Bab 10

"Mas, berhenti sebentar, aku ingin urus administrasi biaya pengobatan aku dulu," ucapku pada Mas Adri saat kami melintasi meja kasir RS.

"Tidak perlu, Za, sudah aku bereskan," jawabnya.

"Maksud kamu?" tanyaku masih tidak mengerti.

"Iya, aku sudah lunasi biaya pengobatan kamu. Udah, tidak usah pikirkan. Ayo kita pulang sekarang," ujarnya yang membuat aku semakin merasa sungkan.

Diperjalanan pulang, aku hanya diam tak tahu harus berkata apa. Pria yang ada disampingku juga tampak fokus mengemudi.

"Zahira, kita pulang ke kontrakan kamu untuk membereskan semua barang-barang kamu yang disana. Setelah itu aku akan bawa kamu pergi dari sana," ujar Mas Adri.

"Mas mau bawa aku kemana?" tanyaku tidak paham.

"Aku sudah sediakan tempat untuk kamu."

"Maaf, aku sudah banyak merepotkan Mas Adri."

"Jangan bicara seperti itu. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Yang penting kamu bisa bad rest dengan tenang," ujarnya dengan tenang.

Aku menatap lelaki yang ada disamping, dia begitu baik. Aku tidak tahu harus bicara apa. Hanya bisa berdo'a semoga Allah membalas semua kebaikannya.

"Mas, Terimakasih banyak atas segala pertolongan yang kamu berikan. Semoga Allah membalasnya," lirihku. Dia hanya membalas dengan senyuman.

Setibanya di kontrakan, aku segera masuk untuk mengemasi barang-barangku. Mas Adri tak ingin membiarkan aku untuk melakukannya sendiri.

"Za, kamu duduk saja. Biar aku yang mengemasi," ucapnya yang ingin mengambil alih pekerjaanku.

"Tidak apa-apa, Mas, aku bisa sendiri," tolak ku.

"Zahira, kamu dengar apa yang dikatakan Dokter, kamu tidak boleh banyak bergerak. Ayo duduklah. Biar aku yang melakukannya, kamu tidak ingin terjadi sesuatu pada bayi kamu 'kan?" tanyanya yang membuat aku tak bisa berkutik hanya mengangguk dan terpaksa membiarkannya, walau sebenarnya aku sangat sungkan.

Aku hanya duduk di kursi usang yang ada di kontrakan itu. Mas Adri sibuk sendiri membereskan semua barang-barangku.

"Udah, kita pergi sekarang?" tanyanya yang sudah selesai memasukkan semua barang bawaanku kedalam bagasi mobil.

Saat aku dan Mas Adri keluar dari rumah kontrakan itu, aku berpapasan dengan Bu Winda. Wanita baya itu sudah berdiri di depan pintu masuk.

"Eh, Bun," sapa Mas Adri.

"Jadi kamu yang menjadi pahlawan dia? Atau jangan-jangan itu anak kamu?" tanya Bu Winda yang menjadi sangat julid, padahal selama ini aku mengenal beliau cukup baik. Mungkin kehamilanku ini benar-benar membuatnya memandang hina terhadapku.

"Ah, Bunda, Bunda. Seharusnya Bunda sesama wanita harus lebih peka dan perhatian lagi. Coba seandainya anak Bunda yang ada di posisi Zahira, apa yang Bunda lakukan? Apakah Bunda akan membuangnya?" tanya Mas Adri yang memang selalu menjadi pahlawanku.

"Tapi kelakuannya dengan pakaiannya tidak mencerminkan kepribadian yang baik. Semua bertolak belakang. Dia itu seorang wanita munafik!" balas Bu Winda. Hatiku terasa sakit, saat ada orang menghina pakainku.

"Aiissh! Udahlah, Bun. Aku tidak punya waktu untuk melayani perkataan Bunda. Satu yang harus Bunda ingat. Jangan sangkut pautkan hijab atau pakaian seseorang dengan perlakuannya. Karena menggunakan pakaian tertutup adalah wajib hukumnya di agama kita. Bila akhlaknya tidak baik, itu urusannya dengan Tuhan. Kita sebagai sesama manusia tidak boleh mengadili bila kita tidak tahu masalah yang sebenarnya. Dan aku percaya apa yang terjadi dengan Zahira, pasti ada alasan yang mungkin sulit untuk dijelaskan,"

"Bu, ini kunci rumah dan sisa uang kontrakan aku kemaren. Terimakasih sudah mau memberikan aku tumpangan tempat tinggal selama ini. Sekali lagi aku minta maaf sudah membuat Ibu kecewa. Tapi percayalah, Bu, aku bukan wanita yang seperti ibu pikirkan. Seandainya Ibu memberiku waktu untuk kita bicara, aku akan menjelaskan semuanya atas apa yang sebenarnya terjadi padaku, Bu."

Aku memberikan kunci rumah itu dan kuambil tangan wanita baik yang banyak menolongku selama ini, lalu ku cium tangannya. Seketika air mataku jatuh berderai. Entah kenapa aku begitu merindukan ibu dan ayah.

Kurasakan tanganku ditarik oleh wanita baya itu, dia segera membawaku masuk dalam dekapannya. Bu Winda juga terisak menangis.

"Zahira, maafkan Ibu. Maaf bila Ibu sudah berprasangka buruk padamu. Tinggallah kembali disini, Nak," ucapnya sembari mengelus mahkotaku di balik hijabku.

"Tidak, Bu, aku tidak ingin membuat ibu juga mendapat masalah."

"Tapi, Nak..."

"Sudah, Bun, biarkan Zahira ikut bersamaku. Aku sudah mencarikan tempat untuknya. Nanti bila Bunda ingin bertemu dengannya tinggal bilang denganku," potong Mas Adri.

"Baiklah, nanti Ibu akan berkunjung ketempatmu yang baru. Kita akan bercerita disana ya," ujar Bu Winda melepaskan aku pergi.

"Baik, Bu, kalau begitu aku pergi dulu. Assalamualaikum.."

"Wa'alaikumsalam... Hati-hati."

Aku merasa lega akhirnya Bu Winda percaya denganku. Aku juga yakin bahwa sebenarnya Bu Winda adalah orang yang baik. Aku sangat memaklumi kekecewaannya.

Mobil yang dikendarai Mas Adri memasuki pekarangan rumah minimalis yang cukup mewah. Aku tidak tahu, semula kupikir Mas Adri akan membawaku ke rumah kontrakan juga.

"Ayo turun."

Mas Adri membukakan pintu untukku. Aku masih bingung dan enggan untuk masuk. Aku takut bila harus bertemu dengan orang lain atau keluarga Mas Adri yang pasti akan sama, yaitu beranggapan buruk.

"Zahira, ayo turun. Kok bengong?"

"Maaf, Mas, ini rumah siapa?" tanyaku ingin tahu.

"Ini rumah aku. Kamu tidak perlu sungkan, ayo kita masuk sekarang, kamu harus istirahat," jelasnya yang membuat aku semakin cemas.

"Maaf, bukan aku menolak, Mas. Tetapi aku tidak ingin bila nanti keluarga kamu salah paham, lebih baik aku mencari kontrakan saja, Mas."

"Zahira, ini rumahku. Bukan rumah orangtuaku, jadi tidak ada orang didalam sana. Kamu tidak perlu cemas karena aku rasa disinilah tempat ternyaman untuk kamu istirahat," jelas Mas Adri.

"Tapi, Mas..."

"Iya, aku tahu, kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan sering datang kesini. Aku akan datang bila kamu butuh bantuan aku."

Ternyata Pria itu sudah tahu apa yang aku pikirkan. Tak ada yang bisa aku lakukan, biarlah untuk sementara waktu aku harus berhutang Budi dengannya. Aku memang butuh tempat yang nyaman jauh dari orang-orang yang memandangku rendah agar mentalku baik hingga nanti aku melahirkan.

"Mas Adri, sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak. Aku sungguh tidak tahu harus bagaimana cara membalas segala kebaikan kamu."

"Kamu tidak perlu membalasnya. Cukup tersenyum bahagia bersama bayimu, itu sudah cukup, Za. Ayo kita masuk sekarang."

"Selamat siang, Pak," ucap wanita paruh baya yang ku perkirakan adalah orang yang bekerja membersihkan rumah itu.

"Ya, siang. Oya, Buk Era, ini Zahira saudara saya, dia yang akan tinggal disini. Tolong dibantu segala keperluannya," ucap Mas Adri pada wanita itu.

"Baik, Pak."

Bersambung...

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

mungkinkah bu Winda ibunya pak Hakim
ato mas Andri yg adik nya pak Hakim

2024-04-23

0

Carlina Carlina

Carlina Carlina

sedihhh😭😭

2024-03-30

0

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Saat baca Zahira dipeluk sma ibu kok ikut nyesek netes air mata ya,yang kuat Zahira,apakah mas Andri adik nya pak Hakim ya,semoga saja gak🤔🤔

2024-01-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!