Bab 8

Sejak penolakanku waktu itu, kini Mas Adri sudah jarang datang ke rumah makan, jikapun datang dia tak pernah makan disana. Hanya bungkus dan kembali pergi.

Aku tahu dia sedang berusaha untuk menghindari, bagiku itu adalah hal yang terbaik diantara aku dan dia. Mungkin ini terasa sakit, tetapi hanya sementara waktu saja.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini kehamilanku sudah memasuki bulan ke enam. Mungkin karena aku selalu menggunakan pakaian syar'i, maka kehamilanku tidak begitu ketara.

Suatu ketika aku sedang sibuk melayani pengunjung yang cukup ramai, tiba-tiba perutku terasa sakit sekali. Mungkin karena waktu istirahatku yang kurang sehingga aku mengalami pendarahan.

"Zahira kamu kenapa?" tanya Mbak Marni cemas saat melihat aku berpegang erat di salah satu tonggak yang ada di warung itu.

Sakitnya sungguh mendera, sehingga pengelihatanku berkunang-kunang. Aku merintih menahan rasa sakit yang tak mampu lagi untuk ku diamkan.

Saat aku ingin terjatuh, kurasakan ada tangan seseorang menahan tubuhku hingga tak sampai menyentuh lantai.

"Zahira, kamu kenapa?" tanya Mas Adri, namun aku sudah tak sanggup bicara, dan akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi.

Perlahan kubuka mata dan mengamati sekeliling ruangan yang bernuansa putih dan berbau obat-obatan yang menyengat. Aku berusaha untuk menemui kesadaran naik kepermukaan.

Seketika aku menyadari bahwa posisiku sekarang sedang berada di RS. Tak kuasa menahan rasa keterkejutanku. Pasti mereka sudah mengetahui kondisiku saat ini.

Aku menoleh kesamping kanan. Kulihat Bu Winda sudah berdiri disana dengan raut wajah datar penuh kekecewaan. Inilah saatnya aku harus menerima segala konsekwensinya, sudah hukum alam seorang wanita hamil diluar nikah akan menjadi bahan omongan atau bulyan.

"Kamu sudah sadar?" tanya Bu Winda dengan nada dingin.

"Bu, maafkan aku," lirihku menatap wajah wanita baya yang selama ini cukup baik denganku.

"Siapa yang menghamili kamu Zahira? Ibu benar-benar tidak menyangka, sungguh menjijikkan kelakuanmu!" ucap Bu Winda berapi-api.

"Bu, maafkan aku..."

"Sudah cukup! mulai besok pergilah dari kontrakkan ku! Aku tidak mau rumahku menjadi sial karena dihuni oleh wanita munafik sepertimu!" tekan Bu Winda.

Aku hanya menangis tak bisa bicara apa-apa lagi. Karena jika orang lain sudah membenci kita, maka penjelasan apapun akan dikemukakan tidak akan merubah pendiriannya. Kuhapus air mataku sesegera mungkin.

Aku tidak ingin lagi menangis untuk hal ini. Bukankah aku sudah siap menerima segala resikonya. Yasudah, biarkan orang dengan pemikirannya, yang aku syukuri sekarang adalah bayiku masih bisa diselamatkan. Itu jauh lebih penting dari segala apapun tuduhan mereka.

Tanpa bicara, Bu Winda pergi meninggalkan aku sendiri diruangan itu. Aku hanya menghela nafas dalam, kuraba perut buncitku dengan lembut.

"Terimakasih kamu masih bertahan, Nak, Umi sangat takut kehilanganmu. Jangan sedih ya, biarkan saja orang bicara apapun tentang kita. Karena tujuan hidup Umi hanya kamu. Umi tidak akan menghiraukan segala pemikiran buruk mereka."

Aku mencoba membawa bayi dalam kandunganku bicara seakan kami saling menguatkan. Saat aku masih larut dalam lamunan, tiba-tiba pintu ruang rawat inap itu terbuka.

Aku terjingkat melihat siapa orang yang datang. Kenapa Pria itu masih ingin menemui aku? Apakah dia juga akan menghinaku. Ah, tidak mengapa, itu hak mereka untuk mengeluarkan segala kekecewaannya.

"Hai, kamu sudah sadar? Bagaimana dengan janinnya? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Mas Adri mengulas senyum lembut.

Aku begitu terperangah mendengar pertanyaan dan sikapnya yang tak memperlihatkan kekecewaan, sehingga bibirku terasa kelu untuk menjawabnya.

"Kenapa kamu diam? Apakah masih ada yang sakit?" tanyanya begitu perhatian.

"Ah, ti-tidak, Mas, aku sudah baik-baik saja," ucapku sedikit gugup.

"Syukurlah, semoga semua akan baik-baik saja. Oya, aku bawa makanan dan buah-buahan untuk kamu. Ayo makan, kamu pasti lapar 'kan." Dia membuka cup bubur ayam yang sengaja dia belikan untukku.

Aku masih diam terpaku, rasa tak percaya dengan segala sikap baik dan perhatian Mas Adri. Apa yang dia harapkan dariku? Seharusnya dia pergi menjauhi ku. Tapi kenapa dia malah memperhatikan diriku.

"Mas Adri, kenapa kamu masih baik denganku?" tiba-tiba pertanyaan itu muncul begitu saja dari bibirku.

"Kenapa? Apakah aku masih tidak boleh bersikap baik denganmu? Apakah aku juga harus membencimu seperti mereka? Zahira, aku percaya kamu adalah wanita yang baik. Dan aku juga yakin kamu pasti tidak menginginkan hal ini terjadi."

Air mata yang sedari tadi sengaja kutahan, akhirnya luruh juga saat mendengar kata-kata Pria itu yang begitu menyentuh qalbuku. Aku bersyukur masih ada orang baik yang mengerti dengan posisiku saat ini.

"Jangan menangis. Aku tahu kamu adalah wanita yang cukup kuat dan tegar. Teruslah berjuang untuk bayimu, jangan hiraukan hinaan dan cemoohan orang. Aku yakin kamu pasti bisa melewatinya."

Aku semakin terisak mendengar segala dukungan darinya. Mas Adri mengeluarkan sapu tangan dari kantong celana, lalu memberikan padaku. "Sudah, jangan menangis lagi. Hapus air matamu, kasihan bayimu juga akan bersedih," ucapnya kembali tersenyum.

Aku segera menghapus air mataku. Dan berusaha untuk tetap tenang, sesekali tatapanku bertemu dengan netra teduh itu.

"Mas, terimakasih banyak atas segala kebaikanmu. Aku tidak tahu harus bagaimana mengutarakan rasa terimakasihku padamu," ucapku sambil tertunduk.

"Kamu tidak perlu pusing memikirkan bagaimana cara mengutarakan rasa terimakasihmu. Kamu cukup makan dan mendengarkan segala arahan dariku."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Aku segera menerima bubur yang diberikannya. Dia masih memperhatikan aku, sedikit sungkan untuk menyingkap kain penutup wajahku untuk memakan bubur itu.

Dia yang tahu aku malu, maka Pria itu beranjak keluar dari ruangan. Aku sedikit lega, segera kuhabiskan bubur ayam yang rasanya sangat enak. Kebetulan aku juga sangat lapar.

Selesai makan, Mas Adri kembali masuk kedalam ruangan itu. Dia pamit padaku karena ingin bersiap akan masuk kerja malam.

"Zahira, aku pamit untuk pulang ya, hari ini aku ada jadwal masuk malam. Ada beberapa Rig pengeboran minyak yang harus aku awasi di lapangan. Kamu tidak apa-apa aku tinggal 'kan? besok pagi sepulang kerja aku akan mampir kesini," ucapnya berpamitan padaku.

"Iya, tidak apa-apa, Mas. Terimakasih sekali lagi, kamu sudah begitu baik."

"Jangan pikirkan itu. Apapun yang aku lakukan semua ikhlas tanpa pamrih. Aku pamit, semoga cepat pulih."

Aku hanya membalas dengan anggukan dan ku ukir senyum padanya. Setelah Mas Adri pergi, kini tinggallah aku sendiri diruangan itu. Aku bingung apa langkah selanjutnya yang harus aku ambil. Kemanakah aku harus pergi.

Lebih baik aku istirahat sekarang, besok saja aku pikirkan hal itu. Semoga Allah selalu melindungi aku dan bayiku. Aku kembali merebahkan diri dan mencari posisi yang nyaman untuk menenangkan diri dari masalah yang ada.

Bersambung...

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Semoga jodoh nya Zahira mas Andri laki2 yang baik karena mencintai kamu karena Allah Zahira bukan karena nafsu😇

2024-01-07

1

Faras

Faras

sangat menarik good job

2024-01-02

0

Suryani

Suryani

jujur saja pd mas andri jika mas Andri mencintai zahira karena Allah maka mas Andri akan menerima zahira apa adanya

2023-12-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!