Chapter 12 - Lubang Palka

Sunyi sekali, suasana malam ini. Bulan sama sekali tidak tampak tertutupi awan, wajar saja karena sekarang sedang hujan sama seperti kemarin malam. Tak lupa dengan bau minyak yang masih saja tercium sejak pagi tadi.

Bedanya adalah, kali ini aku sedang berdiam diri di istal keluargaku yang pintunya masih agak rusak. Ditemani dengan beberapa tikus yang tak tahu dimana, namun aku tahu keberadaannya.

Di sebuah lahan dengan panjang sekitar enam langkah kaki dan lebar yang sama. Dengan lantai yang terbuat dari papan kayu dan ditutupi beberapa jerami.

Memeluk makhluk berkaki empat berwarna hitam di hadapanku, menangis, tersedu-sedu. Meratapi kepergiannya yang akan tiba saat sang mentari terbit nanti.

"Hiks... Maaf Spirit..." ucapku.

Ketika kupeluk kuda hitam itu, aku kembali mengingat segala hal yang telah kulakukan dengannya.

Mulai dari saat ia menendang seorang pencuri di pasar, saat dia mengamuk karena tak mau ku mandikan, hingga yang paling membekas, saat aku menungganginya untuk balapan kuda dengan teman-teman yang lain.

Tak kusangka, semua kenangan indah itu, akan ditukar dengan hanya 2000 graft saja esok hari nanti. Itupun kalau terjual, bagaimana jika tidak?

Aku tak bisa membayangkan bertapa kecilnya harga kuda ini mengingat ayahku sama sekali tidak berbakat dalam berdagang.

"Hiks... Norman, Victoria, apa yang harus kulakukan..."

Aku sendiri sejujurnya tahu kalau sia-sia saja mengatakan kalimat tersebut.

Maksudku, Victoria kurasa bahkan tidak lagi mau berteman denganku.

Norman? Tak perlu ditanyakan, aku malas mengulang jawaban yang sama...

"Christopher..."

Suara itu.

Kulirik pandanganku ke arah pintu istal yang rusak itu, mendapati seseorang yang tak asing sama sekali bagiku.

Sesosok pria yang meskipun umurnya sudah hampir kepala lima, namun badannya cukup segar bugar kekar untuk seseorang yang nyawanya nampak sudah semakin dekat dengan Jiwa Pensylon.

Kulirik ia sebentar saja, sebelum kembali menatap Spirit.

Masih dengan tatapan sama yang tak bisa kugambarkan. Ia tidak nampak marah, sedih, ataupun kecewa. Aku bahkan tak tahu apa yang ada di isi pikirannya.

"Pergilah, tidakkah Ayah lihat aku sedang bersedih?" jawabku mengusirnya.

Tep. Tep. Tep.

Bukannya pergi, pria tua itu berjalan mendekat. Masih dengan tatapan mengerikan itu.

"Bukankah sudah kubilang untuk pergi?! Pergilah!" seruku.

Greb!

Pria ini menggenggam bahuku. Seperti biasa, jika ia melakukan itu, tandanya ia ingin menasehatiku. Aku sendiri sudah siap dinasehati. Sudah kupikirkan ribuan petuah yang akan dia ucapkan padaku, dan sudah kupikirkan jutaan sanggahan yang akan kulontarkan padanya.

"Ada apa?!" tanyaku, siap untuk menjawabnya lagi jikalau dia-

"Kau baik-baik saja?"

Hah?

"Hah?"

Aku bingung, jujur. Dari sekian banyaknya kalimat yang kupikir akan keluar dari mulutnya, pertanyaan ini sama sekali tidak ada dalam benakku.

Ayahku memang sulit ditebak, kurasa inilah sebabnya Ibu bisa jatuh cinta dengan pria ini.

"Sungguh, kau baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi.

Seperti biasa, aku tak tahu apa isi pikiran pria tua ini. Sudah kujelaskan sebelumnya, jadi tak akan kuulangi lagi penjelasanku.

"I-iya..." jawabku gugup.

"Begitukah? Kau tak nampak baik-baik saja dengan air mata di matamu itu." Ayah menunjuk mataku.

Secara refleks, kuusap kedua mataku. Membiarkan pakaian lusuh di badan ini menyerap air yang ada di mataku. Ah, iya. Aku baru ingat kalau mengusap mata ketika sedang basah itu sedikit sakit.

"Aku serius, Ayah. Aku baik-baik saja kok!"

Aku tak percaya aku masih mengatakannya dengan aliran air mata yang mungkin sudah bisa membuat penuh sebuah mangkok.

Ayah sendiri tersenyum, dengan terkekeh kecil. Sebelum kemudian ia berkata "Kalau begitu, bisa jelaskan kenapa kau pukul meja kita sampai runtuh?"

Perkataan yang seketika membuatku terdiam. Terdiam karena aku sendiri tidak menyangka kalau meja reyot itu akan runtuh saat aku memukulnya.

Oke aku akui, meja kami amat jauh dari kata layak. Salah satu kakinya bahkan telah patah, sebelum Ibu dengan cerdasnya membuatnya menempel kembali bermodalkan putih telur saja.

Tak lupa juga meja itu sudah menjadi surga dunia bagi para rayap yang menggerogoti kayu bagian dalamnya. Kurang lebih sama seperti lemari kamarku, atau tepatnya semua perabotan di rumah ini yang terbuat dari kayu.

Kenapa kami tak beli yang baru? Sebenarnya kami memang mau menggantinya, kalau saja kami tidak dirampok tadi siang.

Sederhananya, karrna kami tak punya uang.

"Hmm?" Ayah masih menungguku menjawab pertanyaannya.

Andai saja ia tahu kalau aku sendiri tidak tahu kenapa aku melakukan hal bodoh itu. Atau dia memang sudah tahu?

Satu pertanyaan saja dari mulutnya, sudah cukup untuk membuatku menyesal akan perbuatanku barusan. Nada bicaranya tidak naik sedikitpun, bahkan bisa dibilang turun.

Pria ini benar-benar mengerikan.

"Tidak bisa menjawab, Christopher Hamilton?"

Aku mati kutu, terpaku di kaki, mulut terkunci, dadaku mulai sakit dipukuli dari dalam, air mengalir dari dahi.

Pria ini pasti marah padaku, sialnya caranya mengungkapkannya amat sangat membuat ngeri. Ketika ibu melampiaskan nya dengan teriakan, ayahku tetap tenang.

Ketenangannya itu yang justru membuatku merasa takut pada Ayah saat ia marah.

"Aku..." ucapku sebelum kembali terdiam.

Butuh waktu yang agak lama bagiku untuk menjawab pertanyaannya, sebelum pada akhirnya kuberanikan diri untuk menjawab:

"Spirit."

Ayah masih dengan tatapan yang sama, berbicara kembali...

"Biar kusimpulkan ini, kau memukul meja makan kita sampai hancur, merendahkan ibumu sendiri, dan mengacaukan makan malam keluarga kita, hanya karena Spirit?"

Hanya? Bahkan ayah juga berkata 'Hanya'?! Sudah cukup!

"HANYA KAU BIL-"

Hmph!

Ayah menutup mulutku, nampaknya ia sendiri sudah tahu aku akan mengatakan itu.

"Sudah kuduga." ucapnya.

Ia melepaskan bekapannya pada mulutku. Sebelum mulutnya sendiri kembali berucap.

"Kau takut akan kehilangan, bukan begitu? Christopher?" ucapnya.

Hah? Pria ini bicara apa?

"Hah?"

"Kau menangis tersedu-sedu sampai mengacaukan makan malam keluarga kita saat kau dengar kami akan menjual Spirit.

Sebelumnya kau juga melakukan balapan kuda sebagai harapan agar Norman tetap di Wheatville.

Terakhir, siapa yang bisa melupakan kesedihanmu saat Thunder mati?" jelasnya.

Ah ya, aku tak pernah lupa soal Thunder. Kuda yang sama berharganya dengan Spirit di mataku. Sayang sekali kuda itu harus mati dulu-dulu sekali karena penyakit.

"Semua kesedihanmu, dan semua hal yang kau lakukan selama itu, sudah cukup membuktikan bahwa kau memang takut akan kehilangan seseorang."

"Lantas kenapa kalau aku takut kehilangan? Bukannya itu manusiawi?"

"Memang, tetapi..." Ayah menurunkan tangannya dari bahuku. Kemudian ia mengayunkan kepalanya ke arah kanannya, seakan memberitahu

"Ikuti aku, Christopher."

Ketika kukira ia akan mengajakku ke luar Istal, ia malah terdiam di sudut bilik kuda Spirit.

"Apa yang kau lakukan, Ayah?" tanyaku.

Ayah menekuk kedua kakinya sampai ke posisi jongkok, dan ia mulai menyingkirkan jerami yang ada di tempat ia berjongkok.

Saat itulah aku baru menyadarinya. Lantai tempat Ayahku berjongkok ternyata menyembunyikan sesuatu.

Sebuah lubang palka, yang tertutupi oleh beberapa potong kayu yang membentuk sebuah segi empat.

"Kemarilah, Christopher." titah ayahku.

Aneh sekali, jiwaku sama sekali tidak mau mendekati pria itu. Namun entah kenapa kakiku bergerak dengan sendirinya ke arah tempat ia jongkok sekarang.

Kemudian setelah itu, aku tiba-tiba saja sudah berjongkok tepat di samping Ayahku. Bau keringat masih tercium dari badannya, bercampur dengan sedikit bau tanah (secara harfiah, bukan kiasan)

"Di balik lubang palka ini, akan muncul sesuatu yang suatu saat nanti kuharap bisa membuatmu mengerti..."

Kriet!

Ayah membuka kotak yang bisa kubilang pintu lubang palka itu. Di balik pintu kecil itu, mata kepalaku bisa melihat apa yang ada di dalamnya.

"Hah?"

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!