Chapter 13 - Kau Akan Tahu

Kriet!

Lubang palka itu telah terbuka. Seharusnya, dari cara ayah menyembunyikan tempat itu, di dalamnya ada sesuatu yang penting.

Namun, saat kulihat ke dalamnya. Yang kudapatkan hanyalah sebuah tanda tanya besar.

"Hah?"

"Kau melihatnya kan, Christopher?" Ayah bertanya.

"Sebentar, maksudmu..."

"Iya, ini." Telunjuknya mengarah ke sesuatu yang kulihat.

Jadi maksud ayah, ia menyembunyikan lubang palka ini dibalik jerami lantai milik Spirit, tak pernah memberitahu keluarga kami sedikitpun, dan juga berucap seolah sesuatu yang ia sembunyikan itu penting...

Hanya karena di balik lubang palka itu, adalah batu yang terukirkan lambang kerajaan Pensylon? Apa ia bercanda?

Aku bukan bermaksud merendahkan lambang kerajaan Pensylon, namun percayalah padaku. Mereka ada di mana-mana.

Sampai-sampai kemanapun kau pergi dari satu tempat ke tempat lain di kerajaan ini, kau akan melihatnya setidaknya sekali atau dua kali dalam perjalananmu.

Lalu ayahku dengan bangga menunjukkan kalau di bawah Istal reyot ini masih ada satu lagi lambang kerajaan Pensylon yang tersembunyi, sampai-sampai ia membuat lubang palka khusus untuk menyembunyikannya?

Seperti yang berulang kali aku katakan, aku tak pernah tahu apa yang ada di pikiran pria tua ini. Apakah ia mencurinya dari istana? Apakah dia mengukirnya sendiri? Atau malah itu memang kebetulan ada di sana?

"Itu kan lambang kerajaan Pensylon. Mereka ada di mana-mana, Ayah!" ucapku.

"Aku tahu itu." ucapnya tanpa melirik ke arahku sedikitpun.

Sambil kuarahkan kedua tanganku ke arah lambang itu, kutanyakan pada Ayah. "Lalu kenapa kau menunjukkan ini padaku?"

Ayah menepuk bahuku dengan tangan kirinya, tersenyum, dan membisikkan ke arah telingaku.

"Kelak di masa depan, kau akan tahu..."

KRIAT!!! Jeb!

Tak lama setelahnya, Ayah menutup pintu yang menutup lubang palka itu, dan ia berdiri dari posisi jongkoknya.

Saat Ayah berdiri, aku masih saja jongkok di sebelah posisinya sembari melihat ke arah lubang palka tadi. Melamun, dan mencoba mencerna apa yang baru saja ayah ucapkan padaku.

Posisiku saat itu, orang yang tak tahu apa-apa akan berpikir kalau aku itu mirip seperti seseorang yang sedang buang air besar. Celanaku yang kotor juga sama sekali tidak membantu.

"Pada dasarnya, Christopher..."

Lamunanku terhenti setelah Ayah mengucapkan kalimat-kalimatnya. Kalimat yang seakan menyihirku untuk mendengarkannya dengan seksama.

"Semua yang ada di sekitarmu, suatu saat nanti akan pergi meninggalkanmu. Beberapa bahkan tidak akan pernah kembali lagi.

Baik itu Ibu, atau Ayah, ataupun Chris, Christina, Christa, temanmu Norman dan juga Victoria, bahkan juga Spirit..."

Ayah mengusap kepala Spirit dengan lemah lembut, dan matanya tertuju pada kuda itu dengan senyuman kecil terukir.

"Tak hanya itu, semua yang akan kau temui di masa depan nanti, juga suatu saat akan pergi meninggalkanmu."

Pria kepala empat ini berhenti mengusap kepala hewan berkaki empat hitam di hadapanku. Kemudian memutar kepalanya ke arahku. Senyuman kecilnya masih tak hilang.

"Jadi Christopher, mungkin ini terkesan kejam, tapi..."

Greb!

Untuk yang ketiga kalinya malam ini, pergelangan tangan Ayah yang dinginnya seperti udara saat hujan turun berada di pundakku.

Pria itu kembali jongkok hanya untuk mengatakan ini...

"Kau harus belajar, untuk merelakan orang-orang di sekitarmu untuk pergi."

Maaf Ayah, aku tak bermaksud merendahkan atau melawan, tapi mau dilihat dari sudut pandang orang dengan otak udang pun ucapan itu sudah jelas lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan.

"Aku tahu kalau ucapan itu jauh lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan, Christopher. Tapi, saat kau bisa melakukannya. Kau akan terbebas dari penyakit hati yang sulit disembuhkan, dendam."

Tunggu, apa dia bisa membaca pikiranku? Bagaimana bisa jawabannya sama seperti yang ada di pikiranku? Juga dendam?

Apa hubungannya semua ini dengan dendam?

"Dendam? Apa hubungan semua ini dengan dendam?" tanyaku.

Lagi-lagi, Ayah mendekatkan mulutnya ke arah telingaku dan berucap...

"Kelak di masa depan, kau akan tahu..."

Setelah itu, ia berdiri kembali dan melangkahkan kedua kakinya untuk menjauh dariku, keluar dari Istal lewat pintu depan yang sesungguhnya masih agak rusak.

"Aku ingin kau mengingat satu hal, Christopher. Tidak ada dan tak akan pernah ada akhir bahagia, bagi seorang pendendam."

Kriet!

Ayah membuka pintu Istal yang memisahkan ruangan ini dengan udara luar. Udara luar begitu dingin karena hujan, dan aku bisa merasakan beberapa tetes air masuk ke dalam istal.

"Tunggu!" Kuangkat tanganku ke arahnya, dan Ayah membalikkan badannya untuk melihatku.

"Ada apa?"

Suaranya tidak sekeras barusan karena termakan oleh udara sekitar. Karenanya aku berdiri dan mendekat ke arahnya sedikit.

"Bisakah kau memberitahu ibu kalau aku akan tidur di sini? Dan juga aku minta maaf atas kejadian barusan?" tanyaku pada Ayah.

Ayah tersenyum kecil, dan juga ia menganggukan kepalanya sedikit.

"Akan kusampaikan, tapi sebelum itu. Ayah harus pergi ke sawah Tuan Clint terlebih dulu."

Hah? Sawah Tuan Clint? Itu jauh sekali! Itu dari satu ujung desa ke ujung yang lainnya!

"Untuk apa?" tanyaku.

"Orang-orangan sawahnya rusak lagi. Jadi dia menyuruhku memperbaikinya."

"Kenapa kau menerimanya?"

"Karena dia berjanji akan memberiku 15 graft jika aku selesai memperbaikinya."

Apa? 15 graft?! Ayahku harus pergi jalan kaki ke tempat itu di tengah hujan lebat seperti ini saat malam hanya untuk memperbaiki orang-orangan sawah, dan ia hanya dibayar 15 graft?! Tuan Clint benar-benar pelit!

"15 GRAFT?! ITU PERAMPOKAN NAMANYA!" seruku.

"Memang, tapi 15 graft itu sangat kita perlukan saat ini, Christopher."

JEB!

Ayah menutup pintu Istal dan aku sendirian lagi di ruangan ini bersama Spirit dan beberapa tikus yang mulai bisa kulihat keberadaannya.

"Hadeh..."

Tep. Tep. Tep.

Langkah kaki kuambil untuk menempuh jarak antara aku dan Spirit saat ini. Langkahku agak lemas, hatiku masih sedih, namun aku setidaknya sedikit lega karena aku sudah menyampaikan maafku pada Ibu lewat ayah.

Grusuk!

Setibanya aku di dekat Spirit, aku langsung melemparkan badanku sendiri ke sekumpulan tumpukan jerami dekat kuda hitam kesayanganku itu.

Kutarik nafas panjang, lalu ku hembuskan kembali nafas itu sebelum akhirnya aku mulai mengatakan "Hei Spirit..."

Kuda itu bersuara, menyahut panggilanku.

"Andai saja tadi kita bisa menangkap setidaknya satu perampok saja, kita tidak akan semelarat sekarang ini..."

Kutarik sebuah nafas panjang lagi sebelum kemudian menghembuskannya kembali.

Sejuk sekali, udara malam hari ketika hujan turun memang sangat sejuk. Benar-benar mengundang rasa kantuk.

Ditambah lagi dengan aroma minyak yang dari tadi mengganggu hidungku juga akhirnya sudah menghilang.

"Hehe, Selamat malam, Spirit..."

Kupejamkan kedua mataku, kubuat santai seisi badanku, dengan kepala yang menghadap ke arah Spirit, kutarik sebuah nafas panjang, dan menghembuskannya kembali.

Tarik, hembus...

Tarik, hembus...

...----------------...

Tarik, hembus...

Tarik, hembus...

"TOLONG!!!"

Apa?!

Kubuka kedua mataku, disertai dengan kotoran mata yang masih menempel di sisi kedua mataku. Tidak nyaman, sialan.

Tanpa berlama-lama sambil mengusap mata, aku bangkit dari posisi tidurku dan mencari tahu apa yang terjadi di luar sana. Namun, untuk berjaga-jaga...

"Hei, Spirit. Bangunlah!"

Kuda itu membuka matanya dan meringkik pelan. Huft, Puji Jiwa Pensylon. Baguslah dia langsung bangun, jaga-jaga kalau misalnya aku harus pergi secepat mungkin.

Ku lihat ke arah luar jendela, dan yang bisa kulakukan hanyalah menganga layaknya orang bodoh.

"Haaahhhh??"

Api menyala di mana-mana, sawah, tanah, rumah, hewan ternak, bahkan manusia pun ikut merasakan panasnya si jago merah.

Aku terdiam, mati kutu. Tak tahu harus bagaimana lagi. Tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak tahu apa pula nasibku nanti. Yang jelas, melihat ke luar saja rasanya aku sudah terdiam setengah mati.

BRUG!!!

"AAHHH!!!"

Deg!

Aku bergerak dengan spontan melontarkan diriku sendiri ke belakang, jantungku memukuli dadaku dengan kencang karena apa yang aku lihat di jendela barusan.

Apa yang terjadi di jendela barusan? Biar kujelaskan dengan sesederhana mungkin.

Aku melihat sebuah kepala, mendadak berada tepat di depan jendela itu. Lebih buruknya lagi, itu HANYA KEPALANYA. Aku sama sekali tidak ingat melihat badan pria malang itu.

BRUK! BRUK! BRUK!

"Hah?" ucapku sambil melirik ke arah pintu Istal yang sudah agak rusak itu.

"BUKA PINTUNYA! KAMI TAHU ADA ORANG DI DALAM SANA!"

Dari kejauhan, kutatap pintu Istal itu, dan aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hatiku yang sekarang sangat panik.

Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!