Hujan? Puji Jiwa Pensylon. Sekarang aku tak perlu khawatir soal wajahku yang masih berlumuran darah putih. Air hujan dengan sendirinya akan membasuh wajahku.
Tapi aku punya pertanyaan dalam diriku sendiri. Apakah darah orang tadi memang putih? Karena seingatku di buku kakek pernah diceritakan bahwa ada orang-orang yang memiliki darah putih.
Atau itu hanyalah bagaimana cara seorang pembunuh sepertiku mengalihkan perhatian agar tidak ada penyesalan? Dengan melihat warna darah di wajahku ini jadi seputih susu?
Apapun itu, aku bisa mencari jawabannya nanti. Sekarang aku harus secepatnya menemui ayahku. Saat aku tiba di sana, kuharap ia baik-baik saja. Atau kalau tidak sekalipun, kuharap setidaknya ia masih hidup.
...----------------...
"Sebentar, lagi..."
Kupegangi lengan kiriku yang masih memiliki luka tusuk akibat serangan barusan. Darah mengalir dari luka itu, terjatuh ke tanah tetes demi tetes.
Memberitahu musuh kalau aku lewat ke arah sini, karena itu aku harus bergerak benar-benar cepat, setidaknya lebih cepat dari orang-orang sinting itu. Namun tentunya itu tak mudah bagiku.
Kakiku benar-benar pegal. Tuan Hendrickson memang benar soal kakiku, aku belum boleh banyak berjalan atau berlari mengingat kakiku masih cedera akibat pengejaranku pada perampok tadi pagi.
Berjalan jauh ke sawah Tuan Clint sama sekali tidak membantu. Belum lagi ditambah fakta bahwa aku belum tentu bisa menemukan Ayah di sana.
Ah... Spirit, kemana kau saat aku benar-benar membutuhkan bantuanmu sekarang?
Huft. Sudahlah, sebentar lagi aku akan sampai juga. Sebenarnya sungguh sebuah keajaiban seorang anak empat belas tahun sepertiku bisa mengendap-endap dari satu ujung desa ke-
Deg.
Jantungku berhenti untuk sesaat. Pisau di tanganku jatuh dari tanganku begitu saja. Dadaku sakit, mataku terbuka lebar, keringat dingin mengalir di dahiku, disertai darah di lengan kiriku, aku terdiam begitu saja menyaksikan rumah itu.
Aku sudah lama tak ke rumah Keluarga Clint, terakhir kali aku kesini adalah sekitar tiga bulan lalu, atau empat?
Ah sial, aku lupa.
Namun percayalah, bahkan kurasa anak kecil umur 3 tahun saja pasti tahu kalau di rumah ini pasti terjadi sesuatu yang tidak beres sama sekali.
"Demi Jiwa Pensylon..."
Keluarga Clint bisa dibilang adalah salah satu keluarga yang cukup dihormati seluruh warga Wheatville. Bayangkan saja, sebagian besar dari lahan pertanian di desa ini dimiliki oleh keluarga itu.
Tentunya dengan begitu, kehidupan yang dimiliki Keluarga Clint adalah yang paling megah dibandingkan dengan warga lainnya.
Ketika kami masih menggunakan pakaian lusuh yang sudah robek, keluarga Clint sudah menggunakan pakaian yang bagus, disertai dengan perhiasan yang tak kalah cantiknya.
Tak perlu kita bahas soal rumahnya. Rumah itu sangat besar sampai-sampai ada tiga tingkat. Sekali lagi, TIGA tingkat. Dari ketinggian setinggi itu, mereka bisa melihatku, Norman, dan Victoria balapan kuda dengan jelas.
Walaupun rumah itu berbahan kurang lebih sama seperti mayoritas warga, namun tetap saja ukurannya yang luar biasa bisa membuat warga yang lain merasakan iri dan dengki.
Aku ingat saat aku ke sini berbulan-bulan lalu, mereka sedang membawa penemuan yang asing bagi warga desa ini. Cat! Mereka sedang mengecat tembok rumah mereka agar lebih kelihatan cantik.
Sulit dipercaya bahwa di tempat yang sama saat ini, satu-satunya yang kulihat di hadapanku hanyalah sebuah rumah raksasa yang telah roboh karena sebagian besar sudah dilahap api.
Ya, aku melihat Tuan dan Nyonya Clint dibawa oleh orang-orang tadi sih. Tapi aku tetap saja terkejut.
Sebenarnya siapa sih orang-orang ini?
Kenapa mereka datang menyerang kami?
Kenapa mereka membakar rumah-rumah kami?
Kenapa mereka mau mencabut nyawa kami?
...----------------...
"Demi Jiwa Pensylon..." ucapku.
Aku berdiri di sebuah tempat, tempat yang pada awalnya dipagari agar tidak ada anak-anak yang menerobos masuk ke sawah.
Bahkan, kalau tidak salah ada papan peringatannya juga dengan tulisan berwarna merah, benar-benar memaksa kami untuk tidak menerobos.
Sekarang jangankan pagar, melihat apa yang terjadi pada sawahnya saja membuatku berpikir dua kali sebelum masuk ke sana.
Beberapa bulan lalu, lapangan luas ini masih ditanami oleh bakal gandum. Tanamannya saja masih hijau saat itu.
Jika kuingat-ingat lagi, seharusnya beberapa hari dari sekarang gandum itu sudah bisa dipanen. Namun sepertinya Jiwa Pensylon punya rencana lain...
Sawah Tuan Clint yang dulunya penuh dengan tanaman, sekarang jadi gersang.
Tanaman yang ada di sawah yang awalnya hijau, sekarang jadi hitam disertai warna merah karena masih terbakar.
Tak lupa dengan dekorasi abu putih di beberapa tempat. Disertai asap yang baunya membuatku terbatuk batuk saat hanya sekedar menghirupnya.
Menyaksikan pemandangan mengerikan ini, aku sekarang bahkan tak yakin bisa menemukan ayahku di sini.
"Uhuk! Uhuk! Ayah?!" seruku terbatuk-batuk karena asap putih menusuk hidungku.
Apakah aku akan menemukan Ayah di sini?
Sekalipun aku bisa menemukannya, apakah dia akan baik-baik saja?
Sekalipun ia tidak baik-baik saja, apakah setidaknya ia masih hidup?
Dengan semua tanda tanya itu memenuhi tempurung otakku, aku dengan nekat memasuki lahan tersebut.
Apakah aku akan menyesali semua ini? Aku tak tahu, aku tak peduli.
Aku hanya ingin mencari ayahku.
...----------------...
Kedua kakiku sekarang benar-benar lemah, rasanya sulit sekali untuk sekedar menggerakkan mereka.
Pandangan mataku sudah benar-benar kabur, karena air hujan yang menusuk kedua mataku, disertai dengan air mata yang sejak aku pergi dari rumah pun tak pernah mau meninggalkan mataku.
Oh iya, mungkin juga aku mulai kehilangan kesadaran karena darah di lengan kiriku tak pernah berhenti mengalir.
"Ayah, kau di mana sih?!" gerutuku.
Mataku benar-benar hampir tertutup, kalau aku menutupkannya, aku akan kehilangan kesadaran. Rasanya sulit sekali melawannya, namun aku tak boleh menyerah!
"Aku tak boleh tertidur!" ucapku sebelum kembali membuka kedua mataku.
Blink.
Aku berkedip, dan... Apa yang- Apa yang aku lihat sekarang ini? Kenapa, aku malah menyaksikan kejadian yang sudah lama?
Aku ingat dulu saat umurku masih 7 tahun, ayahku kadang membawaku ikut ke ssini untu ermain-main denganku bermodalkan orang-orangan sawah.
Ia berpura-pura sebagai orang-orangan sawah, dan ia menunggu waktu yang tepat agar ia bisa mengejutkanku. Sialnya, aku selalu kena.
Aku ingat ia tertawa seraya berucap...
"Jangan pernah lengah, Christopher. Kalau kau lengah, kau bisa melewatkan banyak hal. Lalu ingatlah perkataanku saat ini..."
Saat itu aku membersihkan pakaianku yang kotor sedikit karena lumpur menempel di pakaianku.
"Di masa depan nanti, satu demi satu keluarga yang kau sayangi akan meninggalkanmu. Termasuk Ayah."
Tunggu, aku melihat sesuatu...
"Jadi, jika hari itu terjadi. Ayah harap kau bisa merelakan Ayah pergi, dan mengingat satu hal..."
Semakin jelas, semakin jelas...
"Jiwa Pensylon akan selalu melindungimu."
Ketemu.
Lututku seketika terlipat, membuat badanku terjatuh ke tanah dengan posisi duduk di atas kakiku sendiri. Sisa tenaga di tubuhku kugunakan untuk setidaknya tetap duduk.
Mulutku tersenyum kecil saat melihatnya berada tepat di hadapanku. Dengan lantang, kuteriakkan.
"AYAAAAAAAAHHHHHHHH!!!!!!"
Saat aku meneriakkan itu, air mataku tak lagi nyaman di mataku. Nafasku juga terganggu oleh air yang ada di hidungku. Aku menangis, tersedu sedan karena melihat keadaan ayahku.
Ayahku kutemukan tergantung di salah satu orang-orangan sawah. Diikatkan ke sana, tertancap 4 anak panah di seluruh badannya.
Sebuah garpu rumput tertusuk di bagian perutnya, dan kakinya hanya tinggal tulang. Telah terbakar sampai habis.
Masih ingat lambang aneh yang kulihat di baju zirah orang-orang yang tadi mencoba membunuhku? Aku melihat lambang yang sama, terukir dengan benda tajam di badan ayahku.
Matanya tertutup, kepalanya condong miring ke arah bawah kanan, mulutnya terbuka sedikit, giginya depannya patah, lidahnya menghilang.
Tidak bernyawa.
Sejak kulihat rumah tuan Clint yang nampaknya seperti Istana bagi warga sini, runtuh sisa abu. Sebenarnya aku sudah punya dugaan buruk.
Dugaan bahwa Ayahku, pasti sudah mati.
Karena itu setelah aku melihat kondisi rumah itu, justru aku berharap aku tak menemukannya di sini, karena dengan itu, aku masih bisa berharap kalau dia masih hidup dan berhasil kabur.
Tapi di sinilah aku, menangis keras. Berteriak menyuruh Ayah untuk kembali. Dengan lutut yang tertekuk dan lengan kiri yang lemah.
Diserbu oleh ribuan pasukan air hujan yang menyerang tubuhku, mengaburkan air mataku.
Kenapa? Kenapa ini semua harus terjadi?
Sebenarnya siapa orang-orang yang melakukan hal keji seperti ini? Lalu kenapa mereka melakukan ini semua? Kenapa harus aku yang menderita pada akhirnya?
Oh Pensylon, apa salahku sampai-sampai kau harus menjatuhkan takdir mengerikan ini padaku?
Apa lagi yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tak lagi bisa berjalan karena kakiku benar-benar sakit. Tak akan butuh waktu lama sampai seseorang menemukan-
GREB!
Seseorang menggenggam bahuku. Pasti salah satu dari orang-orang tadi. Sialan, pisauku tertinggal di depan rumah Keluarga Clint tadi...
"AAAAAAAAAAHHHHHHHH!!!!" teriakku.
"Hei, tenanglah!"
"JANGAN SAKITI AKU! KUMOHON PADAMU! JANGAN SAKITI AKU!! AKU SUDAH CUKUP MENDERITA!!!"
"Christopher..."
"KUMOHON PADAMU! AKU AKAN LAKUKAN APA SAJA! AKU TAK MAU MATI!!"
"KRISTOFF!!!"
PLAK!
Orang itu menampar wajahku. Aku mengenali tamparan wajah ini, ini seperti...
"Ini aku..." katanya.
Aku melihat seorang gadis seumuran denganku, rambutnya pirang dan matanya berwarna kuning layaknya bintang. Gadis itu berdiri tegap menatapku yang sedang terjatuh ke tanah.
"Victoria?" ucapku dengan suara yang agak tidak jelas karena habis menangis.
GREB!
Wanita pirang itu menggenggam lenganku, mengajakku berdiri. Jujur, kakiku masih sakit. Namun aku tak peduli.
"Ayo, kita harus cepat pergi dari sini..."
Victoria masih hidup? Tapi bukannya tadi pria putih itu bilang kalau semua wanita sudah-
"SPIRIT!!!" teriaknya.
Di ujung pandanganku, aku melihat sosok itu berlari ke arah kami berdua. Makhluk hitam berkaki empat yang selalu kubanggakan sebagai warisan kakekku. Rupanya Victoria menemukannya.
"Ayo, Christopher!" Victoria sembari menaikki Spirit dan mengajakku untuk duduk di belakangnya.
Aku menaikki kuda itu tanpa bicara sedikitpun.
"Majulah, Spirit!"
Spirit melaju dengan kencang, Victoria memegangi tali kekangnya sembari menatap ke depan agar ia bisa melihat jalan.
Sedangkan aku, hanya bisa melihat ke belakang. Melihat jasad ayahku yang masih tergantung di orang-orangan sawah. Selagi kami melaju, aku juga melihat sesuatu.
Sebuah papan kayu yang sebagiannya sudah terbakar, namun tulisan yang ada di dalamnya masih bisa kulihat cukup jelas. Papan itu bertuliskan...
......................
...DILARANG MENEROBOS!!!...
...JANGAN PERNAH MENEROBOS PAGAR INI, KAU TAHU KAU AKAN MENYESAL TELAH MELAKUKANNYA!!!...
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments