Kutukar Diriku Demi Sebuah Keadilan

Kutukar Diriku Demi Sebuah Keadilan

Awal mula

Diruang sepi aku menangis histeris saat mendengar tuntutan hukum yang diberikan oleh jaksa penuntut umum untuk segerombolan pembunuhan terhadap kedua orangtuaku. Mereka hanya di tuntut jauh lebih ringan dari seharusnya, yaitu hukuman mati atau seumur hidup.

Kudapatkan kabar dari kuasa hukumku bahwa mereka telah dibeli oleh kekuasaan yang di miliki oleh Tuan Mahendra. Tangisku semakin pecah. Aku hanya seorang gadis yatim piatu yang berusaha mencari keadilan untuk kedua orangtuaku. Namun tak aku dapatkan. Apalah dayaku yang tak mempunyai kekuasaan dan kekuatan untuk melawan segerombolan mafia kejam yang ber uang itu.

Lama aku menangis dalam keseorangan, jujur aku sungguh tidak rela bila mereka hanya diberikan hukuman ringan, dan mungkin setelah itu mereka akan segera bebas.

Entah kenapa malam ini aku tak bisa tidur. Sudah berulang kali aku mengubah posisi tidurku untuk mencari kenyamanan agar segera berada di alam mimpi. Sepertinya tuntutan jaksa tadi siang yang membuatku mengalami insomnia.

Aku membuka laci dan mencari hal yang aku harapkan ada sesuatu yang bisa membantu diriku. Aku menemui dompet wanita kembaranku yang sudah satu tahun meninggal dunia akibat penyakit jantung yang dia derita.

Sesaat otakku berpikir dan keluar ide menurutku cukup gila dan tidak normal. Namun, hanya hal itu yang bisa membantuku untuk mendapatkan keadilan untuk kedua orangtuaku yang mati dibunuh secara kejam.

Ya, Ayah dan ibuku adalah tokoh agama yang menyebarkan kebaikan, beliau sangat peduli dengan sesama. Ayah yang mempunyai perkebunan kelapa sawit beberapa hektar, beliau memberi gaji pada karyawannya sesuai dengan pekerjaan mereka.

Ayah tahu pekerjaan kasar itu tidaklah mudah, jadi ayah mematut gaji seimbang dengan pekerjaan mereka. Menurut Ayah dan Ibu keuntungan besar tidaklah mereka harapkan yang penting beliau bisa membantu sesama, maka Allah akan memudahkan segala urusan kita.

Disanalah konflik mulai terjadi, Mahendra seorang juragan yang terkenal dengan ketamakannya, Pria itu sungguh mencintai dunia, seakan tak bisa membedakan halal dan haramnya. Dia datang sangat berang kepada ayahku.

"Hei, ustadz Ali! Kau memang bermuka topeng! Beraninya kau menarik pekerja di kebunku. Apakah kau ingin mencari gara-gara denganku!" bentak Pria berkumis tebal itu pada ayah.

"Astaghfirullah, kamu bicara apa Hendra? Saya tidak menarik mereka. Tetapi mereka sendiri yang datang meminta pekerjaan. Jangan emosi seperti ini, ayo, mari kita duduk dulu." Ayah tetap saja bersikap baik, tak pernah membalas dengan amarah.

"Hah! Tidak perlu! Aku datang kesini ingin menegaskan kepada kau. Aku minta kau suruh kembali mereka bekerja di kebunku, kalau tidak lihat saja apa yang bisa aku lakukan padamu dan juga keluargamu!" ancam Pria itu dengan amarah yang menyala. Aku dan Ibu mendengar sangat takut.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Mungkin dia sedang ada masalah," ucap Ayah pada kami.

"Tapi, Yah, ancamannya tidak main-main. Ibu takut dia akan berbuat sesuatu yang buruk. Lebih baik ikuti saja keinginannya. Berhentikan saja mereka," ujar Ibu ingin Ayah memecat mantan pekerja Mahendra yang kini bekerja di kebun kami.

"Jangan, Bu, kasihan mereka. Anak-anaknya masih kecil-kecil. Sudahlah, kita serahkan semuanya kepada Allah."

Aku dan ibu tak bisa bicara apa-apa lagi. Seperti yang dikatakan Ayah. Kami hanya berdo'a setiap sujud agar selalu dalam lindungan Allah.

Satu minggu berlalu. Aku sudah kembali ke kota tempatku menuntut ilmu. Hari ini adalah sidang skripsi, aku harus fokus dengan segala ujian dan pertanyaan yang akan diberikan oleh Dosen penguji, dan juga dosen pembimbingku.

Saat aku sudah tiba di kampus hendak mengikuti sidang. Tiba-tiba vibrasi ponselku bergetar. Aku segera menerima panggilan itu.

Seketika duniaku runtuh dan air mataku jatuh berderai. Aku terduduk lemah di pelataran yang ada di depan kampusku.

"Zahira, apa yang terjadi?" tanya Dina teman sekampusku.

Aku masih menangis sesenggukan, rasanya lidahku begitu kelu untuk bicara. Aku berharap kabar yang kudapat tidaklah benar. Aku berharap Ayah dan Ibu masih hidup dan baik-baik saja.

"Din, A-ayah dan ibuku meninggal dunia, karena dibunuh. Hiks.. Hiks... Hu hu ..." Tangisku pecah dalam pelukan sahabatku itu.

"Innalilahi wa innailaihi Raji'un. Zahira kamu harus sabar dan kuat ya."

Kutinggalkan momen penting itu. Aku segera pulang ke kediaman orangtuaku. Setibanya, aku melihat rumah sudah di kerumuni oleh warga setempat, dan aku juga melihat ada beberapa wartawan dari media cetak untuk meliput kejadian perkara.

langkahku gemetar saat ingin menginjakkan kaki masuk kedalamnya. Polisi sedang melakukan olah TKP, dan jasad kedua orangtuaku segera dibawa ke RS untuk dilakukan otopsi.

Aku meraung bagaikan orang gila. Pakaian syar'i yang kugunakan sudah kotor terkena noda lumpur yang tergenang di halaman rumahku, karena hujan turun secara tiba-tiba, seakan dunia tahu bahwa aku sedang berduka lara atas kepergian kedua orangtuaku.

"Tidaaakkk! Siapa yang berani membunuh ayah dan ibuku?! Kenapa mereka tega sekali. Apa salah orangtuaku?! Hiks... Hiks."

"Sudah, Nak. Sabar, istighfar. Nduk," ucap Ibu-ibu tetangga kami. Ya, kami hanya perantauan, Ayah dan Ibu tidak mempunyai sanak famili, dikarenakan semua keluarga membuang ibu lantaran Ibuku menjadi seorang mualaf saat menikah dengan Ayahku yang terkenal religius.

Aku masih larut dalam tangisan pilu. Hatiku benar-benar hancur berantakan, pegangan dan sandaranku telah hilang, seakan aku seperti kehilangan arah tujuan hidupku karena sudah tak ada lagi orang yang amad aku cintai didunia ini.

"Maaf, anda anak dari kedua korban?" tanya seorang polisi yang sedang menangani kasus pembunuhan ini.

"Iya, Pak. Saya putri mereka," jawabku sembari menghapus air mata dan berusaha untuk tegar.

"Baik, kalau begitu mari ikut kami ke kantor polisi untuk kami mintai keterangan."

"Baik, Pak." Aku segera ikut ke kantor polisi untuk memberi keterangan.

Saat polisi sedang menanyakan segala hal yang aku ketahui, dan apakah ayah dan ibu mempunyai musuh atau pernah ada masalah dengan seseorang. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada Mahendra. Ya, hanya dia yang datang waktu itu mengancam Ayah dan Ibuku.

Aku menceritakan semuanya pada penyidik itu, dengan mendapatkan informasi dariku, maka memudahkan polisi untuk mendalami kasus pembunuhan ini. Tak menunggu lama, hari itu juga para pembunuh itu diringkus dan di jebloskan dalam penjara.

Aku segera mencari kuasa hukum untuk mendampingiku dalam mencari keadilan untuk almarhum kedua orangtuaku. Aku bergerak dengan cepat, tak harus berpikir panjang lagi. Aku menjual kebun kelapa sawit milik orangtuaku, karena Simpanan yang kami miliki tidak cukup untuk menyewa pengacara.

Tiga hari setelah kejadian itu, dan kini aku sudah mempunyai kuasa hukum. Aku kembali mendatangi tahanan Bareskrim untuk menemui Manusia lak nat yang telah berani menghabisi nyawa kedua orangtua yang teramat aku cintai.

Bersambung....

NB. Hai, selamat datang di karya baru author. Semoga suka dengan ceritanya 😍 jangan lupa tinggalkan jejak dukungan agar Author semangat untuk update 🙏🥰🤗

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

keren

2024-04-30

0

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

like
favorit
👍❤

2024-04-22

0

Ira

Ira

keren

2024-04-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!