Sinar matahari kini telah beranjak dari peraduannya, jam saat itu menunjukkan pukul sembilan pagi. Pria yang beberapa saat lalu memejamkan mata, kini terbangun karena pantulan kilau cahaya keemasan yang menimpa kedua matanya.
"Wah sepertinya sudah siang, pukul berapa ini?" gumam pak Ahmad saat membuka mata, lalu mengedarkan pandangan melihat jam pada dinding kamar.
"Hah, jam 9. Wah gawat ini, aku harus segera kembali. Nyonya Akasma pasti sudah menunggu ku," imbuh pak Ahmad menggumam.
Saat baru saja keluar dari kamar tempatnya bermalam semalam, pak Ahmad berpapasan dengan Ayrani yang baru selesai mandi bersama Bu Dewi.
"Eh Non Ayra, selamat pagi, Non!" sapa pak Ahmad sedikit membungkukkan badan di depan bocah yang hanya mengenakan lilitan handuk setengah badan.
"Pak Ahmad. Bapak di sini juga?" timpal Ayrani menatap wajah pria yang semalam mengantarkan dirinya bertemu sang nenek.
"Iya, Non. Kan semalam Bapak yang menemani Non Ayra," jelas pak Ahmad.
Bu Dewi pamit kepada pak Ahmad untuk segera membawa Ayra berganti baju. Takut bocah malang itu masuk angin karena kedinginan. Sementara pak Ahmad juga permisi kepada Bu Dewi untuk menumpang ke kamar mandi, sebelum ia berpamitan pulang.
Sonia sepertinya sudah menunggu pak Ahmad di meja makan. Saat sopir pribadi Akasma berjalan menuju ruang tamu, namun Sonia terlebih dahulu menghentikan langkahnya.
"Duduklah, Pak Ahmad. Sebaiknya jangan pergi dalam keadaan perut kosong!" tegur Sonia duduk di ujung meja makan.
"Ta- tapi Nyonya, Saya harus segera kembali. Pasti Nyonya Akasma sudah menunggu," tolak pak Ahmad.
"Serahkan semuanya kepada Saya. Pak Ahmad duduk saja dulu dan nikmati sarapan nya."
Pak Ahmad pun akhirnya duduk di kursi ujung meja makan berseberangan dengan Sonia. Wanita paruh baya itu bangun dari duduknya, berjalan menuju arah pak Ahmad yang kini tengah menikmati hidangan yang sudah Bu Dewi siapkan.
"Ambillah ini! mungkin tidak seberapa, tapi itu sebagai rasa terima kasih Saya karena Bapak sudah mengantarkan cucu ku dengan selamat sampai rumah ini," Sonia menyodorkan amplop warna coklat berisikan uang kepada pria di depannya.
"Ta....!" belum usai melanjutkan ucapannya, Sonia terlebih dahulu memotong pembicaraan sopir tersebut.
"Anggap itu pesangon dari mendiang putra ku karena belum sempat membalas jasa anda!"
Sebenarnya sangat tidak enak hati untuk pak Ahmad terpaksa harus mengambil amplop itu. Baginya mengabdi kepada keluarga Samir Daulay adalah keberuntungan untuk dirinya. Sebab selama hidupnya Samir dikenal baik hati dan suka menolong. Bahkan saat putri pak Ahmad mengalami kecelakaan, Samir lah yang menanggung semua biaya perawatan rumah sakit, tanpa memotong sepeserpun dari gaji. Jadi meskipun Samir telah tiada ia masih bekerja bersama Akasma, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya atas jasa jasa alamrhum selama ini.
"Terima kasih atas jamuan serta kebaikan Nyonya, sekali lagi Saya ucapakan banyak terima kasih," pamit pak Ahmad sebelum melangkah meninggalkan kediaman Sonia.
Melihat kepergian pak Ahmad, Ayrani berlari mengejarnya, "Pak Ahmad jangan pulang, Ayra ikut pulang juga. Ayra mau tinggal sama Kak Pritha dan Mama."
Langkah pak Ahmad terhenti, sudut netranya kembali berkaca, ia pun berjongkok memeluk tubuh Ayra, "Nona baik baik bersama Nenek, ya! Nenek Sonia adalah Nenek Non Ayra, beliau sangat baik dan sangat menyayangi Nona. Pak Ahmad janji nanti akan membawa Nona Prithaya kemari."
"Tapi Ayra mau sama Kaka Pritha, hiksss....!"
Sonia beserta Bu Dewi menghampiri Ayra, keduanya berusaha menghibur bocah tersebut agar tidak lagi bersedih.
"Sayang, biarkan Pak Ahmad pergi dulu ya? Nanti Ayra bisa bermain sama banyak teman," bujuk Sonia.
"Iya Non, nanti Non Ayra bisa bantu Bu Dewi buat kue kesukaan Nona," imbuh Bu Dewi berusaha membujuk.
Berkat bujuk rayu sang nenek, Ayra akhirnya melepas pelukannya dari pak Ahmad. Dengan berat hati gadis itu melepas kepergian pak Ahmad. Ia pun melambaikan tangan mengiring kepergian pria tersebut meninggalkan halaman rumah Sonia.
Kini hanya tersisa mereka bertiga, setelah berhasil membujuk Aura, Bu Dewi mengajak bocah itu bermain di taman. Sementara Sonia juga turut serta bermain menghibur sang cucu.
***
"Nenek, kenapa Mama dan Kaka Pritha tidak ikut kemari?" tanya bocah kecil itu di tengah kesempatan saat berdua bersama Sonia, sementara Bu Dewi tengah menyiapkan makanan kecil dan minuman untuk mereka bertiga.
"Duduklah Sayang, sini duduk di pangkuan Nenek. Akan Nenek ceritakan alasan mengapa Mama Akasma dan Kaka Pritha tidak ikut kemari." ujar Sonia membuka percakapan.
Dan gadis kecil yang kini tengah duduk di pangkuan Sonia, terlihat mulai menyimak penjelasan wanita paruh baya tersebut.
"Ayra tahu bukan Mama Akasma bukanlah Mama kandung Ayra?" ucap Sonia menatap lekat sang cucu, dan bocah itu pun mengangguk.
"Mama Ayra adalah Mama Halimah!" jawab bocah kecil itu.
"Dan Ayra tahu tidak Nenek ini siapa?" Ayra menggeleng.
"Nenek adalah ibu dari Papa Ayra, jadi satu satunya keluarga yang Ayra punya sekarang hanya Nenek saja. Mama Akasma hanyalah orang lain, dan Kaka Pritha yang kamu sayangi itu bukan Kaka kandung Ayra. Mengerti?" Ayra mulai diam berpikir mencerna cerita Sonia.
Sebenarnya bagi gadis seusia Ayra, semua cerita dari Sonia sungguh sulit dia pahami. Namun tampaknya Sonia benar benar tidak ingin sang cucu ketergantungan kepada mereka, Akasma dan Prithaya. Karenanya wanita paruh baya itu terus berusaha secara perlahan menjelaskan tentang siapa itu Akasma dan Prithaya.
"Prithaya bukan Kakak kamu, mengerti?" Ayrani masih terdiam.
Dengan suara lirih dan wajah tertunduk, gadis kecil yang malang itu membalas Sonia.
"Tapi Ayra menyayangi mereka, Nek."
Sepertinya sungguh tidak mudah bagi Ayrani berperang dengan kata hati nya. Di satu sisi ia mulai menyayangi Akasma dan juga Prithaya. Namun sisi lain di usia yang masih sangat dini, otaknya dituntut untuk harus mencerna dan berpikir dewasa. Membuat gadis kecil itu merasa dilema.
"Nenek tidak melarang Ayra menyayangi mereka. Tapi Ayra wajib tahu siapa keluarga Ayra sebenarnya dan yang bukan. Semua ini terpaksa Nenek ceritakan meski belum pantas buat kamu, agar Ayra tahu bahwa wanita yang kau sebut Mama itu bukanlah wanita yang baik. Ayra harus hati hati."
Andai bisa berteriak, mungkin bagi gadis itu akan berteriak sekencang nya, dan protes tentang liku takdir yang harus ia hadapi di usia yang belum semestinya untuk berpikir. Meski selama beberapa hari tinggal bersama Akasma, telah melewati kenangan pahit serta menyedihkan. Gadis itu tidak sedikit pun membenci Akasma.
Semenjak gadis kecil yang malang itu dituntut berpikir dewasa untuk menerima kenyataan takdir yang sungguh membingungkan baginya, Ayra lebih sering diam dan menghabiskan keseharian nya bersama boneka beruang kesayangan nya.
****
BERSAMBUNG....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
𝙱𝚞𝚗𝚍𝚊 𝙰𝚛𝚞𝚖𝚒❣️
seiring berjalannya waktu, nanti Ayrani pasti akan mengerti, karena di umurnya yg masih kecil belum bisa memahami permasalahan orang dewasa
2023-03-29
3
An𝐀⃝🥀ᴳᴿ🐅
masih kecil di paksa untuk mengerti keadaan,,,
kuat ya ayra
2023-03-29
1