Bab 11

Mas Adri membawaku masuk kedalam kamar yang dia peruntukan untukku. Kamar ini cukup nyaman, tempat tidurnya empuk dan rapi, sebuah TV 42 inch terpajang di dinding, Sofa bad juga tertata rapi.

"Ini kamar kamu, Za, kamu suka?" tanya Mas Adri.

"I-iya aku suka, Mas, ini terlalu nyaman," jawabku jujur sekali. Karena memang begitu adanya. Tentu saja aku sangat nyaman bila kamarnya super lengkap, dekornya juga bagus nuansanya lembut.

"Syukurlah bila kamu suka. Memang itu yang aku inginkan, agar kamu nyaman bisa istirahat dengan tenang."

"Terimakasih ya, Mas."

"Ya, sama-sama. Sekarang istirahatlah. Nanti pakaian kamu biar Buk Era yang bantu menata di lemari."

Aku hanya bisa mengangguk. Rasanya sudah tak bisa bicara apapun, selain menerima saja bantuan yang diberikan. Karena aku memang harus menjaga kandunganku. Sungguh aku tidak ingin membahayakan nyawa bayi yang ada dalam kandunganku, karena hanya dia Harapanku. Aku bertahan di fase ini semua karena bayiku, aku tidak ingin kehilangannya."

Aku menempati ranjang empuk itu, duduk bersandar sembari meluruskan kaki. Kulihat Mas Adri tersenyum melihat tingkah malu ku tak bisa bergerak bebas bila ada dia.

"Zahira, aku pamit pulang dulu ya, kamu bila perlu sesuatu bisa hubungi aku," pesan Pria itu sebelum beranjak.

"Baik, terimakasih, Mas."

Pria itu mengangguk segera keluar dari kamarku. Aku segera merebahkan diri untuk istirahat sejenak.

Entah berapa lama aku terlelap, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Ternyata Buk Era yang masuk dengan sebuah nampan ditangannya.

"Selamat Sore, Mbak Zahira, ini saya bawakan makanan buat Mbak, silahkan dimakan dulu," ucapnya dengan senyum ramah.

"Ah, ya. Terimakasih ya,Buk." Aku segera duduk menerima nampan yang telah berisi makanan dan susu hamil.

"Kalau begitu Ibuk keluar dulu, kalau Mbak butuh sesuatu panggil saja," pesan wanita baya itu.

"Baik, Bu."

Aku segera menyantap makanan itu. Rasanya nikmat sekali. Memang semenjak aku hamil selera makanku semakin bertambah, aku tidak pernah merasakan yang namanya mual ataupun ngidam. Alhamdulillah bayiku sangat paham dengan kondisiku.

Sudah dua hari aku berada dikediaman baruku. Rasanya bosan juga bila berkurung dikamar. Setelah sarapan pagi, aku membawa peralatan makanku keluar menuju dapur.

"Eh, Mbak, kenapa repot-repot membawanya. Biar saja Ibuk yang ambil," ujar Buk Era yang segera mengambil piring kotor itu dari tanganku.

"Tidak pa-pa, Buk, aku juga bosan selalu dikamar. Aku duduk disini saja ya," pintaku izin untuk duduk.

"Yasudah, duduk saja ya, jangan melakukan apapun."

Aku duduk di kursi meja makan sembari ngobrol dengan Buk Era. Ternyata beliau juga sangat baik.

"Sudah berapa bulan kendungannya, Mbak?" tanya Buk Era.

"Penuh enam, jalan tujuh Buk," jawabku.

"Wah, tidak lama lagi lahiran. Semoga diberikan kemudahan, sehat ibu dan bayinya," ucap wanita baya itu memberi Do'a.

"Aamiin..."

"Suami Mbak Zahira dimana?" tanya Buk Era.

"Hah? Su-suami?" ucapku bingung.

"Iya, suami Mbak Zahira," balasnya ingin tahu.

"Oh, itu, su-suami saya diluar negeri jadi TKI, Buk," jawabku ngarang, dan sedikit gugup.

"Oh, kerja diluar negeri. Kontrak berapa tahun?"

Kembali aku bingung harus menjawabnya. Tapi demi nama baik buah hatiku, maka aku terpaksa berbohong.

"Kontrak tiga tahun, Buk."

"Oh, masih lama berarti pulangnya ya. Semoga saat dedeknya lahir Papanya bisa pulang walau sebentar," ujar Buk Era, aku hanya tersenyum simpul.

Aku tidak pernah berharap kehadiran ayah dari bayiku. Jika boleh meminta, jangan pernah lagi bertemu dengan Pria itu. Tetapi, aku selalu mendo'akan agar dia menjadi Hakim yang amanah dan bijaksana dalam memutuskan perkara dengan seadil-adilnya.

***

Begitulah hari-hari yang aku lalui. Tak terasa kehamilanku sudah berjalan sembilan bulan. Aku benar-benar menggantungkan hidupku dengan Mas Adri. Rasanya aku ingin sekali mencari pekerjaan agar aku tidak selalu menjadi bebannya. Tetapi dengan kondisi kandunganku yang lemah ini, mau tak mau harus menekan rasa malu dan sungkan.

Ya, memang Mas Adri tidak pernah merasa keberatan, tetapi aku yang tidak enakan, karena aku sadar diri, aku dan Mas Adri tidak mempunyai hubungan apa-apa. Rasanya terlalu naif bila seorang lelaki mau segitunya berkorban bila tak ada yang dia harapkan pada wanita itu.

Aku berharap Mas Adri mendapatkan jodoh yang terbaik. Jujur, aku sampai saat ini tidak pernah berpikir untuk menikah. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama anakku nanti.

Pagi ini seperti biasanya, aktivitasku hanya menyiram bunga yang ada di taman belakang dan membantu pekerjaan yang ringan-ringan saja.

Saat sedang membersihkan kamar, terasa perutku nyeri sekali. Rasanya tak mampu untuk kutahan. Aku kembali duduk di ranjang sembari mengatur nafas.

Semakin lama sakitnya semakin kuat. Aku meringis sembari meremat alas ranjang itu. Rasa tak mampu lagi, aku memanggil Buk Era untuk meminta bantuannya.

"Mbak Zahira kenapa? Apakah ingin melahirkan?" tanya Buk Era begitu cemas.

"Tidak tahu,Buk, perut aku sakit banget. Tolong bawa aku ke RS, Buk."

"Ayo Mbak. Kalau begitu Ibuk hubungi Pak Adri dulu ya," ucap Buk Era yang sudah ingin menekan nomor Mas Adri.

"Tidak usah, Buk. Pesan taksi online saja. Aku tidak ingin mengganggu Mas Adri sedang bekerja," tolak ku.

"Tapi, Mbak, Pak Adri sudah berpesan agar segera memberi kabar bila terjadi sesuatu."

"Aku tidak apa-apa, Buk. Nanti saja beri kabar."

Akhirnya Buk Era mengalah, dia segera memesan taksi online. Kupaksakan untuk mempersiapkan pakaian bayi, ku kemas kedalam tas jinjing yang berukuran sedang.

Tidak berselang lama taksi sudah datang, Buk Era segera membantu dan membawakan tas pakaian perlengkapan bayi yang tadi sudah kupersiapkan.

Setibanya di RS Aku segera di bantu oleh perawat masuk keruang bersalin. Setelah di periksa ternyata sudah buka tujuh.

"Ibu ayo baring, kita pasang infus dulu ya. Sebentar lagi bukaannya lengkap," jelas Bidan yang menangani.

Aku berusaha untuk tetap tenang, sebisa mungkin menahan rasa sakit yang semakin mendera. Ingin rasanya mencari tempat bersandar dan mengadukan rasa sakit ini tak dapat kugambarkan. Tetapi aku sadar bahwa aku tak mempunyai tempat itu.

Aku harus kuat menjalani ini semua. Aku pasti bisa melewatinya. Ya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan bayiku. Aku tidak boleh cengeng dan lemah.

Aku hanya bisa mengucap segala kalimat Allah agar sedikit mengurangi rasa sakit ini. Kuteguhkan hati dengan menyemangati diri sendiri.

"Astaghfirullah, sakit banget, Buk!" keluhku pada Buk Era. Hanya beliau yang setia menemaniku.

"Sabar ya, Mbak. Insya Allah sebentar lagi dedeknya lahir," ujar Buk Era sembari mengusap perutku.

Bersambung....

Nb. Jangan lupa dukungannya ya, dan jangan lupa subscribe. Terimakasih 🙏🤗

Happy reading 🥰

Terpopuler

Comments

Rhenii RA

Rhenii RA

Bu ya bukan Buk, Ibu bukan Ibuk☺️

2024-01-08

1

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Semoga lahiran nya lancar ibu dan bayi nya selamat🤲🤲

2024-01-07

0

Rosmaliza Malik

Rosmaliza Malik

biar pak hakim yg terkena getahnya

2023-12-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!