"Tumben kamu nggak jalan-jalan?" Rima melihat putranya masih anteng di ruang keluarga dengan menonton televisi.
"Lagi nggak kepingin Mih." Ariel melihat Rima yang sendirian. "Papi kemana?"
"Sudah tidur." jawab Rima. "Papi mu kecapean, tadi seharian jalan-jalan sama Mami."
"Seperti anak muda saja." Ariel menggumam namun masih bisa di dengar oleh Rima.
"Memangnya jalan-jalan untuk anak muda saja! Justru untuk orang yang usia pernikahannya sudah lama perlu untuk waktu berdua. Agar rasa yang kami miliki akan terus ada seperti pertama kali bertemu."
Namun sang putra hanya memutar bola matanya malas.
"Kamu di bilangin nggak percaya, makannya cepat nikah. Jangan kawin melulu."
Mata Ariel membulat. "Apaan sih Mih!"
"Kamu pikir Mami tidak tau kelakuan kamu, makannya Mami putuskan untuk pulang. Umur kamu itu semakin hari semakin bertambah, nggak pingin apa cepat-cepat menikah?"
"Mami awasi aku ya?"
"Memang apa salahnya Mami awasi anaknya, lagi pula kamu itu masih belum menikah. Jadi masih tanggung jawab Mami."
"Nikah melulu yang di bahas!" Ariel mendengus.
"Kamu itu memang sudah waktunya menikah, temen-temen kamu sudah punya anak semua. Apalagi Nathan, anaknya udah gede. Lah kamu... kamu mau, umur udah tua baru punya anak? Nanti kalau anak kamu udah remaja, kamu sudah kakek-kakek. Bakalan nyesel kamu nggak bisa nemenin masa-masa pertumbuhan anak." Rima memberi nasehat.
Ariel terdiam.
"Tapi menikah itu juga harus pilih-pilih, jangan asal nikahin anak orang aja. Dalam artian, gadis itu baik ndak? Sopan ndak? Itu sudah jadi pondasi awal yang baik dalam memilih calon istri." Rima menjelaskan, lalu ia menatap putranya lekat-lekat. "Tapi kamu--"
Itu membuat Ariel menatap Rima.
"Kamu kelakuannya seperti itu, Mami jadi takut kalau dapat menantu modelannya seperti kamu juga." Rima bergidik ngeri. Meskipun kelakuan putranya tidak baik, ia masih berharap mempunyai menantu yang baik agar bisa merubah putranya.
"Ck," Ariel berdecak mendengar itu.
Rima lalu mengingat sosok Joana. "Apa perempuan yang ada di kantor kamu waktu itu kekasihmu?"
"Joana?"
"Ya, yang pakaiannya kurang bahan."
Ariel mendengus.
"Apa benar dia kekasihmu?"
"Tidak."
"Benarkah!" Rima merasa sedikit lega. "Tapi kalaupun ia, Mami juga tidak apa-apa." sahutnya kemudian. Ia tidak mau jika putranya merasa terbebani dengan kriteria yang dia mau.
"Kamu pernah dengar jika jodoh, rezeki dan maut sudah ada catatan nya. Tapi sebagai manusia tidak ada yang tau akan seperti apa catatan takdir kita nantinya. Jika takdir kita baik itu sungguh anugrah, tapi kalau buruk kita harus berusaha untuk merubahnya menjadi lebih baik. Yang pertama harus merubah dari diri kita sendiri, agar kemudian yang baik akan mendekat."
Ariel diam mendengarkan, tapi tidak di pungkiri jika semua yang di ucapkan oleh Rima ada benarnya.
"Ya sudah, Mami mau tidur dulu. Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Siapa tau dapat jodoh waktu di jalan." Rima tertawa. "Tapi kamu harus tetap pulang ke rumah."
Ia lalu beranjak dan berjalan ke arah kamarnya.
Ariel masih mencerna ucapan Rima, apa benar ia harus merubah kepribadiannya? Yang artinya ia harus meninggalkan kesenangannya di dunia malam?
Entahlah.
Ia melihat jam di pergelangan tangannya, jam menunjukkan pukul 20.45.
Ariel mengambil dompet beserta kunci mobil satunya, sore tadi ia memutuskan untuk meninggalkan mobilnya karena Arga yang terus menghubunginya agar kembali ke kantor.
Di jalanan malam yang masih ramai lalu lalang orang, ia mengemudikan mobilnya tak tentu arah. Pikirannya terasa kacau, ponselnya sedari tadi terus berdering. Saat ia lihat, tertera nama Joana di layar ponselnya.
Biasanya ia akan langsung mengangkatnya, karena bisa di pastikan jika keluar bersama Joana di malam hari ia akan berakhir dengan percintaan panas.
Tanpa ia sadari mobil yang ia kendarai melaju ke arah bengkel tempat Delia bekerja. "Kenapa ke sini?"
Tapi tak urung juga ia berhenti. Ia melihat Delia yang baru saja tutup bengkel. "Bukannya waktu itu dia memakai seragam SMA, lalu malam itu di bandung tengah malam. Meskipun aku tidak tau wajahnya, tapi seratus persen aku yakin itu dia."
Matanya tak lepas dari keberadaan Delia berada. Gadis itu berdiri di pinggir jalan, tapi sedetik kemudian ia berjalan kaki.
Ariel mengerutkan dahi melihat itu. "Dia jalan kaki! Bukannya waktu itu punya mobil?"
Ariel tanpa sadar terus saja melajukan mobilnya perlahan, mengikuti kemana Delia berjalan.
"Yang benar saja!" Ia tidak menyangka mengikuti Delia yang masih terus berjalan. "Apa dia tidak capek berjalan kaki sejauh ini?"
*
*
Delia merasa seperti ada yang membuntutinya. Ia menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang. Ternyata benar, mobil dengan warna putih yang sama ia lihat ketika di depan bengkel tadi.
Tentu saja itu membuatnya merasa tidak aman, ia lalu berjalan menghampiri mobil itu. Ia mengetuk kaca mobil itu.
Ketika kaca mobil itu turun, rupanya pelanggan tadi sore di balik pengemudi. "Kenapa Om mengikuti aku?"
"Ti-dak... " jawab Ariel, tapi ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Ia seperti penguntit yang sedang ketahuan. "Hanya kebetulan." Ia tersenyum kaku.
Delia menghembuskan nafasnya kasar.
"Tidak percaya?" tanya Ariel.
"Tidak."
"Tapi aku tidak berbohong."
"Terserah... yang penting Om setelah ini jangan mengikuti aku." Delia lalu pergi meninggalkan mobil Ariel.
"Hei... tunggu!" Ariel segera keluar mobil dan menghampiri Delia. "Sebenarnya aku ingin bicara denganmu."
Delia menghentikan langkahnya dan menatap Ariel.
"Ayo kita bicara sebentar."
"Soal apa! Mobil? Kan sudah aku bilang, Om. Besok malam baru selesai."
"Bukan soal itu."
"Lalu?"
"Uhm... bagaimana kalau sambil makan atau minum?"
"Aku harus pulang."
"Hanya sebentar saja!"
"Ck!" Delia berdecak melihat Ariel.
*
*
Akhirnya mereka memiliki warung makan di sekitar mereka tadi berhenti. Rumah makan lesehan yang menyajikan berbagai lauk dengan sambal tomat.
Delia memakan makanannya tanpa bicara sedikitpun, nasi dengan lauk ikan lele juga sambal dan lalapan.
Ia tidak memperdulikan Ariel yang sesekali memperhatikannya, jika seorang perempuan ingin terlihat cantik saat makan di depan laki-laki. Tidak dengan Delia, baginya menunjukkan apa adanya jauh lebih baik.
"Mau bicara apa?" Delia setelah menyelesaikan urusan makannya.
"Apa kamu tidak mengingat aku?"
"Iya Om kan yang punya mobil di bengkel sore tadi."
"Bukan itu."
"Terus?"
"Waktu di Bandung, kamu kan yang menolongku?"
Delia menatap Ariel lekat-lekat.
"Oh... Om yang mabok setelah naik mobil itu!" Ketika Delia sudah mengingatnya.
"Astaga... kenapa di bagian itu dia mengingatnya." Ariel menggumam.
"Aku mau mengucapkan terima kasih." ujar Ariel.
"Nggak apa-apa, waktu itu pas aku lagi lewat di sana saja." sahut Delia. Ia melihat jam di ponselnya, ternyata ia sudah cukup lama dengan Ariel. "Ya sudah kalau begitu Om, aku mau pulang dulu." Ia beranjak.
"Aku akan antar," Ariel juga beranjak.
"Tidak usah, rumahku sudah dekat."Delia menolak. "Dan Terima kasih untuk makanannya." Hingga ia benar-benar pergi dari sana, meninggalkan Ariel yang terus saja menatapnya.
...----------------...
...Seperti biasa guys, jangan lupa dukungannya 🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Kim
Alhamdulillah sudah tidak ada adegan celap celup sembarangannya😁
2023-03-14
1
Ani Nur
HBS ini om Ariel mlai berjuang deh,Hyo perbaiki dlu sikap dn prilaku kmu jgn smpai msih knya ank Kupu2 malam LG wkwkwkwk
2023-03-14
1
Elizabeth Zulfa
kejar sampai dapet mazzeee....😁😁
2023-03-14
1