Azzura celingukan mencari keberadaan balita yang kerap memanggilnya mama. Saat melihat Azriel yang sedang menatapnya dan tangan mungilnya terus terulur kepadanya membuat Azzura heran.
"Siapa yang di panggil mama oleh Azriel?" gumam Azzura masih memilih sayuran. Ibu-ibu yang di sana pun melirik pada Azzam yang ada di dekat pos.
"Mamama huaaaa." Balita itu menangis dengan tatapan terus ke Azzura.
"Mungkin Azriel mau di gendong kamu, Azzura. Itu tatapannya terus tertuju sama kamu. Kasihan dia nangis," ucap Bu Nining.
Azzam berusaha menenangkan, tapi Azriel malah tidak mau diam.
"Aduh, kasihan anaknya. Apa aku bawa saja ya?" Azzura meminta pendapat kepada ibu-ibu yang ada di sana.
"Gendong saja, Nak. Kasihan." Setelah mempertimbangkan semuanya, Azzura menghampiri Azzam.
"Mas, boleh aku gendong Azriel?" tanya Azzura meminta izin.
Azzam menoleh, lagi-lagi Azzura ada di saat putranya menangis. Dan respon Azriel pun membuat Azzam terkejut.
"Mamama." Balita itu merentangkan kedua tangannya meminta di gendong dan Azzura pun mengambilnya.
"Eh, tidak usah. Aku saja yang menyenangkan." Azzam tidak mau merepotkan orang lain dan tidak mau Azriel terus menerus berharap kepada Azzura.
"Tidak apa-apa, Mas. Daripada Azriel nangis terus, kasihan." Azzura pun mengambil alih Azriel dari pangkuan Azzam dan membawanya ke kumpulan para ibu-ibu. Benar saja, Azriel nampak diam dan anteng dalam pangkuan Azzura.
Tercipta canda tawa pada kumpulan ibu-ibu yang sedang mengolah masakan buat para bapak-bapak yang akan kerja bakti. Azzam sesekali melihat putranya dan tersenyum kala sang putra tertawa lepas.
*****
Kantor.
"Selamat ya Ghina, kamu di terima kerja. Mulai hari ini, kamu bisa bekerja." Chiko memberikan selamat seraya mengulurkan tangannya kepada Ghina. Wanita itu tersenyum senang mendapatkan kerjaan dan gajinya pun lumayan membantu meski ia merasa masih kurang.
Setelah melakukan interview, Chicko menerima lamaran yang Ghina ajukan dan lembaran pengajuan lamaran kerja pun sudah memenuhi syarat.
"Makasih, pak. Terima kasih juga sudah memberikan pekerjaan kepadaku."
"Bukan saya, tapi perusahaan yang memberikan. Saya hanya perantara saja. Kali begitu, sebagai pekerjaan pertama, saya minta kamu buatkan kopi dan antarkan ke ruangan saya!"
"Siap, pak."
Terlebih dulu, Ghina mengganti baju kerja dengan pakaian ob. Dia pun ke dapur dan membuatkan kopi sesuai pesanan Chiko.
"Semoga Chiko suka kopi buatan ku. Aku yakin kalau dia pasti menyukainya dan ku yakin kalau kopi buatan ku jauh lebih enak dibandingkan kopi buatan Azzura." Semenjak tadi berangkat bareng, Ghina mulai tertarik kepada Chiko. Ghina menilai Chiko pria pengertian dan penyayang serta royal, dari itu dirinya ingin membuat kesan indah agar Chiko melirik padanya.
"Azzura, maaf, sepertinya aku ingin egois. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya hidup seperti yang kamu alami." Ghina pun membawa nampan berisi kopi dan setelah tiba di ruangan Chiko, ia mengetuk pintunya.
Tok ..tok ... tok..
"Silahkan masuk!" seri Chiko dari dalam ruangan. Ghina mendorong pelan pintunya dan tersenyum semanis mungkin.
"Permisi, ini Pak kopinya." Ghina menyimpan kopi itu di atas meja. Chiko mendongak menatap Ghina.
"Makasih ya." Lalu, ia mengambil cangkirnya dan menyeruput kopi buatan Ghina.
"Hmmm kopinya enak banget. Pintar sekali buatnya. Manisnya pas, pahitnya pas, dan harumnya juga bikin menggoda." Chiko menghirup aroma kopinya.
"Iya Pak, itu resep dari orangtua saya. Bagaimana rasanya, enak?"
"Sangat, ternyata kopi buatan kamu jauh lebih enak dibandingkan kopi buatan Azzura." Chiko mulai membanding-bandingkan Azzura dan Ghina.
"Ah bapak bisa saja. Pasti istri bapa jauh lebih baik dari saya. Pasti Azzura juga pandai menyenangkan bapak." Ghina memuji istrinya Chiko, tapi dalam hati terkesan muak.
"Aku tidak boleh kalah dari Azzura, aku harus buat Chiko semakin kecanduan dengan apa yang aku buat dan dengan apa yang aku miliki."
Rasa iri dan rasa ingin memiliki sesuatu yang orang lain miliki membuat Ghina gelap mata dan berniat merencanakan sesuatu. Ternyata, harta mulai merubahnya dan malah berniat mencari sesuatu yang lebih.
"Mau aku pijitin, gak?" tiba-tiba Ghina berdiri di belakang Chiko dan memijat pundak Chiko.
"Eh, tidak perlu." Namun, pijitan Ghina seakan membuat Chiko terlena dan merasa badannya lebih enakan.
"Tidak apa-apa, lagian aku tidak keberatan memijat bos yang sudah membantuku masuk ke kantor ini. Anggap saja ini sebagai rasa terima kasihku kepadamu karena kamu sudah mau menolongku."
"Hmmm, pijatan mu enak juga. Pasti suami kamu senang memiliki istri yang pandai memijat." Chiko menikmati pijatan Ghina di kepalanya. Baru saja satu hari berbicara, mereka terlihat sangat akrab seperti sering bicara sebelumnya. Padahal awal-awal saja Chiko tidak terlalu memperhatikan Ghina, tapi hari ini ia sedikit simpati setelah mendengar cerita dari Ghina sendiri.
"Suamiku tidak pernah mau dipijat, katanya malas dan tidak enak. Dia selalu menolak saat aku ingin berbakti padanya." Ghina kembali berbohong mengenai cerita rumahtangganya. Tidak ada apa-apa malah terkesan seperti ada masalah.
"Benarkah? Lalu semacam melayani kebutuhan biologis dia tidak mau?" Chiko mulai berani bertanya ke arah yang lebih sensitif.
Ghina diam sejenak. "Apa aku harus pura-pura tersiksa dan tidak bahagia agar Chiko prihatin? Lagian sudah dua bulan ini mas Azzam tidak memberikanku nafkah batin dengan alasan sakit kaki."
"Tidak, sudah lama kami tidak saling berhubungan karena dia tidak mau. Padahal, aku sudah menawarinya, tapi dia sendiri tidak mau. Katanya sudah bosan padaku dan aku tidak menarik lagi di matanya."
"Siapa bilang?" Chiko mendongak hingga mata mereka saling beradu. "Menurutku kamu itu masih cantik, menarik, tidak kelihatan seperti tidak memiliki anak. Mungkin suami mu saja yang tidak bersyukur memiliki istri sepertimu."
"Tapi sayangnya aku bukan Azzura yang begitu beruntung memiliki kamu." Ghina terlihat murung dan Chiko diam tanpa berkata.
"Ah, sudahlah. Aku mau lanjut lagi bekerja. Kalau kamu mau di pijit, bisa hubungi aku saja." Lalu, Ghina mengambil pulpen dan menuliskan no telponnya di kertas tak terpakai. "Ini no ponselku, kalau kamu butuh apa-apa bisa hubungi aku. Kalau kamu butuh pijitan, aku siap membantu." Ghina beranjak pergi dengan mata mengerling seakan menggoda.
*****
Keadaan berbeda sedang terjadi di tempat tinggal lebih tepatnya kampung halaman. Para ibu-ibu dan bapak-bapak sedang berkumpul menikmati hidangan makanan yang di suguhkan setelah selesai kerja bakti.
"Hmmm, masakan kali ini sangat lezat. Seperti makanan restoran," seru pak RT.
"Iya, sambalnya pun begitu enak. Pedasnya sedang, gulanya pun terasa," balas Azzam.
"Iya dong, ini kan semuanya resep dari neng Azzura," kata Bu Onih.
"Betul, kami mah mana bisa memasak makanan begitu banyak dan sangat lezat," timpal Bu Nining.
"Wah, neng Azzura pandai memasak."
Azzura tersenyum manis, "hanya makanan sederhana saja, pak, Bu." Lalu, Azzura mengambil ikan goreng dan kebetulan Azzam pun hendak mengambilkannya. Tangan mereka tak sengaja bersentuhan dan mata mereka pun malah saling bertatapan.
Deg .. deg .. deg ....
"Ekheemmm...."
"Eh!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
guntur 1609
ciko dan gina bagai kacang lupa kulitnya. emang gak tahu diri
2023-07-09
0
Fausta Vova
Halo kakak
Ceritanya sangat bagus, aku pasti bakal ngikutin terus lho. 🤩☺️
Kalau berkenan boleh yah kakak support juga karyaku dengan judul Sungguh Mencintainya 🙏😄
2023-06-28
0
Liswati Angelina
nah kan mulai main hati.... panassssss
2023-03-05
1