"Ch-Christina?"
Adikku yang satu itu berada di dalam tungku pembakaran. Sudah jelas badannya tak akan muat, namun dipaksakan masuk ke tempat itu.
Matanya tidak tertutup sempurna, ia tetap menatap kosong. Seperti tubuhnya yang sudah terpisah dari jiwanya.
Air mata di wajahku semakin banyak. Tangisanku tak terbendung. Udara panas api di sekitar juga sama sekali tidak membantu.
BRUK!!!
Atap rumahku runtuh, pasti akan menimpaku jika aku terlambat untuk menghindar beberapa saat saja.
Dug!
"Aduh!"
Kepalaku terbentur meja dapur saat menghindar barusan. Aku sama sekali tak menyangka kalau meja reyot ini keras juga jika kepalaku membenturnya.
Tring! Tring!
Apa itu?
Sebuah kepingan logam yang berwarna agak oranye. Benda yang tak pernah ibu izinkan untuk dipegang siapapun kecuali dirinya sendiri dan Ayah. Benda yang amat berbahaya.
Benda yang bisa kugunakan untuk membela diri dan pergi dari sini.
Csss...
Kugenggam benda itu dengan cepat tanpa ragu. Suara decisan tercipta dari benda panas itu yang membakar tangan kananku.
"Ah, sial!"
Tanpa ragu, kurobek sedikit pakaianku yang sudah robek ini, lalu kulilitkan pada pegangan benda itu agar aku bisa memegangnya.
Masih terasa panasnya, namun setidaknya kali ini aku sama sekali tidak merasakan sakit saat memegangnya.
BRUK!
Suara kencang kembali terdengar, namun kali ini berasal dari pintu depan. Seseorang telah masuk kemari, dan kurasa dia tahu aku ada di dalam sini.
"AKU TAHU KAU ADA DI DALAM, BOCAH TENGIK! KELUARLAH SEKARANG!!"
Dengan percaya diri aku berdiri dari tempat itu, dan menyaksikan sumber suara tersebut. Hanya untuk kembali duduk dan mencoba sembunyi.
Kenapa begitu? Sederhana saja, ternyata orang itu tak sendiri. Di belakangnya, ada lima sosok manusia kekar bersenjata yang tentunya akan membuat nyali anak umur empat belas tahun sepertiku hilang ditelan bumi.
Kenapa ada lima orang di rumahku?
Kenapa butuh lima orang mencariku?
Kenapa ada lima orang yang berusaha membunuhku?
"AHAH!! AKU MELIHATMU BARUSAN! AKAN KUBUNUH SEKARANG JUGA!"
Beginikah akhirnya? Apakah aku akan mati? Secepat ini? Aku bahkan belum mulai memikirkan rencana untuk Wheatville kedepannya.
Apakah aku akan mengecewakan teman-temanku? Apakah aku akan menyusul keluargaku? Apakah aku akan diingat hanya sebagai korban semua kegilaan ini?
Apakah aku akan mati? Kurasa iya.
Setidaknya, sebelum aku mati. Aku ingin kembali melihat langit yang sempat menjadi saksi janjiku dengan Norman dan Victoria. Sekarang, yang menghalangiku dari langit di luar sana hanyalah jendela kayu ini.
Tunggu dulu, jendela. Itu dia. Aku bisa kabur lewat jendel-
Tapi apa pula gunanya? Keluargaku sudah mati, Norman juga jauh dari sini, Victoria pun aku tak tahu nasibnya bagaimana.
Jikapun aku berhasil kabur dari situasi ini, lantas apa yang bisa kulakukan?
Kupejamkan kedua mataku, ditemani dengan suara api yang membara dan langkah kaki yang semakin kencang saja. Merenung untuk setidaknya beberapa saat terakhirku.
"Kelak di masa depan, kau akan tahu..."
Ayah! Itu dia!
Sedari tadi, aku sama sekali tidak melihat ayahku di rumah ini! Ia pasti tak ada di rumah saat kegilaan ini terjadi! Ayahku masih hidup! Pasti dia masih hidup! Aku harus mencarinya!
Maaf, tuan-tuan sinting yang mau membunuhku. Aku masih punya ayah yang harus kutemukan, dan aku akan mencarinya saat ini juga!
Tep! Tep! Tep! BRAK!
Dengan pisau di genggamanku, dan larian yang akan membuatku diomeli ibu jika ia masih hidup, aku berlari keluar lewat jendela rumah ini.
Grusuk!
Aku mendarat di rumput, bangkit dengan hati-hati karena aku memiliki benda tajam di genggamanku. Tidak lucu jika aku terluka atau bahkan mati karena tertusuk oleh senjataku sendiri bukan?
"Ayah, tunggu aku! Aku datang!" pikirku.
...----------------...
Kekacauan di rumah tadi nampaknya membuatku jadi incaran dalam pengejaran ini. Aku dapat merasakan kalau semakin aku jauh dari rumah itu...
Semakin banyak pula orang yang mengejarku saat ini.
"SPIRIT!" seruku.
Namun, seperti dugaanku. Kuda itu sama sekali tidak muncul di tempat. Ia pasti melihat orang-orang tadi dan mendengarkan ucapanku untuk kabur sesaat setelah ia melihat mereka.
Karenanya, tanpa ragu aku bersembunyi di setumpuk jerami. Tak lama berselang, orang-orang tadi mendekat.
"Ah, sialan! Kemana sih perginya anak itu?"
"Aku tak tahu! Tapi aku berani bertaruh kalau tadi aku melihatnya di sini!"
"Hei! Sedang apa kalian di sini?!"
"Kami menemukan seorang anak barusan, namun ia kabur dan dia sepertinya ada di-"
"Kita tak punya waktu untuk mencari anak itu, Tuan Ace menyuruh kita untuk mengosongkan tempat ini secepatnya."
Tuan Ace? Siapa dia? Entah kenapa walaupun aku sudah pernah mendengar seseorang dengan nama itu di Pensylon, rasanya agak asing saja di telinga seakan-akan...
Siapapun Ace yang dimaksud ini, dia tidak berasal dari Pensylon.
"Lalu bagaimana dengan anaknya?"
"Lupakan saja soal anak itu! Cari saja yang ada!"
Orang-orang itu pergi, beruntung mereka sama sekali tidak berpikiran untuk membakar tumpukan jerami ini. Karena jika begitu, aku sudah pasti akan senasib dengan Chris.
Ah, Chris. Adikku yang malang...
"Spirit sudah kabur, aku juga tak melihat adanya warga lain di sekitar. Sepertinya kali ini aku benar-benar sendirian di sini." ucapku pelan sambil keluar dari jerami dengan hati-hati.
Aku sendirian melawan segala marabahaya yang bersiap mengirimkanku pada Jiwa Pensylon di tempat ini. Dengan sebuah tujuan yang sangat jauh, namun harus kutempuh demi Ayahku.
Sawah Tuan Clint, tempat ia sedang memperbaiki orang-orangan sawahnya.
...----------------...
Demi Jiwa Pensylon, mereka semakin banyak saja! Ingin sekali kuhabisi mereka semua, namun apa dayaku?
Yang kumiliki saat ini hanyalah sebilah pisau yang kurasa sudah tumpul karena setiap kali ibu menggunakannya, kadang ia mengeluh karena pisaunya kurang tajam.
Mereka punya kapak, pedang, bahkan busur panah. Menghadapi mereka semua bermodalkan satu pisau tumpul secara langsung itu sama saja dengan bunuh diri.
Sudah sejauh ini aku mengendap-endap. Tak bisa kubiarkan mereka mengetahui letak keberadaanku.
"AYO CEPATLAH!"
Teriakan siapa itu?
Dari balik rumah yang sedang terbakar, kusaksikan orang-orang tadi menggiring beberapa warga Wheatville yang rata-rata dirantai dan ditodong senjata tajam.
Kemana mereka akan dibawa?
Maaf, aku tak bisa bersimpati akan hal itu. Aku harus memastikan dulu apakah diantara orang-orang itu ada ayahku atau tidak.
Tuan Miles, Tuan Rivers, Tuan McLaughlin, Tuan Phillips, Tuan Clint. Nyonya Rivers, Nyonya Lennon, Nyonya Bale, Nyonya Smith, Nyonya Clint, mereka semua mengangkat tangan mereka sambil berjalan sambil jongkok layaknya seekor bebek.
Tak ada Ayahku, syukurlah.
Namun aku harus kembali bergerak cepat, tak adanya Ayah diantara rombongan tadi memberiku sedikit harapan kalau ayahku masih hid-
BRUK!
"Aduh!"
Sial! Aku menabrak seseorang. Pisau ku terjatuh, namun saat aku ingin mengambilnya...
"Hmm?" Orang itu melirikku yang masih terjatuh memegangi dahiku yang sebenarnya masih sedikit sakit.
Pria itu tidak menggunakan baju zirah seperti yang lainnya. Namun ia terlihat sangat janggal.
Badannya putih, benar-benar putih. Rambutnya juga putih. Bahkan matanya pun berwarna putih. Seakan-akan, orang ini merupakan gambar sketsa manusia di kertas putih yang hidup ke dunia nyata.
"Wah wah wah, rupanya ada yang tertinggal."
Sial, rupanya dia adalah salah satu dari mereka yang ingin membunuhku!
GREB!
Orang itu mencekikku di tanah. Wajahnya mendekat ke arahku, dan ia berkata.
"Sungguh disayangkan kau itu anak laki-laki. Kalau saja kau itu perempuan, aku bisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan yang lain!"
Yang lain? Maksudmu? Semua perempuan yang ada di desa ini, apa yang mereka lakukan pada mereka? Maksudnya mereka semua telah mati? Lantas bagaimana dengan Victo-
JLEB!
"AAAAAAAAHHHHHHH!!!!!"
Pria itu menemukan pisau yang kujatuhkan barusan. Kemudian menusukkannya ke lengan kiriku. Karena tumpul, pisau itu malah membuatku merasa lebih sakit lagi.
BUG!
Ia menghajar wajahku, seketika membuatku berhenti berteriak. Setelah itu, ia kembali mencekik leherku.
"Teriakanmu kencang juga, nak. Sayang sekali teriakan tadi akan jadi teriakan terakhirmu."
Aku, tak bisa bernafas. Aku mencoba melawan, namun apa daya? Tangan kananku saja tidak cukup untuk menghentikan cekikan ini.
Lengan kiriku tertusuk oleh sebilah pisau, untuk sekedar menggerakannya saja sudah sulit.
Apakah ini akhir dari kisah kehidupanku? Aku bahkan belum setengah jalan ke rumah Tuan Clint. Aku hanya ingin tahu kabar ayahku setelah semua ini.
Oh Jiwa Pensylon, apakah itu terlalu sulit untuk diminta?
WWHHOOOOFFFFFHHH!!
Api kebakaran di sebelahku membesar. Nampaknya api itu mengenai wajah pria ini. Membuatnya melepaskan cekikannya padaku dan memegangi wajahnya dengan kedua tangannya.
"AAAAAHHHH!!!! API SIALAN!" umpatnya.
Ini dia, kesempatanku!
Kucabut pisau di lengan kiriku, dan kuteriakkan dengan kencang...
"MATI SANA KAU!!!"
JLEB!
Kutusuk ia tepat di dadanya.
"AAAAAAAAHHHHHHHH!!!!"
Pria itu berteriak, pisau ini sudah pasti membuatnya mati kalau saja tidak tumpul. Apakah aku berhenti? Tentu tidak. Kucabut pisau itu, dan setelahnya...
JLEB!
Kutusuk lagi ia, kali ini di perutnya.
"AAAHHHH!!!"
Rasakan itu. Aku belum selesai!
JLEB!
Lengan.
"Aaaah... Haa... Haa..."
Pria itu mulai menangis, menahan sakit yang ia rasakan. Namun tentunya, aku tak akan berhenti sampai di sana.
JLEB!
Kaki.
"KUMOHON HENTIKAN!!!"
Aku tak akan pernah berhenti.
JLEB!
Perut.
"AAAAAAAAHHHHHH!!!!"
Mati sana.
JLEB! JLEB! JLEB!
"Aahhh..."
Lenyaplah dari dunia ini.
JLEB! JLEB! JLEB!
"Haahh..."
Kenapa kau masih belum mati juga?!
JLEB! JLEB! JLEB!
"Hah... Hah... Hah..."
Dasar brengsek! MATI SAJA SANA!
JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB! JLEB!
Matilah! Matilah! Matilah! Matilah! Matilah! Matilah! Matilah! Matilah!
MATILAH KAU DASAR ANAK SETAN!!!
"Hah... Hah... Hah..."
Pria di depanku ini sudah mati. Ia tak lagi menjerit, memohon ampun, atau hal-hal lainnya yang membuatku tahu kalau dia masih hidup. Bernafas saja dia sudah tidak lagi sanggup.
Aku lelah. Sudah cukup sering aku menusuknya. Wajahku sendiri sudah terhalangi oleh cairan putih yang keluar dari tubuhnya.
"Cuh! Cairan apa ini, rasanya seperti..." ucapku memuntahkan cairan putih dari tubuh pria itu yang masuk ke mulutku.
Ketika aku melihat cairan putih, aku terpikirkan kalau rasanya akan seperti susu. Namun, saat kucoba rasanya seperti...
Darah?
Tunggu dulu, ini benar-benar darah? Kenapa segala hal yang dimiliki oleh orang ini berwarna putih?
Beginikah rasanya bagaimana orang yang membunuh orang lain melihat darah korbannya? Berwarna putih layaknya susu?
Tes. Tes. Tes.
Air mulai berjatuhan dari langit, setetes demi setetes. Hingga beberapa detik kemudian tetesan itu semakin banyak dan semakin banyak lagi setiap saatnya.
Sial, aku harus kembali bergegas. Hujan mulai turun, dan pria di hadapanku tentunya akan membuat rekannya yang lain curiga.
Yang jelas, aku harus pergi dari tempat ini. Melanjutkan perjalananku ke sawah Tuan Clint, ayahku menungguku datang ke sana.
Ayah, kumohon tunggu aku. Kumohon, jangan mati.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments