"Ariel ada di dalam kan?"
Riska terdiam sebentar, ia kemudian menghembuskan nafasnya perlahan. Entah kenapa setiap melihat Joana datang selalu membuatnya kesal. Mungkin karena tingkah model itu yang tidak tau sopan santun. Tapi bagaimanapun ia harus profesional, apalagi ini masih jam kerja.
Ia kemudian berdiri dan tersenyum ramah, meski dalam hatinya tidak ikhlas. "Iya, Nona Joana. Pak Ariel nya ada di dalam."
"Oh, ok." Tanpa mengucapkan apapun Joana begitu saja masuk dalam ruangan Ariel.
"Lihatlah, apa dia tidak punya uang untuk membeli baju dengan bahan kain yang lebih banyak. Semua bajunya kekurangan bahan, apa dia tidak masuk angin?" Riska yang menggerutu.
Di dalam ruangan Ariel, Joana tentu saja menunjukkan sikap manjanya.
"Sayang..." Joana berlari dan memeluk Ariel. Tidak peduli dengan pria itu yang sedang bekerja. "Kamu akhir-akhir ini sibuk sekali, hingga tidak ada waktu untukku." ia merajuk.
Joana sudah beberapa kali mengajak Ariel ke club malam seperti biasanya, namun Ariel terus menolaknya dengan alasan ia sedang ada banyak pekerjaan.
Ariel menghentikan pekerjaannya, ia menatap Joana yang duduk di pangkuannya. "Aku sedang banyak pekerjaan."
"Aku tau, tapi kamu biasanya bisa meluangkan waktu untukku. Tapi akhir-akhir ini kamu sangat sibuk."
"Selain banyak pekerjaan, aku tidak bisa karena orang tuaku ada di rumah."
"Mereka ada di Jakarta?"
"Iya."
"Kenapa tidak memberitahuku?"
"Untuk apa?" Ariel merasa heran.
"Uhm... setidaknya aku ingin berkunjung." Joana mencari alasan.
Entah kenapa tiba-tiba ia mempunyai rencana untuk mendekati kedua orang tua Ariel, mungkin ia harus mengambil hati mereka agar apa yang di rencanakan nantinya agar berjalan dengan mulus.
"Tidak perlu."
"Kenapa?" Joana merasa tidak suka.
"Tidak ada alasan khusus."
Diam-diam tangan Joana mengepal erat. Tapi ia tetap berusaha tetap bersikap biasa. "Uhm... bagaimana kalau nanti malam aku main ke apartemen saja." katanya. "Kita bersenang-senang." Ia mulai menggoda. Memainkan jemari lentiknya di belakang telinga Ariel.
"Apartemen ku sudah tidak ada." Ia menjauhkan tangan Joana.
"What... ! Maksudnya?"
"Mami menjualnya."
"Terus sekarang kamu tinggal dimana?"
"Di rumah besar, oleh sebab itu Mami menjual apartemen agar aku pulang ke rumah."
Joana terdiam, sepertinya ini akan jauh lebih mudah pikirnya. "Mungkin itu yang terbaik." Ia yang terlihat memihak Rima.
Ariel mendengus mendengar itu. Ia bahkan beberapa hari ini tidak bisa menikmati kesenangan nya, semenjak kedua orang tuanya pulang.
*
*
Riska begitu saja berdiri dari duduknya begitu tau Rima keluar dari lift. Ia menelan ludahnya susah paya, ini situasi yang sulit. Ia ingin memberitahu bosnya namun jarak Rima sudah terlalu dekat, mungkin ia akan pasrah saja dengan takdir Tuhan. Yang jelas ia akan kena semprot setelah ini, karena sudah bisa menebak apa yang di lakukan kedua manusia itu di dalam ruangan.
"Pak Ariel nya ada di dalam?" tanya Rima dengan suara ramah, wajahnya terlihat begitu berwibawa.
"Ada Nyonya." Riska semakin gugup. "Mau saya antar!" Setidaknya jika ia yang lebih dulu masuk bisa menginterupsi bos nya. Namun ketika ia baru saja beranjak, Rima menghentikannya.
"Tidak perlu, kamu teruskan saja pekerjaan mu." Kemudian Rima masuk ke dalam ruangan Ariel.
"Aduh... !" Riska merasakan keringat dingin semakin membanjiri keningnya.
Klek.
"Bera--" Baru saja Ariel akan buka suara karena seseorang sudah masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi, tapi suaranya hilang bersama angin begitu tau siapa yang datang.
Hingga membuat ia langsung berdiri, dan Joana yang merasa sedikit kesal karena terganggu.
Wajah Rima yang tadinya bersahabat, tentu saja seketika berubah. Di mana ia melihat putranya, sedang bermesraan bersama perempuan di ruang kerjanya.
Sekarang mereka bertiga duduk di sofa, aura Rima begitu mengintimidasi mereka berdua.
"Apa kalian sering bertemu seperti ini di kantor?" Rima bertanya.
"Se--"
"Hanya sesekali, Mih." Ariel menyela ucapan Joana, dan perempuan itu nampak mendengus.
Rima menoleh ke arah Ariel dan Joana secara bergantian. "Ini kantor tempat bekerja, bukan untuk yang lain." Meskipun suaranya terdengar halus, tapi terdengar begitu menegaskan jika perbuatan mereka tidak ia sukai.
Ariel menghela nafasnya perlahan, kini bahkan ia akan benar-benar tidak bisa menikmati apapun yang ia sukai.
Sedangkan Joana meremas tangannya yang saling bertautan, ternyata pikirannya salah. Ia yang tadi merasa dengan mudah bisa mendapatkan simpati Rima harus ia buang jauh-jauh.
Rima berdiri. "Jika menerima tamu di kantor harus ada alasan yang jelas, dan tidak melakukan tindakan di luar jam kerja." ujarnya. "Ya sudah Mami pulang dulu."
"Ariel antar Mih!"
"Tidak usah, tadi Mami di antar supir." Setelah itu Rima pergi dari sana.
Padahal niatnya tadi ke kantor, ia ingin mengajak pergi putranya untuk makan siang. Namun malah menemukan kejadian seperti itu.
"Aku takut... " rengek Joana.
Dan Ariel hanya bisa memijat pangkal hidungnya ketika ia tiba-tiba merasa kepalanya pusing.
*
*
Adi menunggu Delia di depan kantor guru. Sahabatnya tadi sepulang sekolah di suruh salah satu guru untuk pergi ke ruang guru.
Namun beberapa saat menunggu, sahabatnya itu tidak kunjung keluar.
Klek.
"Ada apa?" Begitu Adi melihat Delia keluar dari ruang guru.
Delia yang awalnya diam, lambat laut ada senyuman yang terbit di bibirnya. "Ada kabar gembira!"
"Benarkah! Apa?" Adi yang juga ikut merasa antusias.
"Tadi kata guru, jika nilai aku stabil terus makah aku akan dapat beasiswa ke Universitas."
"Beneran!"
"Hmm... "
"Wah... bagus kalau gitu."
Tadi guru menyampaikan jika nilai Delia stabil, maka pihak sekolah bisa mencarikan beasiswa ke beberapa universitas. Dan tentu itu adalah hal yang paling di harapkan oleh Delia setelah ia lulus SMA nanti.
*
*
Kabar gembira yang tadi ia dengar di sekolah, nyatanya bisa membuat hati Delia bahagia hingga sepanjang hari. Rasa lelah yang biasanya ia rasakan setelah bekerja kini tak lagi terasa.
"Kenapa senyum-senyum?" Dandi yang kebetulan akan keluar dari rumah, mendapati adik tirinya baru pulang kerja nampak tersenyum bahagia. "Dapat uang tips banyak ya? Sini bagi!" ia menengadah kan tangannya.
Delia memutar bola matanya malas, kenapa yang ada di dalam otak Dandi hanya uang dan uang saja. Tetapi tidak mau bekerja sendiri.
"Nggak ada!" Delia berjalan ke arah kamarnya.
Dandi pantang menyerah, ia mengekori Delia. "Jangan bohong, buktinya kamu lagi seneng kan?"
Delia berhenti di ambang pintu, dan berbalik ke arah Dandi. "Bahagiaku dan bahagia Kakak itu berbeda. Kalau bahagianya Kakak itu minta uang terus di kasih, pergi main judi sama mabuk."
Dandi menggeram. "Kamu semakin hari semakin berani sama aku, mentang-mentang kamu yang cari uang di rumah ini."
"Nah... itu Kakak tau, seharusnya Kakak yang berubah. Kerja cari uang buat menghidupi Ibu, aku nggak masalah kalau Kakak nggak mau ngurusin aku."
Suara keributan yang di timbulkan Dandi dan Delia membuat Eva terbangun dari tidurnya. "Kenapa malam-malam ribut?" bentaknya.
Dandi dan Delia menoleh.
"Ini, anak tiri ibu mulai kurang ajar. Mentang-mentang dia yang cari uang, udah nggak sopan sama aku. Padahal aku yang lebih tua."
Delia hanya bisa menghembuskan nafasnya perlahan, jika begini drama pasti akan segera di mulai.
"Delia... sebenarnya kamu itu kenapa selalu membuat ulah di rumah!" Eva kesal terhadap Delia. Tentu saja ucapan putranya yang akan ia percayai.
Benarkan!
"Ibu, aku hanya menyuruh untuk kerja agar bisa membantu memberi uang pada ibu. Apa aku salah? Bagaimana nanti jika aku kuliah? Pasti juga akan butuh biaya untuk keperluan lainnya." Delia menjelaskan.
"Kuliah?" Eva rasanya tidak salah dengarkan.
Delia mengangguk, mungkin kabar tentang beasiswa ke Universitas akan membuat pandangan Eva terhadapnya berubah. "Tadi kata guru, Delia akan mendapatkan beasiswa ke Universitas jika nilai Delia stabil." ujarnya sembari tersenyum.
Dan di tampak tersenyum miring mendengar itu, tidak jauh berbeda dengan Eva.
"Delia kamu itu perempuan, untuk apa pendidikan tinggi jika ujung-ujungnya hanya berdiam diri di rumah. Masak, ngurus anak sama rumah." Eva mencibir. "Lebih baik setelah lulus kamu cari kerja tambahan selain di bengkel, agar hidup kita lebih enak." lanjutnya
"Sudah, jangan berisik. Ibu mau lanjut tidur lagi." Setelah mengatakan yang menghancurkan hati Delia, Eva pergi begitu saja ke kamarnya.
"Tuh... dengerin." Dandi tersenyum sinis, ia lalu pergi dari rumah.
Delia menyentuh dadanya, kenapa rasanya udara di sekitarnya menghilang hingga membuat dadanya begitu sesak.
"Ingat Delia, selama ini kamu sudah berjuang untuk mewujudkan mimpi. Jadi jangan goyah karena ucapan yang tidak penting itu." Delia menyemangati dirinya.
...----------------...
...Untuk yang tanya, Kapan ketemunya Delia sama Ariel?...
...Tenang aja, nanti pasti ketemu. Aku buat alurnya memang sedikit halus guys biar nggak grasak grusuk. ...
...Seperti biasa, jangan lupa dukungannya 🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Puspita Dewi
bosen.. klo tiap hari Della seputar rumah dan berantem trus sm ibu tiri
udah kyk cerita bawang merah
buat lah Della keluar dari rumah hidup mandiri.. biar benalu itu tau rasa
2023-03-17
0
Yanti Umi Nida
terserah thor aku ikut aja
2023-03-09
1
Elizabeth Zulfa
ini 2 orang tuh kpn sakaratul mautnya sih Thor... biar g ganggu Delia terus 😡😡
2023-03-09
1