Berhubung Chiko tidak ada di rumah dan bilang akan lembur sampai larut malam, Azzura kembali menghabiskan waktu seorang diri. Merasa bosan, Azzura berjalan-jalan menyapa setiap tetangga yang ada di sana.
"Siang Bu. Lagi apa?" tanya Azzura melihat salha satu tetangga sedang membuat opak.
"Ini neng, buat opak. Makanan khas dari daerah saya."
Opak merupakan salah satu makanan tradisional. Opak biasanya ada yang terbuat dari beras ketan, Aci, ati bisa juga dari singkong yang di olah kemudian di jemur.
Azzura penasaran, dia menghampiri para ibu-ibu yang sedang saling membantu. "Opak, aku baru tahu ini namanya opak." Azzura memperhatikan mereka mengolah ketan yang sudah di uleni dan di bulat-bulat kemudian di pipihkan.
"Neng Azzura mau? Bisa coba yang udah matang. Siti ambilkan opak yang sudah digoreng di dalam sana!" pekik Bu Onih meminta putrinya mengambilkan makanan jadi.
"Eh, tidak usah Bu." Azzura tidak ingin merepotkan orang lain. Dia juga tidak enak hati atas kebaikan pemilik rumah.
"Tidak apa-apa, makanannya banyak kok jadi tidak Mungkin habis hanya untuk menyuguhi Neng Azzura saja." Bu Onih terkekeh memberikan candaan kepada Azzura.
Dan Siti datang membawa satu toples opak yang sudah digoreng.
"Ini namanya opak ketan. Coba neng Azzura cobain!" Bu Onih membuka toplesnya dan menggesernya ke hadapan Azzura.
Karena penasaran dengan rasanya, Azzura mengambil satu. "Bolehkan ini?" tanya dia lagi memastikan pemilik rumah mempersilahkan dia mencicipi hidangan makanan.
"Tentu boleh atuh. Silahkan di coba!"
Dan Azzura pun mengambil satu kemudian mencoba memakannya. "Hmm enak, rasanya gurih, kriuk-kriuk juga." Untuk pertama kalinya Azzura makan makanan opak. Dia juga sesekali membantu para ibu-ibu itu membuatnya. Ada canda tawa yang Azzura ciptakan diantara mereka. Dan para tetangga juga begitu menyukai Azzura karena orangtuanya mudah bergaul, tidak sombong, rendah hati meskipun bukan seiman.
Di saat asyik membuat kue. Ia mendengar tangis bayi yang tak henti-henti.
"Itu bayi siapa menangis? Kasihan," kata Azzura.
"Itu suara anaknya Azzam. Kasihan balita itu, ibunya sedang mencari pekerjaan dan ditinggalkan berdua bersama papanya."
"Mungkin mau Mimi kali."
Azzura diam dengan telinga terus menerus mendengarkan. "Aku merasa tidak tega. Apa boleh ya kalau aku kesana dan mencoba menenangkan bayi itu?" Azzura meminta izin ibu-ibu yang ada di sana.
Mereka saling pandang karena setahunya putranya Azzam dan gina sulit sekali untuk menerima orang baru dan tidak mau digendong orang lain selain ayahnya.
"Coba saja neng, kami semua tidak mungkin bisa karena anak itu tidak mau beralih pada kami. Kami juga sering mencoba membantu azab menenangkan putranya ketika Ghina tidak ada, tapi kami tidak bisa karena anaknya suka menolak."
"Aku coba deh. Kasihan anaknya nangis kejer begitu." Azzura pun beranjak berdiri dan berjalan ke arah rumah yang kebetulan berada di depan rumah Ibu Onih.
Azzam berusaha menenangkan putranya yang terus menangis. Dia sudah kewalahan menghadapi anaknya yang terus menerus rewel dan berontak. Entah apa penyebab balita enam bulan itu menangis, Azzam tidak tahu.
"Ya Allah, Nak. Kamu kenapa? Jangan buat papa bingung sayang," ujar Azzam mengusap punggung putranya yang ada dalam pangkuan dia.
"Permisi," ucap Azzura sambil menoleh kebelakang. Ibu-ibu itu mengangguk karena mereka melihat Azzura nampak ragu.
Azzam mendengar suara wanita dan ia pun mencoba membuka pintu serta bersusah payah menggerakkan kursi rodanya gunakan satu tangannya.
"Tunggu sebentar!" Azzam pun membuka pintunya. Dia mengerutkan keningnya kala melihat Azzura datang. Namun, Azzam ke.bali memalingkan wajahnya sebab Azzura mengenakan pakaian minim sampai memperlihatkan paha putihnya.
"Astaghfirullah."
Huaaa...
Anak Azzam masih menjerit menangis. Wajahnya sudah merah dengan tangis begitu menyayat hati dan sesegukan.
"Maaf mengganggu. Aku mendengar anaknya menangis terus, kalau boleh aku mau mencoba menggendongnya." Azzura langsung saja bicara pada intinya tanpa basa basi dulu. Hatinya tidak tega melihat bayi itu menangis seseguk.
"Coba saja, nak Azzam. Kasihan Azriel," seru ibu Onih yang ada di sebrang rumah Azzam.
Azzam melihat para ibu-ibu yang sedang kumpul. Tanpa izin dari Azzam, Azzura mengambil alih bayi itu. Azzam terkejut, "hei!"
"Kenapa menangis sayang? Ada yang sakit? Tante obati ya. Mana yang sakitnya? Mau bobo?" Azzura begitu lembut berkata sambil mencoba berinteraksi dengan bayi itu.
Balita itu nampak memperhatikan wajah Azzura dengan tangis masih menyertainya.
"Gak apa-apa, Tante tidak akan marah ataupun nyakitin kamu. Anak ganteng tidak boleh nangis ya, harus kuat, harus pintar, harus soleh. Sekarang kamu bobo siang ya." Azzura memeriksa keadaan Azriel. Ia takut jika balita itu merasa sakit di bagian badannya atau pop, tapi ternyata tidak. Tangis Azriel malah mereda dengan seiring Azzura menimang bayi itu dalam dekapannya.
Azzura menemplokkan tubuh mungil itu di dadanya sambil mengusap kepala sampai punggung. Azzura juga mengalunkan suara merdu sebagai pengantar bayi itu tidur.
Takjub, itulah yang ibu-ibu dan Azzam rasakan saat ini. Mereka tidak menyangka sosok balita yang tidak mau kepada siapapun begitu terbuai dan terlihat nyaman dalam gendongan Azzura.
"Baru kali ini ada orang yang mampu membuat Azriel terlihat nyaman," kata ibu-ibu.
"Iya, Neng Azzura sepertinya orang baik. Soalnya kalau anak kecil itu tahu mana orang yang benar-benar memiliki hati lembut dan mana yang tidak."
"Bukan begitu konsepnya, tapi memang ada balita yang tidak pernah mau kepada siapapun. Hanya orang tertentu yang mungkin bisa mengambil hati balita itu. Sepertinya neng Azzura salah satu wanita berhati mulia."
"Di balik pakaian yang Azzura pakai, tersimpan hati yang begitu luar biasa terhadap sekitar. Terkadang penampilan bukanlah faktor utama dalam sebuah kehidupan. Bisa di lihat dari Azzura yang baru saja tinggal satu Minggu mampu membuat sekitar menyukainya dan orang-orang terlihat senang serta nyaman berada di dekatnya."
"Bu Onih benar, sekalipun Azzura seorang non muslim dan sering berpakaian ****, tapi akhlak dan hatinya sungguh mulia."
Azzam pun menatap Azzura begitu lekat. "Kenapa dia yang bisa mengendalikan putraku? Ghina saja kadang tidak mampu membuat Azriel nyaman. Malah sering menangis saat Ghina mencoba menenangkan," batin Azzam di buat heran sekaligus takjub.
"Assalamualaikum," ucap Ghina terlihat lesu. Namun, ia dibuat terkejut ada Azzura di depan rumahnya sambil menggendong Azriel.
"Waalaikumsalam," balas Azzam menoleh.
Azzura menatap Ghina pun dengan Ghina yang juga menatap heran.
"Loh, kenapa Azzura ada di sini? Kenapa juga Azriel ada di pangkuannya kamu? Ini sangat merepotkan kamu. Mas, kenapa juga kamu malah membiarkan orang lain beralih mengasuh anakku?"
"Ghina, Azriel."
"Karena anakmu menangis terus sehingga neng Azzura cobain untuk menenangkan nya," seru ibu di sebrang rumah Azzam.
"Punya anak malah keluyuran, tidak tanggung jawab banget jadi ibu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments