Keesokan harinya.
Kediaman Chiko.
"Sayang, aku pergi kerja dulu. Kamu disini baik-baik ya. Jangan nakal, jangan keluyuran tidak jelas, jangan main sembarangan dengan orang yang tidak di kenal, dan jangan mencari sesuatu buat kesenanganmu sendiri." Chiko memberikan nasihat sekaligus memperingati Azzura untuk tidak melakukan tindakan yang tidak di inginkan. Dia yang sedang berdiri di depan mobil menatap Azzura begitu lekat seakan memberikan suatu peringatan.
"Iya, aku akan selalu ingat dengan semua nasehat kamu. Aku tidak mungkin macam-macam di belakang kamu. Aku juga minta sama kamu untuk tidak macam-macam di belakangku." Kali ini Azzura yabg memberikan peringatan pada Chiko.
"Tidak akan, sayang. Hanya kamu yang selalu aku cinta sampai tua nanti. Aku pergi dulu, ya. Kalau kamu mau main di warung silahkan, tapi jangan macam-macam!" lagi-lagi Chiko memberikan peringatan serius. Dan Azzura mengangguk mengerti.
Chiko pun masuk kedalam mobil dan beranjak pergi. Azzura hendak mengejar karena lupa jika ada hal yang ingin di bicarakan.
"Chiko! Yah, udah pergi. Dia beneran melupakan hari ulang tahunku." Helaan nafas kecewa membuat Azzura merasa sesak tiba-tiba. Kini, Chiko sungguh lupa hari itu.
*****
Kediaman Azzam
"Mas, aku pergi dulu. Doakan aku biar keterima kerja." Ghina mengecup punggung tangan suaminya lalu memberikan Azriel kepada Azzam.
"Tapi bisa tidak untuk tidak mengenakan pakaian ngetat seperti itu?" Azzam memperhatikan pakaian Ghina. Rok hitam pas di badan, serta kemeja putih yang juga pas di badan. "Aku tidak suka dan aku tidak ridho kamu di tatap oleh mata pria lain."
"Ada yang salah dengan penampilan ku? Ini mah masih hal wajar, Mas. Namanya juga kerja kantoran, pasti akan banyak yang memakai pakaian seperti ini. Aku pergi dulu, malas kalau harus bertengkar dengan kamu." Ghina lebih memilih untuk berangkat daripada harus berdebat.
Azzam menghela nafas panjang. Ia pun menggerakkan kursi rodanya sambil memangku Azriel. Azzam hendak ke jalan guna mencari angin sekalian mau berjemur menikmati matahari pagi.
*****
Di perjalanan, Ghina kebingungan karena motor bututnya mogok di tengah jalan. Ia terus menerus melirik jam yang semakin maju.
"Motor sialan, kenapa tidak bisa di ajak kompromi sih? Aku harus segera melamar kerja, dan tidak boleh terlambat. Kalau begini caranya tidak mungkin sampai tepat waktu." Ghina menggerutu kesal, ia celingukan mencari ojek lewat, tapi tidak ada satupun yang lewat.
Tiba-tiba ada mobil berhenti di dekatnya. Ghina mengerutkan keningnya merasa mengenali mobil itu.
Kaca mobilnya terbuka dan memperlihatkan wajah Chiko. "Kenapa dengan motornya?" tanya Chiko.
"Ini, tiba-tiba mogok. Aku tidak tahu apa penyebabnya."
"Kau 'kan mau melamar pekerjaan, bagaimana kalau ikut saja denganku. Biar motornya nanti di bawa ke bengkel."
"Kesempatan baik ini mh."
"Boleh, Pak. Itupun kalau bapak tidak keberatan." Ghina sudah sumringah dapat merasakan mobil bagus.
"Mari, silahkan." Chiko pun mempersilahkan.
Ghina begitu tergesa menaiki mobil Chiko dan segera duduk di depan. Chiko sempat terkejut, tapi ia kembali bersikap biasa saja. Mereka pun berangkat bersama dalam satu mobil.
"Enak ya jadi kamu." Ghina mulai memecahkan keheningan.
"Enak kenapa?"
"Ya enak karena kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Kamu juga memiliki segalanya. Tidak seperti suamiku yang hanya jadi tukang servis keliling. Tapi sekarang tidak lagi bisa bekerja semenjak kecelakaan. Aku sedih karena kami semakin kekurangan." Ghina curhat mengenai perkara rumahtangganya.
Chiko menoleh, ia menatap wajah Ghina yang memang cantik sesuai warga biasa. "Kenapa bisa kecelakaan?"
"Waktu itu mau berangkat kerja, pas di pengkolan ada truk melintas kencang dan tak sengaja menabrak suamiku. Kakinya retak dan buruh waktu untuk menyembuhkannya. Dulu kami sempat berada, tapi setelah kecelakaan semuanya mulai di jual untuk memenuhi kehidupan kita dan juga berobat. Sekarang tidak lagi berobat karena kekurangan biaya. Maka dari itu aku cari kerjaan buat membantu suamiku."
"Oh jadi guru ceritanya."
"Pak Chiko, tapi aku tidak bahagia tinggal bersama suamiku." Ghina kembali murung dan kali ini terlihat sangat menyedihkan dan hendak menangis.
"Kenapa tidak bahagia?" Chiko mulai penasaran kepada kehidupan wanita di sampingnya. Ia melihat kesedihan dan sebuah beban yang di tanggung oleh Ghina.
"Aku sering mendapatkan perlakuan tidak baik. Sering kena marah, sering di pukul, dan malah sering sekali banget jarang makan."
"Segitunya? Tega sekali suamimu itu. Tapi kamu tidak melaporkannya?"
"Aku tidak bisa, pak. Soalnya ada anak yang butuh kami berdua. Aku juga bertahan dalam pernikahan ini demi anak. Aku udah lelah hidup dalam penekanan, hiks hiks hiks." Ghina malah menangis seakan menunjukan sebuah beban begitu berat.
Chiko diam dan terenyuh mendengar cerita Ghina. "Kasihan sekali Ghina, dia harus mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Padahal kalau di lihat-lihat Ghina cantik." Batin Chiko berkata.
"Kamu jangan menangis, aku akan usahakan supaya kamu diterima kerja buat membantu perekonomian keluarga kalian. Mungkin juga bisa membantu buat bisa cerai darinya."
"Cerai? Aku tidak mungkin bisa cerai dari mas Azzam di saat anakku masih kecil."
"Kan bisa di berikan kepada ayahnya. Kamu mah bebas bisa cari lagi pria yang jauh lebih baik dan juga bertanggungjawab. Pasti banyak kok pria yang mau sama kamu."
"Kalau aku berpisah dari mas Azzam, apa kamu mau menjadikan ku istri kedua?"
Deg!
Chiko langsung menoleh penuh keterkejutan. "Eh, kenapa harus aku?"
"Jangan di anggap serius, lagian kamu tidak mungkin suka padaku yang hanya wanita jelek dan juga beda keyakinan." Ghina mengusap air matanya dan terkekeh geli.
"Ghina ini sebenarnya terlihat cantik, bodynya juga bagus, tapi sayang sudah punya suami," ucap Chiko dalam hati.
"Tapi kalau kamu mau jadi selingkuhan ku si boleh," balas Chiko bercanda. Nun, hal itu malah di anggap serius oleh Ghina.
"Aku sih mau, tapi kamunya mau tidak?"
"Hah! Apa kamu bilang?" "Sebenarnya kalau ada seseorang di kantor yang mau menemaniku kayaknya lebih seru. Seperti pak Dion yang memiliki kekasih di kantor dan sering di suruh-suruh kala sedang lelah," batin Chiko mulai memikirkan hal lain yang akan menjerumuskan dia dalam jurang pengkhianatan cinta.
*****
Di saat Ghina curhat pada Chiko mengenai ruamhtangga yang jauh dari kenyataannya, Azzura sedang belanja sayuran dan saling bercanda dengan para ibu-ibu sekitar.
"Neng, jangan dengarkan Bu Onih, dia itu suka bercanda."
"Salah, Bu. Justru aku suka bercanda, biar tidak monoton. Oh iya, hari ini ada kegiatan apa ya di pos ronda?" Azzura memperhatikan para bapak-bapak sedang berkumpul.
"Oh itu, mereka sedang diskusi mau membersihkan rumput-rumput di RT sini. Jadi akan diadakan kerja bakti. Kami juga akan membantu, bantu memasak."
"Aku ikutan, ya. Biar ada kegiatan." Azzura ingin ikutan.
"Boleh atuh, kaki senang kalau neng Azzura ikutan," timpal Bu Nining.
"Mammaa," celoteh balita mungil menggemaskan. Azzam mengerutkan keningnya. "Mama siapa sayang?"
Azzura yang tak jauh dari sana menoleh, dan Azriel kembali bersuara.
"Mamama!"
"Siapa yang di bilang mana sama Azriel?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Liswati Angelina
nah kan anak kecil aja tau mana yg baik dan tidak
2023-03-05
0