Bab 19

Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat batang hidung Pria itu, sedikit membuat hatiku lebih tenang. Aku sudah bisa bergerak lebih bebas di rumah itu.

Pagi ini aku membawa Zafran berjemur di teras belakang. Sudah beberapa hari ini dia tak melihat pijar mentari pagi. Terlihat bayi kesayanganku menggeliat dengan wajah memerah karena silau.

Aku tersenyum melihatnya. Dia begitu lucu dan menggemaskan, aku memberi kecupan seluruh wajahnya, pipinya sudah mulai gembul karena dia begitu kuat ASI.

"Selamat pagi, Papa pulang!" seruan seseorang yang sudah aku ketahui siapa dirinya.

Aku tak menoleh, tetap fokus dengan buah hatiku. Ada perasaan entah saat dia mengatakan Papa. Apakah ikatan batinnya begitu kuat sehingga dia mengakui sebagai Papa dari anakku.

Dia menarik kursi, lalu duduk tepat berada dihadapanku yang sedang memangku Zafran. Tatapannya tak lepas antara aku dan putraku.

"Kenapa diam saja? Kamu tidak ingin menyambut calon suami pulang?" ucapnya yang membuat aku mual mendengar pertanyaan itu.

Aku menatap sekilas, dia segera menyambut dengan senyum memuakkan bagiku.

"Kenapa kamu terlalu percaya diri? Sudah berulang kali kukatakan bahwa aku tidak ingin menikah denganmu! Aku hanya ingin pergi dari sini!" tegasku mengutarakan keinginan yang sudah beberapa hari ini kupendam.

Dia menatapku, kali ini tatapannya terlihat lebih santai dari yang biasanya. Tangannya bertumpu pada kedua lutut, tubuh agak sedikit merunduk sorot mata elang itu mengunciku.

"Jika aku memaksamu tetap menikah denganku, bagaimana?" tanyanya sembari tersenyum tipis.

"Aku tetap tidak mau."

"Kau kira aku akan mengalah? Hng! Itu mustahil di kamus hidupku!"

Aku menatapnya masih tidak percaya. Apa yang dia harapkan dariku. Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa aku adalah musuhnya, tapi sekarang dia ingin menikah denganku.

"Sebenarnya apa yang kamu lakukan padaku? Bukankah kamu sangat membenciku, jadi untuk apa kamu ingin menikahi aku?" tanyaku ingin tahu.

Dia berdiri dari duduk, kakinya bergerak melangkah berkisar dua meter membelakangi, kedua tangan masuk kedalam saku celana jeansnya, tatapan lurus kedepan hingga terbentur pada kolam renang yang menampakkan airnya begitu jernih.

Aku masih menatap tubuh tegap yang sedang membelakangiku. Dari gesture body language-nya Ada sesuatu yang ingin dia utarakan, tetapi sulit untuk di ucapkan.

"Kenapa kamu diam saja? Apakah hanya untuk balas dendam?" Aku sudah tak sabar mendengar jawaban darinya.

Perlahan wajahnya terangkat keatas, terdengar helaan nafas panjang. "Jika iya kamu mau apa?" jawaban itu keluar juga, tubuhnya masih membelakangiku.

Hatiku sakit sekali mendengar jawaban darinya. Aku segera berdiri, ku langkahkan kaki sedikit lebih dekat dengannya, kini posisiku tepat berada dibelakangnya.

"Hanya karena balas dendam kamu tega merenggut sisa kebahagiaanku? Apakah dengan menukar tubuhku belum membuatmu lega. Bahkan aku sudah tidak mempunyai masa depan lagi. Kenapa kamu tidak membiarkan saja aku hidup bahagia bersama anakku. Sebesar itukah salahku, demi uang kau tega menyimpan dendam yang begitu dalam."

Buliran air mata jatuh dikedua pipiku. Kenapa dia jahat sekali. Belum cukupkah penderitaanku selama ini? Dia benar-benar lelaki egois dan sangat jahat yang pernah aku temui dalam hidup ini.

Dia hanya diam tak bicara apapun, tubuhnya seperti batu, dan mungkin saja hatinya juga telah menjadi benda keras nan kaku itu.

Aku segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamar. Kutumpahkan tangisku dengan segala rasa sakit yang ada dalam qalbu. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus merelakan penderitaan ini terus bergulir. Menikah dengan orang yang tidak kita cintai dan sebaliknya, dia hanya ingin membalas dendam.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Bagaimana dengan anakku? Apakah dia bisa hidup normal layaknya anak-anak yang lain tak kekurangan kasih sayang dari kedua orangtuanya.

Sejak pembicaraan kami di pagi itu, aku hanya bisa pasrah dan tak ingin lagi bertanya apapun padanya. Dia juga terlihat acuh tidak terlalu mengganggu ketenangan aku dan Zafran. Bagiku itu lebih baik.

Hari-hari yang aku lalui bagaikan burung dalam sangkar. Aku hanya dapat melihat pemandangan dari balik jendela, tetapi aku tak dapat menikmati indahnya udara segar di kepulauan Riau itu.

Pria itu terkadang tidak pulang, bahkan ada satu minggu dia tidak menampakkan wajahnya dirumah ini. Mungkin saja dia sedang bersama istri dan keluarganya menghabiskan waktu.

Tak terasa kini Zafran sudah berumur tiga bulan, itu tandanya sudah cukup lama waktu yang pernah dia jadwalkan untuk menikahi aku. Aku sangat bersyukur, mungkin dia sudah tak berminat lagi untuk balas dendam padaku.

Sudah dua minggu dia tak hadir di villa ini, membuat aku bisa bernafas lega. Semoga saja dia melupakan semuanya dan segera melepaskan aku. Pagi ini aku aku bersantai membuai bayiku di taman belakang tempat biasa aku menghirup udara segar.

"Non Zahira, Non diminta Tuan Zico untuk bersiap," ujar Bibik menghampiri aku dengan langkah sedikit tergesa.

"Bersiap?" tanyaku tidak mengerti, tetapi perasaan mulai tak tenang.

"Iya, Non, di dalam sudah ada MUA untuk mempersiapkan Non Zahira untuk melaksanakan akad," jelas wanita paruh baya itu. Seketika duniaku berhenti berputar bibirku mendadak bisu.

Ternyata apa yang aku takutkan kini menjadi kenyataan. Pria itu sama sekali tak mangkir dari niatnya. Aku segera berjalan cepat menuju kamarku, dan ku kunci pintu kamar itu dari dalam. Aku benar-benar tidak ingin menikah dengannya. Aku tidak ingin jika hanya dijadikan bahan pelampiasan amarahnya.

"Non! Buka pintunya! Jangan membuat Tuan murka, Non!" Seru para orang suruhan Pria itu. Aku tidak peduli, bahkan aku menutup kedua telingaku sembari menangis tergugu.

Dua puluh menit suara riuh itu berhenti, aku menghapus air mata. Ku dekap tubuh bayiku dengan erat demi mencari sedikit ketenangan.

"Zahira! Buka pintunya!" panggil Pria itu dari luar.

Aku terjingkat mendengar suara yang kini rasanya menjadi semakin horor. Aku hanya diam tak mau menjawab.

"Zahira buka pintunya! Kalau tidak aku akan mendongkraknya!" ancam begitu menakutkan. Tetapi, aku masih tidak perduli.

"Aku tidak ingin menikah denganmu! Pergilah! jangan mengganggu hidupku lagi!" sentakku dengan keras.

Braaakk! Brakkk!

Pintu kamar itu terbuka sempurna saat di dobrak oleh dua orang lelaki berbadan tegap yang menjaga diluar waktu itu. Aku melihat Pria itu berdiri diambang pintu dengan sorot menyala.

"Sekarang bersiaplah, jangan membuatku murka!" bentaknya dengan amarah.

"Tidak! Aku katakan tidak!" aku tak kalah kesal.

Dia berjalan mendekat padaku. Dengan secepat kilat tangannya meraih Zafran dari tanganku. Tentu saja aku terkejut bukan kepalang. Dia begitu licik menggunakan anakku untuk mengalahkan jiwa memberontakku.

Bersambung....

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Carlina Carlina

Carlina Carlina

hayoo lah zahira gpp niksh nti disbaik sm kmu dan ank nya🤭🤭😂😂😌

2024-03-30

0

Sri

Sri

😀

2024-01-21

0

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Salah siapa pak Hakim nie pakai Gengsi ngungkapin perasaan nya,bilang aja sejak kejadian itu q jadi cinta dan gak berhenti memikirkan kamu atau apa kek pakai gengsi segala🙄

2024-01-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!