Weekend pun tiba Aisyah beserta dua sahabatnya sudah berada di depan mall yang biasanya hanya mereka lewati saja, pernah sekali dua kali mereka masuk mall tersebut tapi hanya melihat-lihat dan akhirnya memilih belanja di pasar. Tapi kali ini mereka tak akan melihat saja, mereka akan membeli beberapa barang yang mungkin akan sangat dibutuhkan.
"Apa yang kalian mau ambil saja, enggak usah lihat harganya. Gue yakin rekening gue ini udah sangat obesitas, hampir enam tahu enggak pernah gue senggol dikit aja." Ujar Aisyah ditengah langkah mereka menuju lantai dua dimana pusat perbelanjaan berada.
"Seriusan?" tanya kedua sahabatnya.
Aisyah mengangguk, "Serius banget. Karena gue enggak tahu kapan lagi kita bisa kumpul kaya gini. Sebentar lagi kita ujian, dan setelah ujian gue harus urus kuliah di luar negeri, kalian juga pasti mau cari tempat kuliah impian kalian berdua, kan? Dan kita akan semakin jarang bertemu tentunya," ucapnya panjang lebar.
Nita dan Santi langsung merangkul pundak Aisyah yang memiliki tinggi badan hampir sama dengan mereka berdua, hanya saja Aisyah lebih unggul.
"Iya bener banget, kita pasti akan merindukan momen kebersamaan ini. Momen saat kita berdua nginep di rumah Lo," timpal Santi.
"Iya, itu sudah pasti," sabut Nita.
"Kok jadi sedih sih? Sekarang kita kan mau seneng-seneng, sedihnya ditunda dulu ya." Aisyah membalas rangkulan kedua sahabatnya itu, hingga mereka sulit untuk berjalan dan hal itu membuat ketiganya tertawa lepas.
"Nanti kalo gue kuliah di luar negeri, kalian berdua harus sering datang ke rumah ya. Nginep juga boleh, biar Mama enggak merasa kehilangan kalian," pesan Aisyah.
"Itu pasti. Gue akan sering datang ke rumah Lo," sahut Nita.
"Iya gue juga," timpal Santi.
Mereka akhirnya sampai di sebuah toko pakaian bermerk yang biasanya hanya mereka lihat dari luar, karena sudah bisa menebak berapa harga satu baju saja di sana.
"Seriusan Lo bawa kita ke sini?" tanya Nita tak percaya.
Aisyah tersenyum lalu mengangguk, "Gue serius. Kalian boleh beli apapun yang kalian mau, jangan sungkan. Khusus sehari ini gue jadi Nazwa bukan Aisyah, karena besok gue akan jadi Aisyah sahabat kalian," jawabnya.
Santi dan Nita langsung memeluk Aisyah, lalu mereka berdua menarik Aisyah untuk ikut memilih pakaian.
"Kita akan pilih apapun tanpa lihat bandrol, tapi ada syaratnya Lo juga harus beli, kalau enggak kita juga enggak akan beli," Nita mengajukan syarat, sebab dia bisa membaca pikiran Aisyah yang sepertinya enggak membelanjakan uang dari sang Papa itu.
Aisyah menghela nafas dan dengan terpaksa dia mengangguk, "Oke, seperti yang gua katakan tadi, hari ini gue Nazwa, yang akan membelanjakan uang pemberian Papanya," ucapnya.
Mereka bertiga benar-benar membeli apa yang disuka tanpa melihat harganya, tapi sejak tadi Nita dan Santi hanya membawa satu set pakaian sedangkan Aisyah sudah membawa beberapa setel pakaian yang dipilihkan oleh kedua sahabatnya.
"Kalian jangan cuma beli satu doang dong. Nambah satu lagi." Aisyah meraih satu setel pakaian lalu dia berikan pada Santi dan satu setel lagi dia berikan pada Nita.
"Itu pilihan gue buat kalian, dan yang ini kita samaan." Setelah mengatakan hal itu, Aisyah pun langsung menuju ke kasir untuk membayar semua pakaian milik mereka.
"Mbak pakai kartu debit ini ya, enggak usah sebut berapa jumlahnya, saya percaya sama mbaknya." Aisyah menyerahkan kartu debit miliknya sebelum kasir itu menyebut berapa jumlah yang harus dia bayar, sebab dia tak mau kedua sahabatnya terkejut mendengar berapa banyak mereka belanja.
Tak hanya pakaian saja yang mereka beli, mereka juga membeli tas dan sepatu. Setelah lelah mereka akhirnya memilih untuk makan lebih dahulu sebelum pulang, karena waktu juga sudah tengah hari.
Disisi lain, seorang lelaki paruh baya baru saja mendapatkan notifikasi di ponselnya, tentang pengeluaran uang dari rekening putrinya. Dia tersenyum, mengira jika putrinya itu mulai menganggap keberadaanya.
"Akhirnya setelah sekian lama kamu keluarkan juga uang itu, papa seneng. Untung saja Papa sudah menambah saldonya lagi kemarin, dan itu tak ada seperempatnya dari yang kamu gunakan saat ini." Fadly tersenyum bahagia melihat notifikasi yang baru saja masuk.
"Harusnya kamu mendapatkan lebih dari apa yang Agam dapatkan, dan Papa berjanji akan memeberikan itu untuk kamu suatu saat nanti," gumamnya.
"Pa! Mana kunci mobilku? Bunda udah ngijinin aku pergi hari ini," suara Agam mengejutkan Fadly dari lamuannya.
"Enggak ada. Kamu enggak boleh keluyuran lagi. Inget Gam, sebentar lagi kamu ujian, sedangkan nilai kamu selama ini tidak pernah lebih dari lima, Papa enggak mau kamu mengulang kelas tiga lagi." Fadly menatap tajam putranya, dia tak suka dengan putranya itu yang sering nongkrong tidak jelas dan terkadang pulang dalam keadaan mabuk.
"Percuma punya mobil kalau cuma jadi pajangan!" Agam meninggalkan sang Papa karena sudah dipastikan sang Papa tak akan memberikan kunci mobil itu, meski dia sampai bersujud sekalipun.
Fadly menghela nafas panjang, dia sebenarnya tak suka dengan sikap putranya yang seperti itu.
"Maafkan Papa harus melakukan semua ini, Nazwa," gumamnya.
💜🔥💜🔥
Aisyah dan kedua sahabatnya baru saja menghabiskan makanan mereka, tapi ketiganya masih bertahan di sana untuk istirahat sejenak. Ketiganya asyik mengobrol, membicarakan rencana masa depan setelah lulus SMA, tapi tiba-tiba ada yang mendatangi mereka, membuat ketiganya terkejut.
"Kalian jual diri ya? Makanya bisa belanja barang branded kaya gini? Makan di resto mahal lagi? Di bayar berapa sih?" tanya seseorang itu dengan sinis. Dia adalah Vera beserta dua temannya, entah yang satu lagi kemana karena tak terlihat.
"Gue rasa lo itu ngefans deh sama kita. Kemanapun kita pergi pasti ada Lo, ngikutin ya?" Nita sama sekali tak menggubris tuduhan Vera, tak penting sama sekali menurutnya.
"Cih! Najis! Tiap minggu gue ke sini, dan baru kali ini liat upik abu seperti kalian belanja di sini. Gue jadi curiga, kalian pasti jadi ja*lang buat dapetin barang mahal ini! Mana mampu orang miskin kaya kalian beli barang mahal kalau enggak jual diri?" Vera terus menuduh mereka bertiga, meski tak memiliki bukti apapun.
"Jangan asal ngomong Lo ya!" Nita geram, dia bangkit dari duduknya berniat menyerang Vera, tapi Aisyah menghalangi.
"Enggak usah Nit, biarin aja dia mau ngomong apa, nanti dia juga capek sendiri." Aisyah menarik tangan Nita untuk duduk kembali, dia tak mau sahabatnya membuat keributan di restoran ini.
Sedangkan Vera tersenyum mengejek, tapi sepertinya masih enggan meninggalkan tempat itu.
Aisyah memanggil seorang pelayan, "Mbak tolong bayarin makanan mereka juga." Menyerahkan kartu debit miliknya pada pelayan tersebut.
"Totalnya dua juta enam ratus lima puluh ditambah meja nomor lima belas, sebesar lima juta seratus. Jadi, semuanya tujuh juta tuju ratus lima puluh ya mbak," ucap pelayan itu.
Aisyah hanya mengangguk.
"Terimakasih Mbak, tadi mereka tidak bisa melunasi semuanya, jadi salah satu dari mereka kami tahan sebentar, dia beralasan mau menelpon orang tuanya," pelayan itu menunjuk Vera dengan skor matanya.
Entah kenapa pelayan tersebut begitu berani menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Oh begitu, baiklah mereka temanku Mbak. Jadi, lepaskan temanku yang kalian tahan ya," ucap Aisyah.
Nita dan Santi terbahak setelah pelayan itu pergi, kini dia bisa menertawakan Vera dan teman-temannya dengan sangat puas. Mungkin setelah ini dia akan menggunakan hari ini sebagai senjata melawan Vera, jika masih mengganggu Aisyah.
Sedangkan Vera dan dua temannya pergi dari tempat itu dengan wajah merah karrna malu, kini aibnya terbuka secara paksa gara-gara pelayan tadi.
💜🔥💜🔥💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Surtinah Tina
kasian Vera... 🤣🤣🤣🤣e
2023-05-05
0
Fajarina
jadi yg pertama donk💃🏻
2023-03-05
1