Tuntutan

Setibanya ditahanan, aku menatap wajah para pembunuh kedua orangtuaku di balik jeruji besi itu. Tubuhku bergetar saat mengetahui bahwa otak pembunuhan itu adalah Mahendra juragan tamak itu.

Kutatap wajah mereka satu persatu, tanganku mengepal erat, ingin rasanya aku memukul wajah manusia berhati ib lis itu.

"Apa yang ingin kau katakan, hah? Katakan saja, kau ingin memakiku? Kau ingin menyumpahiku. Hahaha... Lakukan saja! Kedua orangtua itu tidak akan hidup lagi!" seru Pria yang menjadi otak pembunuhan itu.

Hatiku benar-benar sakit mendengarnya. Bibirku bergetar, air mataku jatuh tanpa kuminta. "Bren gsek kau Mahendra!"

"Awhh! Lepaskan wanita gila!" Pekik Pria itu saat tanganku menarik rambutnya sekuat tenaga dari celah jeruji besi itu.

"Mbak Zahira, lepaskan Mbak!" ucap kuasa hukumku meraih tanganku.

"Ibu Zahira, lepas! Apa yang anda lakukan!" ujar penjaga lapas.

Aku segera melepaskan. Rasanya hatiku belum puas hanya menarik rambutnya dengan sekuat tenagaku.

"Dengar Mahendra! Kau memang punya segalanya. Aku bersumpah pada diriku sendiri demi kedua almarhum orangtuaku, aku akan pastikan kau juga akan mati. Camkan itu!" pekikku sebelum meninggalkan tahanan itu.

Satu minggu berlalu, kini tiba saatnya persidangan dibuka, untuk menadili kasus pembunuhan orangtuaku. Dua hari sidang digelar, dan hari ini adalah aku menjadi saksi di persidangan itu.

Hakim dan jaksa mencecarku dengan segala pertanyaan yang aku ketahui tentang kasus ini. Dari mulai perselisihan antara Mahendra dan kedua orangtuaku hingga pembunuhan itu terjadi.

Aku menjawab dengan apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar sendiri. Berawal persidangan itu berjalan sesuai dengan apa yang kami inginkan. Jaksa dan hakim juga berusaha menimbang secara adil dalam menguak kasus itu.

Kini tibalah saatnya jaksa penuntut umum memberi tuntutan pada para terdakwa yang berjumlah lima orang itu.

Aku dan kuasa hukumku duduk di ruang persidangan untuk menyaksikan tuntutan jaksa pada mereka para pembunuh kejam itu.

"Kami penuntut umum dalam perkara terdakwa Mahendra Husni. Dengan memperhatikan undang-undang yang bersangkutan. Menuntut mohon agar majelis hakim pengadilan negeri X yang memeriksa dan mengadili perkara atas nama Mahendra Husni, memutuskan, 1, menyatakan terdakwa Mahendra Husni telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah yang melakukan tindakan pembunuhan berencana secara bersama-sama, melanggar pasal tiga empat puluh. kami menuntut menjatuhkan pidana 15 tahun penjara!"

Seketika tubuhku lemah tak berdaya saat mendengar tuntutan jaksa. Aku Segera berdiri dan berjalan menuju meja dimana para jaksa masih duduk disana.

"Tuntutan apa yang kalian berikan terhadap mereka Pak? Bukankah kalian mengatakan bahwa mereka sudah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, dan kalian juga mengatakan mereka melanggar pasal tiga empat puluh! Tuntutan semacam apa ini!" teriakku diruang sidang.

Aku dan kuasa hukumku benar-benar dilukai oleh keadilan ini. Aku menatap para jaksa tak ada satupun diantara mereka yang memberiku penjelasan.

"Saudara! Harap anda tenang!" bentak hakim ketua padaku. Aku menyorot ketua hakim muda yang memimpin persidangan ini. Pria itu juga tak kalah menyorotku sangat tajam.

"Saya tidak bisa diam bila keadilan ini melukai perasaan saya! Jika jaksa menuntut tak sesuai dengan pasal yang ada, maka saya berharap anda yang mulia hakim dapat memberikan keadilan untuk kedua almarhum orangtua saya!" seruku sebelum meninggalkan ruang sidang itu.

Aku meninggalkan gedung pengadilan negeri itu, dan berpesan pada kuasa hukumku untuk mencari tahu ada apa dibalik tuntutan jaksa ini.

Setibanya dirumah aku segera masuk kedalam kamar. Kutumpahkan segala tangis yang sedari tadi kutahan. Aku kembali meraung sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat pada bongkahan daging yang kunamakan hati.

"Ya Allah, kenapa engkau tidak membiarkan saja mereka mendapatkan hukuman yang setimpal. Kenapa engkau masih menguji kesabaranku? Sungguh aku tidak akan bisa sabar untuk hal ini ya Rabb. Ampuni aku!"

Aku menangis sembari mengadukan kepada Tuhanku atas rasa sakit dan kecewaku. Saat aku masih larut dalam tangisan. Ponselku berdering. Ternyata kuasa hukumku yang menghubungi.

"Halo Mbak Zahira, saya sudah mendapat informasi kenapa jaksa menuntut lebih ringan. Ternyata pihak jaksa dan hakim telah diberikan amplop coklat. Karena saya sudah mencari tahu dari intelejen saya, bahwa Mahendra sudah menjual puluhan hektar lahan sawitnya, dan terdapat bukti transfer pada mereka."

"Apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanyaku dengan lirih. Air mataku kembali luruh begitu saja. Jika sudah uang yang berkuasa, maka tak ada yang bisa aku lakukan. Karena aku tidak mempunyai uang untuk membayar jaksa dan hakim yang pastinya harus lebih besar dari pemberian para penjahat itu.

"Kalau sudah seperti ini kita tidak bisa banyak berharap, Mbak. Karena antara hakim dan jaksa saling menutupi. Maka membuat kita sulit akan melaporkan pada pihak komisi yudisial," jelas Kuasa hukumku.

Aku hanya bisa menangis histeris. Entah berapa lama aku menangis sehingga aku melupakan segalanya, bahkan aku seharian ini tidak makan dan minum.

***

Aku mengamati identitas kembaranku yang masih beralamat di kediaman kami yang lama dulu. Kumantapkan hati untuk mengambil keputusan ini. Ya, aku tahu ini adalah keputusan yang sangat buruk. Tetapi aku harus melakukannya demi sumpahku yang akan membuat para pembunuh itu mendapatkan hukuman setimpal.

Pagi ini aku menghubungi kuasa hukumku untuk bertemu dengannya. Kami bertemu untuk membahas masalah yang semalam. Merasa belum menemukan jalan, padahal dua hari lagi sidang putusan pengadilan akan dijatuhkan.

"Pak, apakah Bapak mempunyai kartu nama Hakim ketua yang memimpin persidangan?" tanyaku memberanikan diri.

"Ada, Mbak, untuk apa?" tanya kuasa hukumku yang bernama Andre.

"Berikan pada saya, Pak. Saya akan mencoba untuk menemuinya. Semoga saja hatinya terbuka dan sehingga dia tidak terpengaruh oleh uang sogokan itu," ucapku bersikap sewajarnya saja.

"Baiklah, ini kartu namanya."

"Apakah Bapak tahu dia disini menginap dimana?" tanyaku kembali mencoba mengorek informasi tentang Pria yang akan menentukan keputusan itu.

"Dia menginap di hotel xxx."

"Baiklah, kalau begitu saya pamit pulang dulu, Pak. Beri kabar saya bila ada informasi terbaru."

"Baik, Mbak."

Setelah mendapat apa yang aku perlukan, aku kembali pulang kerumahku. Dalam kamar ini aku duduk melamun sendiri. Kuamati kartu nama Hakim ketua yang bernama. Zico Hamdi.

Pria itu tergolong hakim paling muda yang pernah aku temui, karirnya juga bagus. Diusianya yang baru 31 tahun, dia sudah bisa menjadi ketua hakim dalam memutus perkara.

Awalnya aku mencoba untuk menghubunginya melalui sambungan telepon, berharap lelaki itu bermurah hati dan mau bicara denganku.

"Halo, siapa ini?" tanyanya diseberang sana

"Assalamualaikum, Pak Hakim, ini saya anaknya korban dari kasus yang sedang Bapak tangani," jawabku mencoba untuk tetap ramah.

"Untuk apa kamu menghubungi saya?"

" Maaf sebelumnya, Pak, apakah kita bisa bertemu dan bicara sebentar saja?"

"Tidak! Saya tidak punya waktu untuk bicara dengan kamu. Jangan pernah hubungi saya lagi!"

Sambungan terputus. Aku menghela nafas dalam. Kutatap sekeliling ruangan itu. Kembali ingatanku kepada kedua orangtuaku. Bagaimana bila mereka tak mendapatkan keadilan, sungguh hatiku tidak rela.

Bersambung....

Nb. Mohon dukungannya ya, like komen dan subscribe. 🙏🥰

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

hukum dgn uang 🤔😭

2024-04-22

0

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Ya Allah nyesek,itulah kalau sudah Ada uang mata hati tertutup,semoga dapat keadilan😭🤧

2024-01-07

0

Fajar Ayu Kurniawati

Fajar Ayu Kurniawati

.

2023-12-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!