Baru siuman, tapi langsung sehat, bahkan kali ini tengah mondar-mandir di depan teras depan rumah. Cinta yang dikendalikan oleh arwah Resty sukses membuat semuanya tercengang. Apalagi menurut pemeriksaan, kesehatan Cinta benar-benar normal. Lain dengan keadaan dokter Gunawan yang malah divonis lumpuh total, selain ditemukan kandungan cairan yang memang sangat berbahaya dan menjadi pemicu kelumpuhan tubuh pria itu.
Tuan Maheza masih menemani. Di belakangnya ada Sekretaris Lim, sementara di belakang mereka ada tiga pria berseragam setelan jas hitam yang akan selalu siaga.
Sekitar pukul setengah delapan, akhirnya Lexus putih yang Cinta tunggu datang. Berdebar-debar dada wanita itu ditambah butiran bening yang akhirnya jatuh membasahi pipi. Rasa haru sungguh membuncah karena pada akhirnya ia bisa bertemu dengan kedua buah hatinya. Walau dalam wujud berbeda, dan keduanya tidak ada yang mau ia ajak. Yang ada, air matanya menjadi sibuk berjatuhan mengiringi hujan deras yang turut mengurai cerita.
Sadar Cinta akan kehujanan, dengan cepat Tuan Maheza melepas jasnya. Lain dengan Sekretaris Lim yang segera mengambil salah satu payung yang baru saja dibawakan oleh seorang pelayan dari dalam rumah. Di waktu yang sama, keduanya menghampiri sekaligus melindungi Cinta. Sempat terdiam menatap tak percaya ulah satu sama lain, tanpa mau egois, kedua pria itu tetap sama-sama memberikan perhatian kepada wanita cantik yang kini mengemis perhatian kepada kedua bocah yang Tomi bawa. Padahal Elia yang mengemban Martin, tidak ada yang memperhatikan. Wanita itu sampai kehujanan dan dibantu oleh ketiga pengawal yang tadi terjaga untuk Tuan Maheza maupun Sekretaris Lim.
Lagi-lagi arwah Resty tidak bisa diajak kompromi, meyakinkan Cikho bahwa dirinya sang mamah. Cikho terlihat jelas sangat mendambakan kehadiran Resty karena sampai detik ini pun yang bocah itu tanyakan masih Resty.
“Papah, aku mau Mamah! Mamah mana, Pah?”
Sakit. Rengekan Cikho tersebut tak ubahnya mata tombak yang sibuk menghunnjam ulu hati seorang Resty. Hati Resty remuk redam karenanya walau tentu saja, kali ini wanita itu tak lebih dari arwah penasaran yang sedang melakukan misi balas dendam.
Arwah Resty merebut paksa Cinta sang putri yang tak hentinya menangis dalam dekapan Tomi. “Karena keegoisanmu, Mas! Ibliss kamu!” batinnya menatap marah Tomi. Sambil mendekap hangat Cinta sang putri, ia menatap Tomi. “Mamahnya anak-anak, ke mana?” Mengatakan itu, Resty makin tidak bisa mengontrol emosi apalagi air matanya.
Tomi yang masih mendekap asal Cikho di bawah sana, tak bisa menjawab. Malahan, Tomi menjadi tidak berani menatap Cinta.
Ketika Tuan Maheza tidak mempermasalahkan yang sedang sang istri keluhkan, tidak dengan Sekretaris Lim yang langsung menerka-nerka.
“Kamu suaminya tapi tidak bisa menjawab? Setelah kamu menjadikannya tulang punggung, begini balasan kamu? Enggak ngotak banget kamu! Suami enggak berguna, hobinya selingkuh! Mati saja sana kamu!” tegas Cinta yang tentu saja masih Resty.
Tomi tercengang mendengar itu. Ia menatap tak percaya Cinta yang tengah menghakiminya. Bukan karena kata-kata wanita itu terbilang sangat kasarr meski memang kenyataan. Melainkan, kata-kata Cinta barusan mengingatkannya kepada Resty. Kalimat yang keduanya ucapkan sangat mirip. Tomi sampai bergidik, dan kali ini ia memergoki bulu halus di kedua tangannya kompak berdiri.
Di belakang Tuan Maheza dan Sekretaris Lim, Elia yang diabaikan, terdiam menatap iri Cinta. Ia membiarkan sang putra diambil oleh pengasuhnya. Termasuk barang bawaannya yang sudah langsung diangkut dari Lexus putih. Sampai detik ini, ia masih menerka-nerka, kenapa Cinta malah siuman bahkan sehat wal afiat. Anehnya, tingkah Cinta juga menjadi berubah drastis begitu. Dan kenapa juga, Cinta menjadi terobsesi kepada kedua anak Tomi? Di beberapa kesempatan pun, wanita itu menyebut dirinya sebagai mamah kedua anak Tomi.
“Cikho sayang, sini ikut Mamah!” sergah Cinta. “Ayo, masuk. Di situ hujannya makin deras, Sayang. Nanti kamu sakit.”
Karena Cikho tetap tidak mau, Resty terpaksa meminta bantuan Tomi untuk memboyongnya. Ia membawa kedua anaknya ke sebuah kamar yang sebelumnya sudah disiapkan secara khusus. Pakaian untuk kedua anaknya juga sudah ada beberapa pasang di sana. Termasuk mainan, kedua anaknya juga akan merasakan fasilitas orang kaya.
“Jangan pernah menanyakan kenapa aku melakukan ini, sebelum kamu membawa istrimu ke sini!” tegas Cinta masih memperlakukan Tomi dengan bengis. “Rasanya aku beneran pengin cincangg kamu sampai halus, tapi waktunya beneran belum tepat. Tunggu pembalasanku, Mas. Sebelum aku benar-benar mencincang kamu sampai halus, aku akan mengulitii kamu sama gundik itu dulu. Aku akan membuat kalian malu semalu-malunya di hadapan dunia! Iya, dunia sungguh akan mengetahui kelakuan stress kalian!” sumpah Resty dalam hatinya.
Sepanjang diurus Cinta yang memperlakukannya layaknya cara sang mamah dalam mengurusnya, Cikho menjadi bengong sibuk memperhatikan Cinta.
“Kenapa Sayang? Ayo, tidur. Besok bangun pagi terus kita main. Apa mau nonton Tayo sama Pororo.” Resty bertutur lembut sambil merangkul sang putra yang tetap tidak mau tidur.
“Tante, ... Mamah ke mana, sih?” tanya Cikho.
Lagi, Resty tak bisa menjawab. Lidah Cinta mendadak kelu, dan ia tak sanggup mengendalikannya. Di tengah suasana kamar yang sudah remang menjadikan salah satu lampu meja di nakas sebagai satu-satunya sumber penerang, air matanya kembali lolos.
“Mamah ....” Bibir mungil Cikho tak hentinya memanggil, sementara mata tak berdosanya yang kembali basah, mencari-cari.
“Mamah di sini Sayang ... ini benar-benar Mamah,” batin Resty.
Tak kalah menyakitkan, walau kembali hidup dan tak lagi dikenali oleh buah hatinya sendiri, kini Resty juga tak bisa memberi Cinta sang putri, ASI. Kini, sang putri yang memiliki tubuh gembul itu terpaksa menyambung hidup mengandalkan sufor.
“Bayangkan kalau aku beneran sudah enggak ada. Mau jadi apa mereka? Apa yang harus aku lakukan? Apakah sebelum misi aku berakhir, aku harus menitipkan mereka ke Arum? Aku enggak mungkin menitipkan mereka ke orang lain selain Arum. Orang tuaku maupun orang tua Tomi sudah sama-sama renta. Melepaskan mereka kepada Tomi pun, aku enggak sudi walau dia papahnya. Tentunya, aku juga enggak mungkin menitipkan mereka ke panti asuhan,” batin Arwah Resty yang tak hentinya berlinang air mata. Mirip hujan malam ini yang tak kunjung usai di luar sana.
Lantaran Cikho tak kunjung tidur, Resty yang sudah beres memberi sang putri satu botol sedang sufor, berangsur mengemban Cikho. Resty menimangnya penuh sayang, membawanya melangkah pelan sambil sesekali mengajak bocah itu mengobrol.
Di dekat pintu yang sedikit dibuka, Tuan Maheza masih dengan setia terjaga. Namun perlahan pria itu masuk, menghampiri sang istri meminta wanita itu untuk memberikan Cikho.
“Berat, nanti kamu capek. Kamu tetap harus istirahat walau dokter bilang kamu baik-baik saja. Kamu baru siuman setelah dua tahun ....” Tuan Maheza tak kuasa melanjutkan ucapannya karena yang ada, itu hanya akan mengukir kesedihan dalam hatinya. Dua tahun ini, ... sungguh menjadi hari-hari terburukk dalam hidupnya karena selama itu juga, wanita yang sangat ia sayangi malah terkapar tak berdaya.
“Enggak apa-apa, Mas. Bentar lagi anaknya juga tidur. Sekarang Mas istirahat saja, sudah malam, Mas pasti juga capek,” balas Resty lirih apalagi Cikho sudah mulai tenang dan bisa jadi, bocah itu sudah mulai tidur.
Senyum hangat terukir di wajah Tuan Maheza yang menjadi fokus menatap wajah sang istri. “Sejak siuman, kamu jadi perhatian banget,” batinnya. Ia menggunakan kedua jemari tangannya untuk menyeka sekitar mata sang istri. Wanitanya itu menjadi gugup. Selain menjadi terlihat tidak berani menatapnya, Cinta juga menjadi sibuk berkedip. Tak kalah mencolok, kedua pipi putih mulusnya menjadi sangat merah.
“Ta ...?” panggil Tuan Maheza.
Resty yang belum terbiasa dengan panggilan tersebut malah mengawasi sekitar, berpikir sang Tuan sedang mengobrol dengan orang lain padahal di sana hanya ada mereka yang belum tidur. Namun, tanggapan lugu Cinta yang malah membuat Tuan Maheza gemas, kian mengukir senyum indah di wajah tampan pria itu.
Jantung Resty langsung tidak aman ketika tangan kanan Tuan Maheza meraih dagu runcing Cinta. “Ini ibu Cinta yang diginiin, tapi jantungnya aku juga yang ngerasain jadi enggak aman,” batin Resty.
“Kamu tahu, kan, aku sayang banget ke kamu?” tanya Tuan Maheza lembut seiring senyuman hangat yang masih menjadi warna utama di wajahnya.
Walau gugup, Resty mengangguk-angguk. Ekspresi yang lagi-lagi membuat Tuan Maheza gemas.
Dari balik pintu yang perlahan dibuka, Sekretaris Lim langsung melow hanya karena melihat kebersamaan Tuan Maheza dan Cinta. Yang menyita perhatiannya, tentu tangan kanan sang kakak yang masih menahan lembut dagu Cinta, ditambah Cinta yang tampak malu-malu diperlakukan penuh cinta oleh Tuan Maheza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
𝙟𝙙 𝙗𝙞𝙣𝙜𝙪𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙢 𝙝𝙪𝙗𝙪𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙠𝙚 3 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙞𝙩𝙪
2023-06-07
5
Mbah Edhok
airmata tidak berhenti mengalir ....
2023-05-24
0
мєσωzα
pasti nyesek banget gak dikenalin anak sendiri (walaupun memang raganya beda) 😭
2023-05-03
0