Chapter 11 - Graft

Mentari terbenam, langit di atas sana mulai berubah gelap. Awan yang tergantung di langit pun tak lagi nampak karena tertutupi gelapnya malam.

Sementara itu semua terjadi, aku terduduk di sini. Tak lupa, kudekap ayahku di depan yang sedang memegangi tali kekang kuda kami.

Khawatir akan jatuh ke belakang karena satu-satunya yang dapat menahanku hanyalah ekor Spirit yang sama sekali tidak bisa diandalkan karena pendek.

Benar, kami berdua sedang pulang ke rumah sambil menunggangi Spirit. Walaupun pelananya sendiri sebenarnya hanya cukup untuk satu orang saja.

Kami sebenarnya kasihan dengan kuda ini karena harus mengangkut beban dua orang, namun mau bagaimana lagi? Aku dan ayahku sama-sama memiliki alasan yang masuk akal kenapa kami berdua harus naik kuda hitam satu ini.

Ayahku itu sebenarnya memiliki masalah pada pernafasannya. Aku tidak tahu pasti bagaimana bisa hal itu terjadi, namun ibu pernah bilang kalau penyakit itu ada hubungannya dengan api.

Mungkin karena suatu kebakaran? Karena ia terlalu banyak menghirup asap?

Aku tidak tahu, namun satu hal yang jelas. Bisa berjalan dari rumahku ke rumah Victoria tanpa istirahat maupun pingsan sekali saja adalah suatu keajaiban bagi pria ini, apalagi berlari begitu.

Lalu aku sendiri?

Alasanku sendiri seharusnya sudah jelas. Pada dasarnya, Paman Victoria tidak bercanda saat mengatakan kalau kakiku seharusnya sama sekali tidak boleh digerakkan.

Sekarang, aku hanya bisa terdiam cemberut menahan sakit di kakiku yang rasanya seperti ditusuk sesuatu.

Tak hanya itu, harum minyak yang kucium sejak pagi pun malah semakin pekat baunya. Kurasa aku benar-benar sakit karena kehujanan kemarin malam.

...----------------...

Singkat cerita, kami berhasil pulang ke rumah. Sesuai dugaanku, wajah itu adalah yang pertama kali aku lihat di depan pagar.

Wajah ibu, kesedihan terlukis jelas dari matanya yang berair. Tatapannya kosong melihat ke arah Istal keluargaku yang pintunya terbuka lebar, salah satu bagiannya bahkan tergeletak di tanah.

Aku hanya bisa membayangkan bertapa sakitnya. Sakit ketika sesuatu yang kau dapatkan dengan banting tulang dan susah payah, tiba-tiba direbut begitu saja oleh orang lain.

Tak lama, ia pasti mendengar suara langkah kaki seekor kuda karena dia langsung menoleh ke arah Ayah dan aku yang sedang menunggangi Spirit. Air mata menetes dari sela kedua matanya.

"Christopher!" serunya sembari melangkah dengan cepat menuju kami.

Ayah turun dari Spirit, dan setelahnya mengangkatku turun hingga alas kakiku tahu rasanya berciuman dengan rumput.

"Ibu?" kataku.

Wanita itu dengan cepat berlutut dan kedua tangannya membalut badanku. Aku tertegun, pandanganku tetap lurus menuju istal yang atapnya sudah agak lapuk seperti lemari kamarku.

"Kau baik-baik saja, kan?!" sentaknya.

Ibuku khawatir padaku, aku bisa merasakannya. Lengannya kadang menyentuh dahi ku yang masih diperban. Sakit sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Aku tak mau ia khawatir.

"Iya." jawabku.

...----------------...

Cukup banyak waktu yang berselang semenjak aku dan Ayah tiba di rumah. Cukup banyak juga hal yang terjadi semenjak waktu yang sama.

Misalnya aku yang harus mandi karena barusan habis mengantar Victoria ke pasar menjual pupuk kandang.

Lalu Ayah yang harus pergi ke Istal untuk memperbaiki pintu depannya yang sebenarnya tak diperbaiki pun sejujurnya tidak ada bedanya.

Kemudian Ibu dan Christina yang sedang mempersiapkan makan malam keluarga. Terakhir ada Chris yang mengganggu Christa yang sedang tidur, setidaknya sebelum ibu menarik kupingnya.

...----------------...

Setelah waktu berselang cukup lama, Aku, Ayah, Ibu, dan ketiga adikku semuanya berkumpul di meja makan. Waktu makan malam sudah tiba.

Namun, berbeda dari makan malam biasanya yang selalu berisik dan penuh dengan gelak tawa, makan malam kali ini hanya diisi oleh suara jangkrik yang menemani.

"Roti lagi? Ibu sudah janji kalau hari ini kita akan makan yang lain!" Chris terkejut.

"Makan saja apa yang ada, Chris." Ayah berujar sebelum ia menggigit sepotong roti.

"Tapi ibu sudah janji!" kata Chris.

Christina menegur... "Makan saja, Kak Chris. Amm... Christa saja mau makan, loh."

"Tapi-"

"Sudah makan saja!" Ibu angkat bicara.

Akhirnya, Chris menyentuh roti itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Wajahnya nampak murung.

Sial, ini semua salahku.

Ibu nampak sangat murung. Wajahnya melukiskan ekspresi kebingungan dan kekhawatiran. Membuatku semakin tak tega untuk sekedar menoleh padanya.

"Apa yang harus kita lakukan, Carl?" tanya ibu pada ayah.

Ayah yang baru saja menghabiskan rotinya menoleh ke arah ibu dan bertanya...

"Apanya?"

"Sebentar lagi musim dingin, dan hampir semua harta dan persediaan makanan kita telah dicuri. Demi Jiwa Pensylon, kita harus bagaimana?" keluh ibu.

Ini semua salahku. Andai saja aku bisa menghentikan kedua perampok itu...

"Aku, sejujurnya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ayah angkat bicara.

"Hmm, kalau begitu terpaksa kita lakukan itu."

"Tunggu, Martha. Kau tidak-"

"Maaf." ucapku.

Semua orang di meja menatapku, dan juga menatap sepotong roti di piringku yang masih utuh, bahkan bisa kujamin sama sekali belum tersentuh.

"Kenapa kau minta maaf, Christopher?" tanya Ayah.

"Maaf karena aku gagal menghentikan kedua perampok itu. Kalau saja aku bisa, kita tidak akan jadi seperti ini..." jelasku dengan kepala yang tertunduk ke bawah karena tidak berani melihat mereka.

"Kau sama sekali tidak salah apa-apa, Christopher. Lanjutkan saja makanmu." Ibu bersuara kembali.

Karenanya, kutatap roti di hadapanku dan merobeknya sedikit sebelum akhirnya memakannya.

"Kita tidak punya pilihan lain, Carl." ibu melanjutkan pembicaraan.

"Ayolah, Martha. Itu adalah peninggalan ayahku."

Peninggalan kakek? Tunggu. Jangan-jangan...

"Carl. Kita harus menjual Spirit."

BRAK!!

Gebrakan mejaku membuat seisi rumah terkejut, bahkan Chris secara refleks berdiri dari bangkunya.

"APA?!" teriakku.

Aku pasti salah dengar, kan? Tak mungkin ibu berpikiran untuk-

"Maaf, Christopher. Kita harus menjual Spirit. Hanya itu satu-satunya cara yang kita miliki kalau mau bertahan di musim dingin nanti." ucap Ibu.

Tidak, tidak bisa!

"Tapi, kenapa?!" tanyaku.

"Aku sudah bilang, itulah satu-satunya cara kita bertahan di musim dingin nanti!"

Aku bisa merasakan kekesalan ibu karena harus mengulang ucapan yang sama, baik dari wajahnya maupun nada bicaranya.

"Apa yang membuat ibu berpikir kalau menjual Spirit akan membuat kita bisa bertahan di musim dingin?!" sentakku.

"Semua persediaan makanan kita untuk musim dingin telah dicuri, Christopher. Kita harus menjual Spirit agar kita bisa mendapatkan setidaknya graft (mata uang Pensylon) yang cukup untuk membeli makanan di musim dingin nanti."

"Tapi ada lebih dari satu cara untuk mendapatkan makanan, bukan?! Kita tak harus-"

BUK!

"Ibu belum selesai bicara!" potongnya sambil mengayunkan pisau ke meja di hadapannya.

Memotong roti di depannya, dan memotong nyali siapapun yang melihatnya, termasuk- tidak, terutama aku.

Bagaimana tidak? Mata ibu benar-benar terbuka lebar ke arahku.

Tatapannya benar-benar menusuk jiwaku, menyadarkanku kalau jiwaku akan berada di sisi Jiwa Pensylon kapan saja jika aku cukup bodoh untuk kembali membuka mulutku.

"Apakah kau berpikir ibu memutuskan untuk menjual Spirit tanpa pertimbangan sedikitpun?! Christopher Hamilton?!" hardik wanita itu.

Mulutku terkunci rapat, badanku bergetar seakan sedang demam, kurasakan dadaku dipukuli dari dalam oleh jantungku, badanku kaku.

"Kuda itu pasti akan membutuhkan makanan juga, dan ia hanya akan menghabiskan graft yang seharusnya bisa kita gunakan untuk membeli makanan keluarga.

Jadi, daripada Spirit mati kelaparan atau menghabiskan graft dan membuat kita yang mati kelaparan...

Akan lebih baik kalau kita jual kuda itu agar kita mendapatkan graft dan dia mendapat majikan baru yang bisa menjaganya dengan lebih baik.

Ditambah, tanpa kuda itu pun kita masih bisa bertahan hidup. Memangnya alasan apa lagi yang kita miliki untuk menyimpan kuda itu?" jelas ibuku.

Penjelasannya masuk akal, bahkan aku sesungguhnya akan setuju akan pemikiran itu kalau Spirit bukan kuda warisan kakekku.

"Tapi-"

"Tidak ada tapi! Christopher, besok kau dan ayahmu akan pergi ke pasar untuk menjual Spirit!"

Makan malam keluargaku bahkan belum habis, dan ibu sudah menyuruhku melakukan sesuatu di esok hari.

"TAPI INI TIDAK ADIL!" teriakku sambil beranjak dari meja makan.

Kuambil tiga langkah mundur sebelum kakiku terpaku di lantai tanah yang kuinjak. Menatap kelima orang anggota keluarga yang ada di hadapanku, yang semuanya menatapku dengan tidak menyenangkan. Terutama ibu.

"Ibu tidak peduli lagi apakah ini adil atau tidak bagimu, Christopher. Lagipula kau hanya menggunakan Spirit untuk balapan kuda, bukan?!"

"Sudah aku bilang, aku tidak pernah balapan kuda lagi ibu!"

"Kau pikir aku ini bodoh? Lantas ada apa dengan luka di dahimu itu?!"

Dengan refleks, kusentuh luka di dahiku ini yang kata Paman Victoria akan tetap membekas sampai kapanpun. Sial, dia menyadarinya. Apa yang harus kukatakan...

"Lihat! Luka di dahimu itu adalah alasan utama kenapa kami melarangmu untuk balapan kuda, Christopher! Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri jika kau balapan kuda!" hardik Ibu padaku.

"Aku..."

Aku mati kutu, tak ada satupun patah kata keluar dari mulutku, kurasakan getaran pada tubuhku, aku diam mematung di hadapan keluargaku, layaknya orang belagu.

Aku diam membeku.

"Besok pagi, kau akan pergi ke pasar bersama ayahmu untuk menjual kuda itu. Sepulangnya kalian dari sana, kau akan tetap di rumah. Tidak akan ada lagi waktu main untukmu, selamanya. Titik." ucap ibuku.

Kutatap ayah yang juga melihatku dengan tatapan yang seolah berucap:

"Dengarkan ibumu, nak."

Namun, aku masih tidak rela. Spirit adalah warisan kakek. Kebanggaan keluarga sejak lama, dan ibu ingin menjualnya semudah membalikkan telapak tangan? Kemudian membuatku kehilangan kebebasanku? Tentu saja aku tidak rela!

"Apakah Ibu serius mau menghukumku seperti ini?!" tanyaku

"Tentu saja Ibu serius! Kau sudah kuberi kesempatan kedua semenjak putra kepala desa dan teman gadisnya itu memohon kebebasanmu! Kemudian kau melanggarnya begitu saja! Kau pikir Ibu akan memberimu kesempatan berikutnya?!"

Ku diam sejenak, sebelum aku menanyakan sebuah pertanyaan yang aku yakin akan kusesali kedepannya...

"Apa kau ini benar-benar ibuku?!"

Ibu terdiam sejenak, begitu pula dengan orang lain yang sedari tadi menyaksikan perdebatanku dengan Ibu. Sebelum kemudian dia berteriak.

"Beraninya kau berkata begitu!"

"Tentu saja aku berani! Sejak awal yang kau lakukan hanyalah marah, berteriak, dan menghukumku! Seakan-akan aku ini sebenarnya bukan anak kandungmu!" kubalas cepat teriakannya.

"Dari mana kau berpikiran seperti itu?! Pasti kau belajar dari teman-temanmu, kan?!"

Sialan, wanita ini menyalahkan Norman dan Victoria atas ucapanku?! Apakah dia sama sekali tidak sadar?!

"Jangan salahkan mereka berdua! Kata-kata itu murni berasal dariku karena itulah faktanya! Kau selalu saja marah padaku! Bukan pada Chris, Christina, ataupun Christa! KAU SELALU SAJA MARAH PADAKU!"

Wajah Ibu sudah menunjukkan kemurkaan yang hebat, namun ia belum tahu sedikitpun kalau aku sama murkanya dengannya.

"YA SUDAH KALAU BEGITU, TINGGAL SAJA SANA BERSAMA NORMAN DAN-"

"NORMAN SUDAH PERGI!!!!!" teriakku sembari...

Brak! BRUK!!! PRANG! Tek... Tek... Tek...

Kupukul meja makan di hadapanku, membuat meja yang rapuh ini pada akhirnya runtuh. Piring-piring logam terjatuh ke tanah, mengeluarkan bunyi nyaring yang membuat seisi ruangan berbising.

Roti-roti yang belum habis dimakan jatuh begitu saja ke lantai tanah, dan keluargaku semuanya serentak mundur beberapa langkah dan menyaksikan meja rapuh itu pada akhirnya runtuh.

"Ibu!! Uwaaahhhhh...." Christa menangis dan memeluk Ibu yang kemudian berusaha menenangkannya.

Chris buru-buru memungut roti yang ada di hadapannya. Jujur, itu menjijikan. Christina sendiri kurasa sepemikiran denganku karena ia menatap Chris dengan jijik.

Ayah menatapku.

Aku tidak bisa menjelaskan tatapan apa yang ia keluarkan, namun aku tahu itu pasti buruk.

"Christopher..." panggil Ayah padaku.

Tch, sial!

Tep! Tep! Tep!

Aku berlari ke arah pintu depan rumah.

"CHRISTOPHER HAMILTON!!! KEMBALI KEMARI SEKARANG JUGA!!!" teriak Ibu.

KRIET! JEB!

Aku tak peduli, aku pergi meninggalkan keempat anggota keluargaku yang makan malamnya baru saja kubuat berantakan.

Kubuka pintu depan rumahku yang sudah mulai reyot, dan kemudian kututup dengan keras. Hujan membasahi badanku dan pakaianku, memaksaku untuk pergi ke suatu tempat...

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!