Chapter 10 - Silinder Aneh

Hitam. Kemanapun aku melihat, kemanapun aku melirik. Atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang, semua arah yang kulihat. Semuanya hitam.

Satu-satunya hal yang kuingat sebelum aku kehilangan kesadaran seperti saat ini adalah sebuah sepakan seseorang gadis yang kencangnya sama seperti tendangan seekor kuda (aku bicara lewat pengalaman).

Tunggu, jangan-jangan... Ah sial, apakah aku sekarang buta seperti Tuan Plank? Pria paruh baya yang rumahnya cukup dekat dengan kediaman Victoria?

Bukan aku merendahkan orang tua itu, namun setidaknya Jiwa Pensylon memberinya waktu untuk melihat selama empat puluh tahun sebelum benar-benar merenggut pengelihatannya.

Hampir tiga kali lipat dari usiaku saat ini, namun nasib kami sama?

KRIET!!!

Demi Jiwa Pensylon!

Suara itu muncul tiba-tiba saja. Namun setidaknya, aku tahu kalau aku tidak tuli juga. Huft, Puji Jiwa Pensylon...

Tunggu, aku melihat cahaya! Syukurlah aku tidak but-

"Hei! Siapa kau?! Sedang apa kau duduk di sini?! Apa kau sedan-"

Siapa? Aku?

Aku hanya menyaksikan sebuah cahaya yang menyadarkanku kalau aku itu tidak buta, namun sedikit terhalang oleh air yang terlinang di mataku.

"Ssttt... Kecilkan suaramu, kumohon..." suara bisikan muncul dari balik kepalaku.

Bisikan itu membuatku berbalik badan. Masih agak buram, namun aku melihat adanya sesosok manusia yang sedang berjongkok di balik sesuatu seolah-olah tak ingin ketahuan.

Ah, nampaknya wanita itu tidak bicara denganku. Ia bicara pada orang yang ada di belakangku.

Namun, apakah itu berarti dia sama sekali tak sadar aku di sini? Biar kupikirkan sejenak...

SIAL! JANGAN-JANGAN AKU MAT-

BRAK!!

DEMI JIWA PENSYLON!

"DEMI JIWA PENSYLON!" sorak gadis itu.

Sialan, bunyi itu membuatku terkejut. Bunyinya seperti suara sebuah pintu yang didobrak, tapi bukan pintu biasa. Pintu yang terbuat dari kayu, dan juga berukuran lebih besar dari pintu biasa.

"Buka pintunya! Kami tahu kau ada di dalam sana!"

Pintu yang sama dengan pintu yang dibuka gadis itu tadi saat ia membuatku sadar kalau aku sama sekali tidak jadi buta.

Kriet!

Wanita itu membuka pintu kayu besar tersebut. Setelahnya, aku melihat tiga sosok yang berada tepat di hadapannya.

"Demi Jiwa Pensylon! Kalian hampir saja membuat jantungku copot! Siapa pula kalian ini?!"

"Mohon maaf karena telah merusak pintumu, nona... Tapi apakah kau melihat seorang pria brengsek yang masuk ke sini?"

Mereka, mencari pria tadi? Ah, aku paham sekarang. Jadi si pria itu adalah buronan. Lalu dia kabur ke sini. Aku penasaran kenapa pria itu dicari.

Bicara soal pria tadi, benar juga. Dimana ia sekarang?

Tep! Tep!

Nampaknya suara langkah kaki membuatku yakin bahwa gadis itu telah berjalan sedikit kemanapun arahnya.

Sial, sudah cukup lama aku membuka mataku namun pandanganku masih saja kabur.

"Selama aku berdiri di sini, satu-satunya orang brengsek yang kulihat hanyalah kalian semua yang telah merusak pintu yang telah susah payah keluarga ku buat dan pasang dengan usaha sendiri!" serunya dengan keras.

Gadis ini sungguh galak, kurang lebih sama seperti ibuku. Apa mungkin dia memang ibuku? Hmm, dipikir-pikir...

"Begitu kah? Maaf atas pintumu. Kami akan menggantinya."

"Bohong! Bahkan sejak-"

FWOOSH!!!

Whoa! Apa ini?!

Kenapa semuanya mendadak jadi gelap?! Apa aku benar-benar buta sekarang?! Aku juga tak lagi mendengar apapun atau siapapun!

APA AKU BENAR-BENAR BUTA DAN TULI SEKARANG?!

"Halo?! Ada orang di sana?!" teriakku.

Sialan, apa sekarang aku juga tuli?! Tapi kalau aku mendengar suaraku barusan, maka harusnya tidak.

"Hei! Siapapun! Apakah ada orang di sana?!"

"HALO?! HALO?!!"

...----------------...

Aku membuka kedua mataku dan setelah pandanganku terjebak di langit-langit tempat ku saat ini, hatiku sadar akan sesuatu.

"Hmm... Ah... Rupanya aku hanya bermimpi." pikirku saat sadar bahwa aku berada di atas kasur.

Kasur yang kurang lebih sama seperti di rumahku, sebuah tumpukan jerami yang diatasnya ditutupi oleh sebuah kain putih. Bedanya, di sini kasurnya lebih rapi dan merata.

Kemudian aku melirik sekitar tempatku berada saat ini. Ruangan ini sungguh familiar, seakan aku baru saja ada di sini kemarin.

Hmm, benar juga.

Ini kan rumahnya Victoria. Padahal aku kan benar-benar baru saja menginap di sini kemarin. Bodohnya aku.

"Christopher!"

Seketika perhatianku tertuju pada arah suara itu. Di sana (tepatnya di sebuah lorong panjang), seorang gadis berambut pirang sedang menatapku dengan khawatir.

Tak lama berselang, gadis itu bergerak ke arahku. Langkahnya cepat dan juga besar. Dalam dua langkah, wanita itu sudah setengah jalan ke arahku.

Tunggu, aku melihat ada sesuatu. Sebuah... Sapu? Terbaring di lantai, dan Victoria mendekatiku tanpa sadar sama seka- Sial! Dia akan-

"Hati-hati!"

Duk! BRUKK!!

Aw, dari suaranya saja aku bisa tahu kalau itu pasti sakit.

Welp, ya sudahlah. Setidaknya aku sudah berusaha untuk mengingatkannya, bukan?

Victoria terdiam di lantai tanah sejenak sambil mengusap-usap dahinya yang baru saja tergesek dengan tanah. Pasti sakit, tapi mau bagaimana lagi?

Sisi positifnya adalah, setidaknya lukanya saat ini tidak separah luka di dahiku.

"Aduh... Kepalaku" keluhnya.

Tak mau disalahkan, aku tentunya membela diri dengan berucap... "Aku sudah memperingatkanmu untuk hati-hati, kau tahu..."

Tak lama berselang, wanita itu membalikkan badannya dan kemudian duduk. Selagi ia melakukan semua itu, tangan kanannya tetap melekat di dahinya.

Dari ekspresi wajahnya saja sudah jelas tergambar bahwa Victoria tengah menahan rasa sakit.

Kasihan, aku pun menanyakan keadaannya. "Kau... Baik-baik saja?"

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, kau tahu. Kau baik-baik saja?" ia bertanya kembali.

Benar juga, aku yang terluka lebih parah di sini. Kenapa malah aku yang menanyakan keadaan Victori-

"AHHH! Sialan! Dahiku! Aduh..." umpatku.

Lebih sialnya lagi, sekujur badanku mendadak sakit di saat bersamaan. Sesakit apapun dahiku saat ini, tetap saja aku tidak bisa bergerak karena tak hanya dahiku yang sakit, tapi juga semua anggota badanku.

Kecuali tenggorokan, yang kurasa nantinya juga akan sakit karena teriakanku saat ini.

"Ah iya, sebentar!" dia panik.

Mendengar umpatanku, gadis itu buru-buru menempelkan tangannya pada luka di dahiku. Aku paham betul kalau niatnya baik.

Masalahnya, tangannya tak memiliki tanda kesabaran sama sekali untuk menyentuh dahiku sehingga ia melesat dengan cepat dan saat tangannya mengenai kulitku...

"ADOOHH!!" jeritku layaknya sebuah monster (jika mereka nyata).

Sakit sekali, rasanya seakan ditampar keras oleh realita, secara harfiah. Aku bahkan berani bersumpah Demi Jiwa Kesembilan Naga bahwa aku mendengar suara "PLAK!" sebelumnya.

"Aduh, maaf!" katanya.

Sungguh, Victoria. Kalau kau tanya aku, kau sebenarnya tidak perlu minta maaf. Asalkan kau lepas saja dahiku, itu saja sudah cukup kok. Sungguh.

"Lepaskan saja dahiku!" ucapku.

Tetap saja, telapak jarinya melekat di dahi ku. Bukannya melepaskan, Victoria malah menutup kedua matanya dan tersenyum kecil.

"Tenanglah, Kristoff..."

"Namaku Christop-"

Jari telunjuknya seketika melesat ke depan mulutku, dan mulutnya terbuka mengeluarkan desis layaknya ular... "Sshh... Tenang."

"Bagaimana aku bisa tenang kalau kau selalu me-"

"Tenang..."

Aku menyerah. Aku pasrahkan saja nasib dahi ku di tangan wanita satu ini. Apapun yang akan dia lakukan pada dahiku, aku tidak lagi peduli.

"Pejamkan kedua matamu..."

Kueratkan kedua kelopak mataku hingga bertemu. Oh, Pensylon... Apapun yang diinginkan gadis ini, buatlah hal itu berlalu secepat mungkin.

"Tarik nafas..."

Kutarik sebuah nafas panjang dari hidungku.

"Hembuskan."

Kubuang semua udara yang terkumpul di paru-paruku lewat mulut.

"Ingatlah akan segala dosa yang telah kau perbuat selama ini." perintahnya.

"Tapi aku tidak melakukan dosa apapun." bantahku.

"Tidak ada manusia yang benar-benar suci dari dosa, Christopher. Coba ingat lagi." ia semakin menekan.

Benar juga. Aku ingat sekarang.

Aku ingkar janji, pada kedua orang tuaku. Aku berjanji kalau aku tidak akan balapan kuda, namun tetap aku lakukan pada akhirnya.

Tidak hanya itu, aku juga ingkar janji pada kedua temanku. Aku berjanji kalau kami tidak akan menyakiti satu sama lain, tapi kemarin aku malah menghajar Norman.

Apakah luka di dahi ini adalah pembalasan dari Jiwa Pensylon untukku?

"Kau benar." kataku pelan.

"Kalau begitu, mintalah ampun pada Roh Pensylon. Setelahnya, mungkin setidaknya kau akan merasa lebih baik."

Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Victoria benar-benar taat pada kepercayaannya dengan Roh Pensylon.

Apapun yang terjadi baik padanya maupun pada orang lain, dia pasti percaya bahwa Roh Pensylon ada dibalik semua ini.

"Sudahkah kau memohon ampun?" tanyanya.

"Pensylon, ampuni dosaku." ujarku dalam hati.

Ku anggukkan kepalaku dengan pelan tanda sudah.

"Buka matamu sekarang." katanya.

Setelah ku buka kedua mataku. Mendadak semua pemandangan sekitarku berwarna sedikit lebih biru dari sebelumnya.

"Sudah merasa lebih baik?" Victoria tersenyum lembut.

Tunggu dulu. Dahi ku tidak lagi sakit! Bukan itu saja, bahkan seluruh tubuhku juga sudah merasa lebih baik! Bagaimana bisa ini terjadi?

"Bagaimana kau melakukannya?" tanyaku.

Gadis itu tersenyum kecil dan kemudian menatap ke arah lubang yang terbentuk di antara atap dan dinding rumahnya.

"Bukan aku, tapi Jiwa Pensylon yang melakukannya."

Begitu ya...

"Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kau jadi seperti ini?" gadis itu bertanya.

"Maksudmu?"

"Aku kembali ke tempat biasa sehabis perjalanan pulang kita, dan di sana kutemukan dirimu tidak sadarkan diri bersama Shadow."

Ah iya, aku habis mengejar dua orang perampok dan berakhir di hutan tempat kami bertiga biasa balapan kuda bersama dengan Shado-

Tunggu, Shadow? Sial! Jangan-jangan...

"Shadow?!" ucapku memastikan lagi.

"Kuda warna hitam bukan? Aku menemukanmu tidak sadarkan diri bersama salah satu kudamu yang berusaha membangunkan mu." jelasnya.

Brengsek! Kedua perampok sial itu pasti mengambil Spirit saat aku tidak sadar!

"Dimana kuda itu sekarang?!" tanyaku dengan lancang.

Victoria nampaknya terkejut karena dia sedikit mundur. Terutama setelah melihat aku yang awalnya sulit bergerak mendadak berdiri tepat di depannya.

"JAWAB AKU VICTORIA, AKU SERIUS!"

"Dia ada di dekat kanda-"

Belum selesai dia bicara, kakiku sudah melesat menuju pintu keluar.

Tidak hanya itu saja, aku sudah tidak melirik wajah gadis itu lagi bahkan saat dia masih sampai di kata "ada"

BRAK!

Kubuka pintu depan dengan keras dan meluncur langsung ke kandang ternak Victoria. Dari arah yang berlawanan, Paman Victoria tengah berjalan ke arahku.

"Christopher, kau bai-" Paman Victoria menyapaku.

Aku sama sekali tidak memedulikannya dan lanjut berlari. Aku benar-benar panik. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika ketakutanku benar-benar terjadi.

"Christopher?!" panggilnya.

Aku tetap berlari ke kandang ternak. Di ujung sana, aku melihat seekor kuda hitam yang terikat ke sebuah tiang.

Apakah itu Shadow? Atau Spirit? Demi Jiwa Pensylon, aku harap itu Spirit. Kedua perampok itu boleh mengambil kudaku yang mana saja, asalkan jangan Spirit.

Bukannya aku tidak peduli akan Shadow, namun Spirit itu benar-benar kuda kebanggaan keluarga Hamilton. Kalau sampai kuda itu diambil, aku bisa-bisa diusir dari rumah (Aku tidak bercanda).

Tep! Tep! Tep!

Aku akhirnya tiba di kuda itu. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menunduk. Melihat ke arah kaki belakangnya dan memeriksa apakah ada sesuatu diantara keduanya.

Saat aku melihat sebuah silinder aneh dan bukannya sebuah lubang, aku menghembuskan nafas panjang dan senang bukan kepalang.

"Fyuh... Puji Jiwa Pensylon kalau orang-orang itu tidak mengambilmu, Spirit."

Kudekap ia dengan kencang. Tersenyum lebar, hampir menangis. Dari belakang badanku, ada Paman Victoria yang baru saja berpapasan dennganku.

Pria tua itu berjalan ke arahku kemudian berucap...

"Kau beruntung keponakanku menemukanmu. Kalau tidak, aku tidak tahu lagi apakah kau bisa diselamatkan atau tidak. Saat itu keadaanmu benar-benar buruk, terutama kaki dan dahimu.

Kakimu itu untungnya tidak sampai patah. Walau begitu, seharusnya tidak boleh kau paksakan berjalan, apalagi berlari seperti ini. Bisa berlari seperti tadi saja sudah keajaiban dari Jiwa Pensylon.

Namun, dahimu itu. Singkatnya, kurasa itu akan jadi luka permanen. Kau akan hidup dengan luka itu di dahimu untuk selamanya."

Aku mendengarnya dengan jelas. Namun, aku sama sekali tidak peduli. Aku masih senang karena kuda yang kedua perampok ambil itu bukan Spirit.

"Victoria sudah mengabari kedua orang tuamu soal keadaanmu saat aku mengobatimu. Mereka akan menjemputmu tidak lama lagi. Jadi sebaiknya kau tunggu saja mereka kemari."

Selagi kata-kata bijak itu keluar dari mulut Paman Victoria, aku mendengar helaan nafas berat dari seseorang yang habis tunggang langgang berlari ke arah kami. Aku tahu siapa dia.

"Christopher..." panggilnya.

"Hmm?" sahutku dengan dengungan.

Aku sudah tahu apa yang ia pikirkan. Dia pasti marah setelah melihatku terluka parah seperti ini. Bukan hanya karena luka, tapi juga fakta bahwa aku gagal menghen-

"Hah... Hah... Hah... Puji Jiwa Pensylon kau baik-baik saja."

Tunggu, apa? Orang ini baru saja kehilangan 2 ekor kuda dan banyak sekali perlengkapan karena aku gagal menangkap pencurinya, dan dia malah mengkhawatirkanku? Apa ia bercanda?

Greb!

Pria itu menggenggam bahuku, dan kepala ku tanpa alasan sedikitpun malah memutar ke arahnya. Kulihat wajahnya. Tidak ada kebencian sama sekali. Hanya ada rasa khawatir, lega, dan sedih bercampur jadi satu.

Ayahku, ia tidak pernah membenciku.

"Ayo kita pulang, Christopher. Ibu dan yang lainnya sudah menunggumu." ujarnya.

Pandanganku seketika hitam tertutup kelopak mata dan mulutku melengkung layaknya sebuah mangkuk. Setelahnya, ku buka mataku dan berucap...

"Baiklah, Ayah."

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!