BUG!
"Aduh!" rintih Norman setelah kepalanya kupukul.
Kenapa aku memukulnya? Sederhana saja, karena orang ini mencetuskan ide yang amat sinting. Yaitu....
"BALAPAN KUDA?! Kau sudah gila?! Apa kau tidak ingat apa yang terjadi saat terakhir kali kau balapan kuda?!" protesku pada anak berpakaian ungu itu.
Memangnya kenapa aku menghardik Norman setelah dia punya ide untuk mengadakan balapan kuda? Sederhana saja, karena anak itu celaka saat terakhir kali dia balapan.
Pada saat itu, aku jadi wasit karena aku tak mau balapan sebab selalu kalah baik melawan Victoria maupun Norman. Ditambah, Spirit sedang dipinjam Norman.
Kenapa bisa begitu? Victoria. Walaupun gadis pirang itu tahu cara mengendarai kuda, ia tak punya satupun. Selama ini dia selalu kemari membonceng ke Snow, kudanya Norman.
Waktu balapan, Victoria memimpin di depan. Karena tak mau kalah, Norman dengan nekat melalui jalan pintas yang sangat berbahaya untuk dilalui.
Ya, kurasa tak kuberi tahu pun sudah jelas akhirnya bagaimana.
KRAK!
Aku masih ingat suara kencang itu, bercampur dengan jeritan Norman yang meringis sambil memegang tangan kirinya yang tiba-tiba saja punya 2 siku.
Dan percayalah, itu bahkan bukan cedera Norman yang paling parah.
Meski demikian, luka dan cedera Norman saat itu membuat orang tuaku, Tn. Alexander, dan pamannya Victoria sama-sama melarang kami balapan kuda untuk selamanya bahkan tanpa berdiskusi sekalipun.
Memang sih, anak-anak seperti kami seharusnya belum diperbolehkan naik kuda secara bebas. Maksudku, barusan saja aku hampir saja menabrak sekerumunan warga karena kurang hati-hati, bukan?
Kenapa Norman harus dirasuki oleh kebodohan sampai punya pikiran secerdas- maksudku segila ini?
Yang lebih menjengkelkannya lagi, orang ini meminta diriku untuk jadi lawannya.
Padahal baru saja Ayah melarangku untuk balapan kuda.
Dan juga, aku jengkel karena selalu kalah melawannya. Dari lima belas kali kami balapan kuda, lima belas kali pula aku makan debunya.
"Ayolah, Kristoff. Itu kan sudah lama sekali. Lagipula, ini kan hari terakhir kita bersama." bujuknya.
Usaha bagus, Norman. Sayangnya aku tidak akan berubah pikiran karena alasan murahan seperti itu. Selain itu, namaku bukan Kristoff.
Mungkin kecuali kalau kau mau menghibahkan Snow padaku setelahnya. Lagipula sudah lama sekali aku ingin punya kuda putih. Tunggu dulu, apa yang kubicarakan?
"Otakmu itu baru saja kau gadaikan ke toko peralatan tani, kah?! Kita kan dilarang balapan kuda! Kalau kita ketahuan, bisa-bisa aku kena damprat orang tuaku nanti!
Lagipula kau tahu sendiri kalau aku ini payah dalam balapan kuda, bukan?!" cercaku padanya.
Tiba-tiba, dari dahan pohon...
"Christopher." Victoria memanggilku.
Aku menyahutnya, namun bukan hanya aku yang melihatnya. Norman juga secara tak sadar memutar kepalanya ke arah gadis berpakaian hijau itu.
"Ya?" tanyaku.
"Lakukan saja." ucapnya.
"Hah?"
"Balapan kuda saja sana dengan Norman..."
Hah?! Bahkan Victoria sekalipun sepakat akan ide gila ini?! Victoria yang nalarnya seringkali ia gunakan untuk melawan ide gila Norman, justru setuju dengannya?! Apakah semesta sedang bercanda?!
"BAHKAN KAU JUGA?! VICTORIA?! KENAPA BUKAN KAU SAJA?!" sergahku.
Tak tergambarkan betapa dongkolnya aku pada Victoria yang malah membela Norman dalam kasus ini.
Yang lebih menjengkelkannya lagi, aku bisa mendengar sorakan Norman tepat di depan daun telingaku yang senang karena rencananya disetujui.
Sepertinya semua makhluk di dunia ini benar-benar ingin membuatku tak bisa mendengar.
"Lakukan saja, Kristoff. Lagipula ini kan kali terakhir kita akan bermain bersama Norman..." dalih gadis rambut pirang itu.
Bukan itu masalahnya, Victor- Tunggu, dia memanggilku KRISTOFF?! Kurang ajar!
Mungkin jika Norman yang mengatakannya aku tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi Victoria juga mengatakannya?! Brengsek.
"Namaku Christopher!" hardikku pada gadis itu.
"Ya, terserah kau saja, Kristoff."
...----------------...
Jika orang-orang datang ke hutan ini, mereka tidak akan menyadari bahwa di sini terdapat sebuah keajaiban (atau tepatnya keanehan) yang selalu membuatku terpukau dan terheran-heran.
Yakni terdapat dua pohon berbeda yang berbagi satu dahan yang sama. Dahan menyatu itu sering juga berperan sebagai jembatan antar pohon bagi para hewan yang tinggal di atas pohon seperti tupai, bajing, atau bahkan ular.
Yang paling kuingat dari dahan menyatu itu adalah fakta bahwa Norman pernah jatuh dari kudanya akibat kepalanya membentur dahan itu saat ia bodohnya malah berdiri ketika naik kuda.
Beruntung setelah benturan itu, Norman tidak kehilangan sedikitpun akal bulusnya. Maksudku, benturan itu sangat keras sampai-sampai cap kepalanya masih nampak jelas di dahan itu.
Namun tak peduli berapa kali pun ia celaka dan cedera, Norman tidak pernah mau berhenti balapan kuda. Aku salut pada kegigihan anak ini, kegigihan yang sayangnya agak bodoh di mataku.
Yang jelas, saat ini. Aku dengan Norman tengah bersiap-siap dibawah dahan menyatu itu. Dahan yang semenjak ditemukan secara tak sengaja oleh Norman selalu dijadikan garis start untuk setiap balapan kuda yang kami adakan.
Tep. Tep. Tep.
Spirit dan Snow tengah berada di depan garis start, aku dan Norman pun sudah berada di atasnya. Walaupun sejujurnya aku tak mau melakukan ini, aku juga tak mau kalah.
Victoria berada tepat di antara kami berdua. Menggenggam batu hijau keramat kami.
Batu itu sebenarnya sama sekali tidak keramat, hanya saja batu itu sangat berarti bagi kami.
Batu hijau itu sesuai namanya, berwarna hijau. Diwarnai? Tidak, tetapi hijau karena telah ditutupi lumut sepenuhnya.
Aku tak tahu bagaimana bisa gadis ini menemukan batu itu, namun yang pasti batu itu sangat dapat diandalkan sebagai tanda mulainya balapan kami.
Tandanya sederhana saja, sang wasit (dalam kasus ini, Victoria) akan melemparkan batu itu dan setelah batu itu menyentuh tanah, aku dan Norman akan sesegera mungkin melesat menggunakan kuda kami dan balapan akan dimulai.
"Kalian siap?" tanya Victoria pada kami.
Ku anggukkan kepalaku, dan Norman menjawabnya dengan ibu jari yang mengacung ke atas.
"Baiklah, aku lempar ya... Hiyah!" ucap gadis itu seraya melempar batu berlumut itu.
Lemparan Victoria sungguh lemah, mengingat ia adalah seorang gadis. Oleh karena itu, aku dan Norman sebenarnya sudah siap untuk maju bahkan sejak Victoria bertanya apa kami sudah siap.
Namun kali ini, batu itu terlempar sangat tinggi. Sangat tinggi jika dahan menyatu itu tidak menghalangi jalannya menuju langit. Sialnya, batu itu memantul ke arah belakang.
Sehingga, aku dan Norman yang sudah fokus kedepan terpaksa melihat ke belakang untuk melihat apakah batu itu sudah menyentuh tanah atau belum.
Aku bisa melihatnya, batu itu semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat dengan tanah.
KLETEK! KLETEK!
Suara apa itu?
"Apa?" heranku kembali fokus ke depan melihat Norman sudah maju terlebih dahulu.
"HEI! KAU CURANG!" teriakku sambil ikut maju.
Sialan, anak satu ini benar-benar ahlinya dalam curang. Batunya bahkan belum menyentuh tanah, namun ia sudah maju begitu saja.
Yang paling membuatku kesal adalah Victoria yang sepertinya tidak berusaha menghentikannya. Membuat kecurangan itu nampak seperti hal yang wajar di matanya.
Brengsek, aku dicurangi seperti ini. Dalam tiga putaran selanjutnya, aku harus menyusul Norman. Aku tak mau kalah! Aku tak boleh kalah!
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments