya penuh penyesalan sebab selama ini telah berbohong tentang Papanya.
Santi dan Nita pun mengangguk, mereka berpamitan masuk ke dalam kamar lebih dahulu, sebab bukan tanah keduanya untuk terus bertahan di ruang tamu itu.
"Mau ngomong apa lagi? Aku sudah menerima semua uang itu tiap bulan, tapi masih aja muncul, bilangnya enggak akan muncul lagi." Wajah Aisyah berubah datar saat berbicara dengan sang Papa.
"Sayang, jangan seperti itu dong. Mau bagaimana pun beliau Papa kamu, Mama enggak suka ya anak Mama seperti ini." Mama menyentuh pundak Aisyah, berharap putrinya itu mengerti.
"Oke Papa minta maaf. Tujuan Papa ke sini pertama karena Papa rindu sama kamu, kedua Papa mau ngasih hadiah ulang tahun kamu yang ke tujuh belas kemarin, meskipun telat. Kamu mau hadiah apa dari Papa? Kalau Agam kemarin minta mobil, apa kamu mau sama seperti Agam?" tanya sang Papa.
Dia ingin lebih dekat dengan putrinya tersebut, tapi sepertinya sangat sulit, karena itu dia sengaja menawari Aisyah sesuatu.
"Tidak perlu, aku enggak minta apapun," jawab Aisyah datar.
"Baiklah, Papa akan kasih kamu uang senilai mobil Agam, karena Papa tidak mau membedakan kalian berdua," putusnya.
"Tidak perlu, untuk apa uang sebanyak itu? Aku tidak membutuhkannya," Lagi-lagi Aisyah menolak.
"Kata Mama kamu, kamu mau kuliah di luar negeri, kan? Papa siap membiayainya, pilihlah kampus terbaik di sana, atau Papa yang pilihin, kali ini Papa tidak mau mendengar penolakan lagi," sang Papa mengalihkan pembicaraan, sebab dia merasa Aisyah itu gambaran dirinya yang keras kepala dan tak mau mengalah, tapi ternyata sifat itu hanya berlaku untuk sang Papa tidak dengan yang lain.
"Terserah," timpal Aisyah.
"Agam juga mau kuliah di luar negeri, tepatnya di Oxford University," beritahu sang Papa.
Aisyah tak menanggapi, dia hanya diam mendengarkan ucapan sang Papa. Ingin pergi dari tempat itu sebenarnya, tapi dia takut sang Mama marah padanya, akhirnya dia hanya menyimak dan menjawab pertanyaan Papanya dengan singkat.
💜🔥💜🔥
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments