Azzura dan Chiko sedang berkemas mengumpulkan barang-barang yang akan mereka bawa ke rumah baru. Banyak yang mereka masukkan ke dalam dus termasuk berbagai macam foto, hiasan dinding, dan berbagai macam barang-barang penting lainnya.
"Sayang, ini akan di bawa tidak?" tanya Azzura mengangkat sebuah pas bunga yang terbuat dari bahan anyaman rotan.
"Itu tidak perlu, kita bisa membelinya yang baru. Barang yang di bawa hanya barang-barang penting saja, sayang. Kamu juga kumpulkan barang-barang apa saja yang akan kita sumbangkan ke orang-orang yang membutuhkan. Karena di rumah baru sudah banyak barang-barangnya, jadi kita hanya membawa barang penting saja. Baju juga kamu pilih yang kamu suka dan sisanya kita sumbangkan."
Azzura tersenyum senang mendengar sebuah ide dari suaminya. Ia merasa beruntung memiliki suami yang peduli terhadap sesama manusia.
"Kamu sangat baik, sayang. Aku semakin cinta sama kamu. Semoga rumahtangga kita tetap langgeng sampai maut memisahkan." Azzura memeluk suaminya dan sangat bahagia serta beruntung memiliki suami idaman.
"Aamiin, tetap bersamaku, ya." Azzura mengangguk dan mendongak. Chiko mengecup lembut bibir istrinya dan mereka kembali bersiap-siap membereskan barang-barang yang akan dibawa pindahan serta yang akan di bagikan.
Waktu semakin larut malam, baik Azzura maupun Chiko bekerja sama mengumpulkan setiap barang yang akan di bawa dan di bagikan. Sudah banyak dus-dus yang berjejer rapi buat di angkut esok hari.
"Akhirnya selesai juga. Besok tinggal di angkut," tutur Chiko seraya menepuk-nepuk telapak tangannya. Azzura mendudukkan bokongnya di salah satu kursi. Dia nampak terlihat kelelahan dan juga matanya terpejam seakan merasakan lelah yang di rasa.
"Kita istirahat, yuk? Sudah malam. Maaf membuatmu lelah." Chiko kasihan kepada istrinya dan ia membopong Azzura membawa sang istri ke kamar mereka. Tentu dengan senang hari Azzura melingkarkan tangannya ke leher Chiko dan menelungkupkan wajahnya ke ceruk leher Chiko.
*****
Kediaman Azzam.
Tak kalah dari Azzura beserta pasangannya, Ghina juga tengah bersiap-siap membuat aneka jajanan kue yang akan di titipkan ke warung-warung. Meski hasilnya tidak cukup, Ghina berusaha untuk tetap menjualnya. Hanya dari jualan itulah Ghina mampu sedikit melunasi setiap utang yang ia miliki dan juga mampu membantu perekonomian mereka walau tidak akan cukup.
"Ghina, belum tidur?" ujar Azzam menghampiri istrinya yang sedang berkutat di dapur membuat kue lapis. "Ini sudah mau jam satu dini hari, Ghin," sambung Azzam yang terbangun dari tidurnya karena tidak ada di Ghina di sampingnya.
"Pekerjaanku masih banyak, Mas. Mau tidak mau aku harus mengerjakan semua ini agar besok pagi tidak keteteran dan tinggal menitipkan ke setiap warung terdekat," balas Ghina sambil tangannya fokus membungkus aneka jajanan kue.
"Tapi kamu juga harus menjaga tubuh kamu agar tidak terlalu kelelahan. Istirahat dulu baru nanti bangun lagi. Jangan lupa juga shalat malam agar kamu di berikan ketenangan dan apa yang kita kerjakan menjadi berkah." Azzam mencoba menasehati istrinya, ia tidak ingin sang istri menjadi sakit karena terlalu sering bergadang.
Ghina memberhentikan kegiatannya dan ia menoleh tidak suka dengan ceramah yang di berikan suaminya. "Kamu bisa diam tidak sih? Bukannya membantuku malah menceramahi ku. Mau aku shalat malam ataupun tidak itu terserah aku, dong. Lagian, kalau aku tidak begadang siapa yang akan bikin kue-kue ini? Kamu? Tentu saja kamu tidak becus membuatnya. Jangankan membuat, bantu cari uang saja tidak bisa." Sindir Ghina tanpa sadar menyakiti suaminya dalam ucapan.
"Bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak ingin kamu lupa kepada tuhanmu dan ..."
"Halah, sudahlah, Mas! Jangan bawel jadi suami! Mending sekarang bantu aku agar semuanya cepat selesai. Kalau mau ceramah di mesjid saja, bukan di sini, paham?" sergah Ghina bertambah kesal dengan ocehan suaminya.
Azzam menghelakan nafas berat, ia tidak menyangka perekonomian mampu merubah sikap istrinya. Ghina yang tadinya selalu bertutur akta lembut, sopan, tidak pernah membangkang, dan tidak pernah memarahi dirinya mendadak berubah menjadi kebalikannya. Namun, karena rasa cinta dan kasih sayang serta karena putranya, Azzam memaklumi itu dan ia akan berusaha membimbing istrinya lagi. Azzam meyakini kalau lambat lain Ghina pasti kembali ke sikap semula. Dan sikap itulah yang membuat Azzam memilih Ghina sebagai istrinya meski ia harus melawan restu orangtuanya.
Azzam pun tidak diam saja, ia membantu Ghina menyusun kue-kue kedalam box kotak plastik tempat kue. Dia juga sesekali mencoba mengingatkan istrinya untuk shalat malam.
"Jangan lupa kita shalat malam dulu, ya."
"Iya, iya. Bawel banget jadi suami," sergah Ghina menggerutu kesal.
Sekian lama berkutat di dapur, Azzam dan Ghina bisa menyelesaikan pekerjaan mereka dan kembali tidur sambil menunggu adzan subuh berkumandang.
Keesokan harinya.
Di kediaman Chiko, mereka sedang menyuruh seorang kuli untuk mengangkut barang-barang mereka.
"Pak, yang di sebelah kiri bisa diambil dan bisa disumbangkan ke mereka yang membutuhkan. Sedangkan yang di kanan, tolong angkut dan bawa ke ...." Azzura menjelaskan dulu apa saja yang harus mereka lakukan.
Terdapat dua mobil pickup untuk mengangkut barang mereka. Yang satu mengikuti Chiko, dan yang satunya pergi ke tempat yang Azzura perintahkan.
Mereka pun tiba di rumah barunya. Azzura turun dari mobil dan ia menatap rumah dua tingkat minimalis yang terlihat lebih mewah dari rumah kemarin.
"Sayang, ini?" Azzura tidak menyangka kalau ternyata rumahnya sebagus itu.
"Ini rumah baru kita, uang hasil dari kerja kerasku aku belikan ke rumah ini." Chiko merangkul pundak Azzura dan tersenyum ikut menatap rumah barunya.
*****
"Permisi, Bu. Mau titip kuenya ya." Ghina menitipkan satu box kue ke warung.
"Nak, kalau boleh jangan titip banyak-banyak, ya! Soalnya mereka jarang beli dan makanannya pun akan mubazir. 'Kan sayang kalau tidak laku mah." Ibu pemilik warung memberikan saran pada Ghina. Bukan tidak mau, tapi karena memang orang-orang udah jarang banget beli kue-kue yang Ghina titipkan.
"Oh gitu ya, Bu. Iya, gak apa-apa. Lain kali aku hanya akan menyimpan sebagian dari biasanya." Meski kecewa, tapi Ghina tidak bisa apa-apa.
Dia kembali berjalan membawa satu box kue lagi. Anaknya di titipkan ke suaminya dengan alasan berat dan merepotkan. Setibanya di dekat warung ke dua, Ghina melihat tetangga baru sedang menuruni beberapa barang.
"Bu, itu baru pindahan, ya?" tanya Ghina pada ibu pemilik warung.
"Iya, dia baru hari ini mengisi rumah itu."
"Oh." Ghina memperhatikan pergerakan orang-orang dan dia juga memperhatikan sepasang suami istri yang nampak bahagia.
"Seandainya aku yang ada di posisi wanita itu, pasti hidupku tidak akan sampai harus menjual kue begini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Rosnelli Sihombing S Rosnelli
bau pelakor
2023-03-02
0