Chapter 19 - Hantu dari Kristoff

*PoV Norman*

"NORMAN!!!" ucap wanita itu.

Tep! Tep! Tep!

Gadis itu berlari kegirangan ke arahku dan Ayah sebelum kemudian mendekapku layaknya sebuah boneka.

Membuat dadaku menyentuh bagian tubuhnya yang benar-benar meyakinkanku kalau dia ini memang benar perempuan.

"Whoa! Oke, bisa tolong lepaskan pelukanmu ini? Aku mulai sesak nafas disini..." kataku.

Wanita itu menggelengkan kepalanya, dan masih mendekapku. Aku tak bercanda, aku mulai sesak nafas karena dekapan itu.

"Victoria..." tegur pamannya.

"Kalau aku melepaskan Norman," Victoria menatapku dengan tajam dengan seringai seakan siap membunuhku kalau aku melawannya. "Dia akan pergi jauh meninggalkanku lagi."

Gadis pirang satu ini ada-ada saja. Aku baru berpisah dengannya kurang lebih selama tiga hari, namun ia bersikap seolah aku tidak bertemu dengannya selama tiga tahun lebih lamanya.

"Tidak akan kok, percayalah." sanggahku.

"Bohong."

"Aku serius, memang sejak kapan aku bohong?"

"Norman selalu saja berbohong."

Gadis ini benar-benar tak mau melepaskanku dari pelukannya atau bagaimana sih? Dadaku mulai sakit kekurangan udara segar di sini.

"Sedang apa Anda di sini, Tn. Alexander?" Paman Victoria bertanya pada Ayahku.

Ayah berdehem sebentar sebelum berkata "Aku hanya ingin melihat-lihat apa kabar para warga desaku semenjak penyerangan tiga hari lalu."

Victoria mendadak melepaskan pelukannya, sepertinya gadis ini juga sadar kalau pembicaraannya mulai serius.

"Huft, kebanyakan bernasib sangat buruk. Kebanyakan bernasib jadi budak, adapun yang jadi gelandangan, ada juga yang jadi pekerja s-"

"Oke, aku mengerti Tn. Alexander." potong Pamannya Victoria sebelum ayahku melanjutkan ucapannya.

Ayahku menghembuskan nafas dengan berat. Ia nampak ingin mengeluh, dan benar saja...

"Aku tak percaya Wheatville benar-benar diserang saat aku sama sekali tidak ada di sana. Hadeh, Kepala Desa macam apa aku ini? Payah sekali." Ayahku menyentuh dahinya.

"Jangan salahkan dirimu sendiri, Tn. Alexander. Tak ada satupun dari kita yang menginginkan kejadian ini terjadi." Paman Victoria mencoba menghiburnya.

"Begitukah? Mungkin kau benar, Tn. Hendrickson." kata Ayahku sebelum pandangannya tertuju ke suatu objek.

Semangkuk sup dan sepotong roti yang sudah dihinggapi lalat, tepat di hadapan sebuah pintu kayu yang dicat berwarna cokelat.

"Siapa yang ada dibalik pintu itu?" tanya Ayahku.

Tn. Hendrickson meliriknya dengan tatapan yang rasanya nampak sedih, begitu pula dengan keponakannya di depanku ini. Siapapun itu pasti membuat mereka khawatir.

"Christopher." jawab Victoria.

APA?! CHRISTOPHER DIA BILANG?! SI KRISTOFF SIALAN ITU MASIH HIDUP?! SYUKURLAH!

Huft, jujur saja. Saat kabar penyerangan Wheatville tiga hari lalu sampai ke telingaku, aku benar-benar terpukul. Mengapa begitu? Karena aku pikir aku akan kehilangan kedua sahabatku ini.

Namun, saat tadi pagi Ayah berencana mengunjungi kediaman Tn. Hendrickson, aku bisa sedikit lebih lega karena Victoria selamat.

Karena itu, tentu saja saat aku mendengar ucapan Victoria kalau Kristoff masih hidup. Aku langsung tersenyum lebar sambil bergegas lari ke pintu kamarnya.

"Hei, Kristoff! Ini Norman! Puji Jiwa Pensylon kau selamat. Kukira awalnya kau sudah mati, kawan!" seruku padanya.

Aneh sekali.

Kristoff sama sekali tidak menjawab ucapanku. Tadinya kupikir kalau dia akan langsung keluar kamarnya dan memelukku sama seperti Victoria barusan.

Tapi satu-satunya jawaban yang kudapat darinya hanyalah kesunyian selama beberapa detik. Apa yang terjadi pada anak ini?

Tok! Tok!

Paman Victoria mengetuk pintu cokelat itu dan berucap "Christopher, ada Norman dan juga Ayahnya di sini. Apa kau tak mau menyapa mereka?"

"Tinggalkan aku sendiri."

Astaga naga, apa yang terjadi padamu, kawan? Suara itu memanglah suara Kristoff, namun dari nada suaranya rasanya ini bukan Kristoff yang aku kenal.

Kristoff biasanya kekanak-kanakan, naif, dan juga sungguh imajinatif, yang jelas nada suaranya sering berubah-ubah.

Karenanya aku sama sekali tak percaya kalau pria yang nada suaranya datar yang ada di balik pintu ini benar-benar Kristoff.

Apakah dia masih marah padaku karena aku meninggalkannya waktu itu?

Atau ini ada kaitannya dengan penyerangan kemarin?

Atau malah keduanya?

"Christopher, nak. Aku datang untuk menjengukmu, bisakah aku masuk?" ucap Ayahku.

"Kubilang, TINGGALKAN AKU SENDIRI!" bentaknya.

"Hei Kristoff, kau ini kenapa?" aku memberanikan diri bertanya.

Pertanyaan yang merupakan kesalahan besar, karena aku tak menyangka bahwa jawaban yang kuterima akan bernada amat sangat tinggi.

"SUDAH BERAPA KALI KUKATAKAN PADAMU, NORMAN?! NAMAKU BUKAN KRISTOFF!!! NAMAKU ADALAH CHRISTOPHER HAMILTON!!!"

Setelah teriakan itu, seisi bangunan sunyi selama beberapa detik sebelum aku bisa mendengarnya. Suara isak tangis dari balik pintu ini.

Kristoff mulai menangis, sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehku sedikitpun. Dia memang kekanak-kanakan, dia juga cukup sering menangis menurutku.

Namun yang satu ini berbeda.

Tangisannya tak sama seperti saat ia kujahili dengan membawa kabur Spirit dan menyembunyikannya di lumbung Keluarga Rivers.

Bukan pula tangisan saat aku dan Victoria menertawakannya dan meledeknya saat ia terjatuh dari kuda untuk pertama kalinya.

Tangisan ini, rasanya benar-benar jauh lebih menyakitkan untuk kudengar.

"Hiks... Christopher... Hiks... Hamilton..." suaranya tak jelas karena diselingi isak tangis setiap beberapa saat.

"Norman."

Victoria memanggilku, kepalanya bergerak ke bagian dapur rumah ini. Aku paham maksudnya, kurang lebih...

"Ada yang harus ku bicarakan padamu, tapi di dapur saja ya?"

...----------------...

"Demi Jiwa Pensylon..."

Itulah reaksiku setelah Victoria menjelaskan padaku soal apa yang telah terjadi pada Kristoff.

Itu benar-benar kejam, terutama untuk seorang anak empat belas tahun seperti dirinya. Kehilangan keluarga dan rumah dalam satu malam dengan cara yang keji begitu, kawanku yang malang.

Maksudku, Victoria bahkan melihat juga apa yang telah terjadi pada Tn. Hamilton. Membayangkannya saja aku merasa pilu sampai hampir menangis, apalagi melihatnya sendiri.

Jujur saja, setelah Victoria menceritakan tentang itu, aku jadi ikut merasa bersalah karena telah meninggalkan Kristoff dan Victoria sehari sebelumnya.

"Saat aku menemukannya, kondisinya sangat buruk. Di bahunya terdapat sebuah luka tusuk, dan juga seluruh wajahnya tertutupi darah bercampur cairan putih yang baunya sama.

Selain itu, dia juga sempat meracau padaku soal sebuah lambang aneh dan bersumpah akan membunuh siapapun yang memiliki lambang itu. Kasihan sekali dia."

"Astaga naga..." kataku.

"Semenjak hari itu, dia untuk sementara tinggal bersamaku dan Paman. Tapi selama tiga hari ini, dia tak pernah keluar dari kamarnya kecuali saat dia ingin buang air.

Christopher sangat jarang minum, apalagi makan. Kau sendiri melihat makanan basi yang tadi di depan pintu kamarnya bukan?"

Aku tak bisa lagi berucap. Mataku mulai berkaca-kaca mendengarnya, membayangkan bertapa pedihnya itu semua bagi temanku satu itu sampai-sampai dia jadi seperti ini.

"Oh, Pensylon. Apa yang telah dia perbuat sampai kau membuat nasibnya jadi seperti itu..." ucap Victoria.

Tep. Tep. Tep.

Paman Victoria datang pada kami, ia berjalan dengan pelan seakan tak mau membuat suara.

"Ada apa, Paman?" tanya Victoria.

Ia menggunakan tangannya untuk mengisyaratkan pada kami untuk mendekatinya, sebelum saat kami telah dekat kemudian dia berbisik pelan...

"Christopher sudah membuka pintu kamarnya..."

Kalimat itu hanya berisi lima kata, namun kelima kata itu sudah cukup untuk membuatku dan Victoria bergegas ke lokasi pintu kamar Kristoff berada.

Tentunya dengan berhati-hati untuk tidak membuat suara apapun karena Paman Victoria menyuruh kami untuk tidak berisik.

Pintunya benar-benar telah terbuka. Sup dan roti basi di depan pintu itu sendiri sudah tidak ada (sudah dibuang mungkin?), hanya ada Ayahku di sana melihat ke arah dalam kamar dengan tatapan terkejut.

Begitu aku dan Victoria melihatnya, kami berdua juga sama terkejutnya dengan Ayahku. Mengapa begitu? Ada kurang lebih tiga alasan.

Pertama, kamar Kristoff benar-benar berantakan. Saking berantakannya, aku tak bisa membedakan mana yang kasur dan mana yang bukan. Benar-benar seperti kapal pecah (kata buku kakeknya sih begitu).

Kedua, di dinding kamar itu terdapat banyak sekali coretan dari tinta. Membentuk suatu gambar aneh yang mirip seperti huruf "S".

Kurasa inilah lambang aneh yang dimaksud Victoria sebelumnya. Seperti Kristoff benar-benar terobsesi dengan lambang S ini karena mereka ada di mana-mana di kamarnya.

Ketiga, warna rambutnya berubah. WARNA RAMBUTNYA BERUBAH. Sihir apakah ini sebenarnya?

Bagaimana bisa Kristoff yang awalnya memiliki rambut berwarna hitam legam layaknya Spirit, sekarang berambut putih seputih uban seorang lansia?

Tapi lupakan soal itu, aku hanya terfokus pada Kristoff yang tengah berdiri melamun melirik pemandangan luar jendela yang sebenarnya tertutupi dinding kota Muson (kediaman Victoria berada di daerah pinggiran kota)

Di bahunya terdapat perban yang Victoria bilang sempat diberikan oleh Pamannya pada Kristoff. Aku yakin perban itu benar-benar harus diganti karena seingatku warna perban yang masih baik kondisinya itu bukanlah merah pekat.

Wajahnya juga membuatku pilu. Di tepi matanya aku bisa melihat jejak air mata, pastinya karena dia sering menangis.

Selain itu, tatapannya kosong, rahangnya gemetar kecil, dan badannya benar-benar lemah lesu. Rasanya yang ada di depanku itu bukan Kristoff yang nyata, tapi hantu dari Kristoff.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!