Bab 16

Mataku membulat sempurna, bibirku terbuka, bagaikan di sambar petir disiang hari saat mendengar ucapan Pria itu. Ternyata benar apa yang aku duga bahwa dia adalah Hakim ketua itu.

Ya Allah, kenapa aku harus dipertemukan kembali Dengan orang yang sengaja aku hindari.

Perlahan dia membuka tali masker dan menampakkan wajah aslinya, aku masih terpaku sembari menelan air liur dengan kasar. Tubuhku bergetar, kembali kenangan malam itu menari di otakku. Andai saja aku mempunyai kekuatan, maka hari ini juga aku akan menghilang dari hadapannya.

"Kenapa diam? Sudah ingat siapa aku, Azzurri? Eh salah. Zahira!" ucapnya tersenyum sinis, sepertinya dia sudah tahu tentang identitas palsu itu.

Aku mendorong tubuhnya yang semakin merapat padaku. "Menjauhlah dariku!" sentakku membuat dia terhuyung kebelakang.

"Kenapa kau tidak ingin aku mendekat, apakah kamu tidak merindukan malam panas kita waktu itu, hmm? Atau kita nonton dulu video percintaan kita agar hasratmu terpancing terlebih dahulu. Oh, atau kamu sudah melupakan rasa dariku karena sudah tertimbun oleh rasa dari ayah sibayi itu, iya?"

Ucapannya semakin lama semakin membuatku muak, telingaku rasanya begitu panas, darahku mendidih, hatiku terbakar tak menyala. Kini giliran aku yang maju menghampiri Pria sombong itu.

Plaak! Plaak!

Aku menamparnya kembali dengan perasaan yang bercampur aduk, sakit, perih, terhina. Semua menjadi satu segala ucapannya.

"Breng sek! beraninya kau melakukan ini lagi padaku!"

Kreekk! Kreek!

Dia menarik paksa kain penutup wajahku sehingga memperlihatkan wajahku yang sesungguhnya dihadapannya. Tatapannya begitu menyala, dia kembali mendekati aku dan memegang daguku sedikit mendongakkan keatas sehingga tatapan kami bertemu.

"Beraninya kau bermain denganku! aku bisa saja melenyapkanmu saat ini juga!" tekannya melepaskan rangkuman tangannya dengan kasar.

"Untuk apa kau menculikku? Urusan kita sudah selesai!" sentakku sembari mendorong tubuhnya agar sedikit menjauh dariku.

"Hahaha... Selesai? Hei, kau kira aku bodoh? Aku tidak akan percaya dengan semua ucapan wanita sepertimu. Sekarang katakan dimana kau simpan salinan video itu?!" bentaknya membuat aku terjingkat.

"Aku sudah menghapusnya. Aku tidak sepertimu menjadi manusia tak amanah. Kamu begitu mencintai dunia sehingga mengorbankan keadilan untuk korban yang sudah direnggut nyawanya dengan secara sadis. Manusia sepertimu tidak pantas menjadi perantara Tuhan!" balasku dengan berapi-api.

Dia menyorotku begitu tajam, wajahnya memerah, rahangnya mengeras, kedua telapak tangannya mengepal erat sehingga buku-bukunya memutih.

"Beraninya kau bicara seperti itu padaku!"

BUG! BUG! BUG!

Dia menghantam dinding yang ada disampingku dengan kepalan tangannya begitu keras. Aku hanya bisa menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, jantungku berdegup, tubuhku bergetar. Takut jika hantaman itu mengenai wajahku.

Kudengar deru nafasnya kejar-kejaran tak beraturan, aku masih belum berani menatap wajah amarahnya. Aku belum mau mati sia-sia ditangannya, karena aku mempunyai seorang malaikat kecil yang harus aku jaga. Aku tidak ingin Anakku diambil oleh manusia sepertinya.

"Ingatlah! Kau tidak akan pernah bisa pergi dariku!" sentaknya segera keluar dari kamar, dan kudengar suara putaran kunci yang sudah memenjarakan aku dan bayiku dalam kamar ini.

Aku sedikit bernafas lega memastikan Pria itu telah enyah dari kamar itu. Kuhela nafas dalam untuk menetralisir segala perasaan yang membuncah dalam hati. Aku segera menghampiri bayi mungilku yang sedari tadi sudah bangun, tetapi anak ini begitu anteng, hanya bermain sembari mengecap-ngecap mulutnya.

Kupeluk tubuh mungilnya dengan posesif, entah kenapa rasa takut dalam hatiku begitu besar akan kehilangannya. Aku takut Pria itu akan mengambilnya dariku. Tidak, aku tidak boleh mengatakan yang sebenarnya prihal siapa ayah dari anakku.

Biarlah untuk saat ini aku menjadi wanita egois, lagipula belum tentu dia menginginkan anak ini. Aku takut dia hanya akan memanfaatkan bayiku untuk membalas sakit hatinya padaku.

Aku merebahkan diri bersama bayiku dan segera kuberikan ASI. Kupeluk dalam buaian sayang sehingga tak kusadari aku ikut terlelap bersamanya. Aku tak ingin larut dalam kesedihan, tak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti kedepannya, yang jelas aku harus melindungi nyawa anakku.

***

[POV Zico Hamdi]

Dengan perasaan kalut aku segera keluar dari kamar. Aku tak ingin menyakiti fisik wanita itu. Entahlah, sebenarnya aku tak tega melihat dia menitikkan air mata. Tetapi bibirku tak bisa mengerem barang sedikit saja untuk tak melontarkan kalimat-kalimat menyakitkannya.

Aku kesal, aku marah, karena wanita itu sangat keras kepala. Berawal aku mengira dia itu adalah sosok wanita yang lembut tidak akan penuh perlawanan. Hng! ternyata aku salah. Dia benar-benar wanita pemberani.

Bayangkan saja, dia berani memberiku tamparan tiga kali. Aku sedikit tertarik dengan keberanian wanita itu. Ini kali pertama ada seorang wanita menyentuh wajahku dengan belaian keras yang kurasakan cukup membuat panas hingga ke telingaku.

Tanganku rasanya ingin memberinya belaian lebih keras dari itu, tetapi saat aku menatap mata polos itu seakan rasanya hatiku yang biasanya membatu sedikit mencair.

Tiba-tiba rasa tak tega menyeruak dalam qalbuku. Aku hanya bisa melampiaskan amarahku pada tembok yang tak tahu apa-apa terkena imbasnya.

Aku lari keruang kerja untuk meredam emosi jiwa yang sedang naik ke ubun-ubun. Kucoba mengatur nafas agar aku bisa berpikir lebih jernih untuk langkah selanjutnya.

Lama aku masih larut dalam pikiranku sendiri. Aku masih belum percaya jika wanita itu sudah menghapus salinan video itu. Aku berdiri dengan pikiran masih kacau ku gusal rambutku sehingga sedikit acak.

Sayup-sayup aku mendengar tangisan bayi. Entah kenapa jiwaku tergugah saat mendengar seruan bayi tak berdosa itu.

"Kenapa dia masih menangis? Apa yang dilakukan wanita itu sehingga tak bisa mendiamkan bayinya. Dasar bodoh!"

Aku kembali berjalan keluar dari ruang kerja dan menuju kamar yang tadi sengaja ku kunci dari luar. Perlahan ku putar kenop pintu untuk melihat kondisi didalam kamar itu apakah masih kondusif.

Aku melihat wanita itu sedang membersihkan bayinya. Aku baru ingat jika semua peralatan bayi itu masih tertinggal di mobil. Aku segera keluar mengambil semua peralatan bayi itu.

Hng! Aku terlihat menjadi seorang lelaki bodoh, bukan? Kenapa aku menjadi perhatian pada wanita yang jelas-jelas sudah menjadi musuhku. Seharusnya aku membiarkan saja apa yang terjadi padanya dan juga bayinya.

Seandainya ada orang yang melihat kelakuanku sekarang, mereka pasti akan mentertawakan aku. Ah, persetan dengan semua itu. Ini bukan masalah harga diri, tetapi lebih kepada prikemanusiaan. Aku boleh saja membenci ibunya, tetapi tidak dengan bayinya yang tak berdosa itu.

Aku menekan segala egoku, aku membawa semua peralatan bayi itu memberikan pada wanita keras kepala itu.

"Ini peralatan bayimu." Aku meletakkan diatas ranjang itu. Dia hanya diam tak menggubris perkataanku. Rasanya aku gemas sekali melihatnya.

Bersambung....

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Carlina Carlina

Carlina Carlina

semoga cpt tau k'lo itu bayi mu pak hakim🤭🤭😌😌😌😂

2024-03-30

0

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Ya jelas tergugah to pak Hakim,gak tau ae itu darah dagingmu dewe🙄🙄

2024-01-07

1

Qorie Izraini

Qorie Izraini

Hakimayre bin Peak..
itu anak mu, benih yg kau tanm pada malam itu..

2024-01-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!