Chapter 7 - Janji Kami

Seperti yang diketahui banyak orang di Wheatville (atau bahkan mungkin di Pensylon), tempat ini sangat kumuh.

Saking kumuhnya, tidur di dalam kamar, dalam ruangan lain, ataupun di luar rumah pun rasanya hampir tidak ada bedanya.

Bahkan kalau kupikir-pikir, tidur di rumah orang lain pun rasanya sama saja dengan tidur di rumah saking kumuhnya.

Aku tidak ingat sudah berapa kali dalam hidupku ini aku tidur di luar, dan sudah berapa kali aku tidur di dalam. Maksudku, umurku sudah 14 tahun, tentu saja ingatan itu sudah terbuang ke laut.

Akan tetapi, hanya satu pengalaman tidur di luar yang aku ingat hingga saat ini. Ingatan itu sendiri terjadi karena aku masih kerap kali memimpikan pengalaman itu.

Ataukah mimpi itu berasal dariku yang mengingat pengalaman itu? Aku tak tahu, banyak hal di Skurendral ini yang sungguh misterius jika kuingat-ingat lagi.

...----------------...

Lima tahun lalu, tepatnya di suatu malam yang udaranya benar-benar cocok untuk tidur di luar rumah. Tidak membuat badan menggigil, tidak pula memaksa kami membuka setidaknya satu lapis pakaian kami.

Sekali lagi biar kutekankan, Wheatville sungguh kumuh sampai-sampai tidur di luar maupun di dalam hampir tidak ada bedanya.

Yang jelas, pada malam itu aku, Norman, dan Victoria memilih untuk tidur di bawah pohon besar di tengah hutan tempat kami sering berkumpul.

Fwoofh!

Norman mengetukkan kedua batu di tangannya hingga terpancar beberapa percikan api yang mengenai ranting kayu yang telah aku dan Victoria kumpulkan sebelumnya.

Menciptakan sebuah api unggun yang tak hanya menghangatkan dan menerangi tempat itu, namun juga mengusir semut-semut yang sedari tadi selalu mengganggu kami. Aku ingat betul semutnya tidak sebanyak sekarang.

"Wah, kau hebat sekali Norman!" puji Victoria.

"Biasa saja kok." Norman merendah.

"Apanya yang biasa saja, Norman? Kau baru saja menyalakan sebuah bara api!" ucapku.

Aku tak mengada-ngada, menyalakan api itu amat sangat sulit. Untuk menyalakan api, kau menggesekkan sebuah gagang besi dan batu geretan (beberapa menyebutnya, Flint and Steel) sampai membuat beberapa percikan api.

Tak hanya itu, percikan apinya juga harus mengenai benda yang mudah terbakar. Prosesnya tak hanya memakan waktu, tapi juga memakan tenaga dan kesabaran.

Kesulitan itulah yang membuat mayoritas penduduk Wheatville (atau mungkin seluruh Pensylon?) memilih untuk menjaga api yang sudah menyala ketimbang memadamkannya dan menyalakannya kembali.

Maksudku, aku ingat ayahku sampai mengumpat berkali-kali lantaran kesulitan menyalakan api saat api di dapur padam karena Christina yang tanpa sengaja menumpahkan air panas ke sana.

Dan Norman baru saja membuat sebuah bunga merah mekar seakan-akan itu adalah hal yang mudah, bermodalkan sebuah batu dengan logam pula. Apanya yang biasa saja?

"Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Lebih baik kita lihat saja angkasa lepas di atas sana. Indah bukan?" Norman mengalihkan pembicaraan sembari menunjuk langit biru kehitaman.

Jari telunjuknya mengeluarkan sebuah cahaya imajinatif (imajinasiku lebih tepatnya) ke atas sana yang membuatku dan Victoria ikut memperhatikan objek khayalan itu hingga akhirnya hilang ditelan langit.

Srek.

Rerumputan yang tertimpa bobot badanku mengeluarkan suara gesekan. Bunyi itu semakin terdengar dan terulang karena Norman dan Victoria juga melakukan hal yang sama.

Kami bertiga berbaring di atas rumput. Terbaring layaknya pemalas yang hampir semaput. Tanpa sedikitpun peduli kalau badan kami cepat atau lambat akan digigit belasan atau puluhan semut.

"Kau benar." jawab Victoria.

Aku menutup mataku sebentar, dan kemudian mengucapkan apa yang baru saja aku baca di buku kakekku waktu itu (sebelum ayah membakarnya lima tahun kemudian, tepatnya kemarin lusa).

"Tahukah kalian? Konon katanya, cahaya-cahaya indah di atas sana berasal dari kumpulan lentera dari rumah-rumah di atas awan." celetukku.

Tentu saja aku tidak tahu saat itu kalau buku itu mungkin hanya dongeng fiksi belaka. Jujur saja, walaupun aku suka membaca buku kakekku...

Tak jarang aku berpikir kalau isi buku itu hanya khayalan belaka. Salah satunya adalah pada kasus ini. Terutama setelah aku mengenal kata "bintang"

"Hah? Kau bilang apa?" Norman terkejut mendengar ceritaku.

"Hehehe... Christopher... Christopher... Khayalanmu selalu saja berhasil membuatku tertawa." Victoria terkekeh kecil mendengar ceritaku.

"Hei! Itu nyata! Aku baca dari buku kakekku!" bantahku.

"Secara logika, Kristoff. Itu tidak mungkin. Cahaya lentera tidak akan seterang itu.

Jika lentera seterang itu, maka Wheatville tidak akan segelap ini. Atau bahkan tidak akan gelap sama sekali."

Norman lagi-lagi bicara berdasarkan logika, padahal waktu itu kami masih sembilan tahun. Anak ini benar-benar cerdas.

"Sungguh? Tapi menurutku kalau Wheatville menggunakan lentera seperti itu, Jiwa Pensylon tidak akan mau mengunjungi Wheatville. Bahkan melihatnya saja tidak akan mau..." Victoria berujar.

Berbeda dengan Norman, Victoria benar-benar percaya pada Roh Pensylon.

Sebenarnya, kami bertiga sering "diajari" oleh keluarga Hendrickson bahwa kegelapan yang ada di seluruh Skurendal setiap malam ini disebabkan oleh Jiwa Pensylon yang secara terus menerus mengejar Jiwa Suldruli karena dendam Perang Naga.

Victoria sebagai anggota keluarga Hendrickson benar-benar percaya bahwa kegelapan malam ini disebabkan oleh Jiwa Pensylon.

Berbeda denganku yang tidak terlalu percaya akan hal semacam itu (setidaknya sekarang). Apalagi Norman yang kurasa hampir saja tidak percaya sama sekali.

"Ayolah, Victoria. Kau tahu kalau Jiwa Pensylon itu sama sekali tidak nyata kan?" ledek Norman.

"Kau ini bicara apa, Norman? Jiwa Pensylon itu nyata, tahu!" sanggah Victoria.

"Tidak nyata. Itu hanyalah dongeng belaka."

"Itu nyata! Buktinya Tuan Rivers pernah bilang ia pernah melihatnya langsung!"

"Mustahil,"

"Tapi nyata!"

"Tidak!"

"Nyata!"

"Tidak!"

"Nyata!"

Hadeh...

Berisik sekali.

Udaranya juga sejuk.

Rasanya aku ingin tidur sejenak...

"Kristoff! Jiwa Pensylon itu nyata, kan?!"

"Kristoff! Jiwa Pensylon itu tidak nyata, kan?!"

"Lah, kenapa jadi aku?" ucapku kaget karena habis melamun.

"Jiwa Pensylon itu nyata, kan?" tanya Victoria.

"Jiwa Pensylon itu tidak nyata, kan?" tanya Norman.

Hadeh. Ada-ada saja. Soal kegelapan saja mereka berdua sampai bertengkar seperti ini...

Hmm...

Dipikir-pikir...

"Hei! Kenapa kau diam saja?!" Victoria menggertakku.

Aku tetap diam, hingga akhirnya angkat bicara.

"Dipikir-pikir, apakah kita bisa mengubah Wheatville jadi lebih baik, Norman?"

"Hah?"

"Hah?"

Norman dan Victoria sama-sama bingung dengan apa yang baru saja kukatakan. Jujur saja, aku sendiri juga bingung akan apa yang kuucapkan saat itu.

"Barusan kau bilang kalau Wheatville akan jadi sangat terang jika lentera atas awan itu memang nyata, kan?

Apakah menurutmu, kita bisa membuat hal itu benar-benar terjadi?"

"Hei, Kristoff. Kurasa kau harus mulai berhenti membaca buku kakekmu. Itu mulai membuatmu jadi gila." respon Norman agak kejam.

"Norman benar, Christopher." Victoria juga sependapat.

Saat itu, aku bersemangat sekali sampai-sampai aku beranjak dari tempat berbaringku dan berdiri.

"Tidak! Bayangkan apa yang akan terjadi jika Wheatville benar-benar seterang itu! Wheatville akan jadi lebih baik!" seruku.

"Christopher..." Victoria yang awalnya berbaring mengangkat setengah badannya hingga ia duduk. Raut mukanya skeptis.

Norman juga sama, namun perbedaannya, Norman menempatkan jari jempolnya di dagu. Wajahnya juga berbeda jauh dengan Victoria. Ia tertarik dengan ucapanku.

"Maksudku, jika Wheatville terus menerus terang seperti itu. Kita tak perlu khawatir soal pencuri hasil panen atau pencuri ladang!

Tak hanya itu, tanaman juga akan tumbuh dengan cepat jika cahaya tetap ada walaupun saat malam hari! Itu bagus kan?" ide liarku mulai keluar dari kepalaku.

Victoria semakin bingung dengan penjelasanku yang terbilang asal-asalan (aku tak bisa menyalahkannya, sih), namun Norman semakin tertarik.

"Lantas bagaimana cara warga tidur dengan cahaya terang seperti itu?" Victoria bertanya.

"Eh, benar juga!" kataku.

Kemudian, Norman angkat bicara...

"Cahaya lentera terang itu kan hanya akan ada di luar ruangan. Kita bisa menutup jendela agar cahayanya tidak masuk.

Jika dirasa tidak cukup gelap, kita bisa menutupi mata kita masing-masing dengan kain."

"Norman, kau penyelamatku!" pikirku saat itu.

"Kalau seperti itu, apa bedanya dengan hari-hari Wheatville pada biasanya?" Victoria bertanya seakan belum puas.

"Karena Wheatville selalu terang, pasti akan ada yang beraktivitas bukan? Jam tidur warga akan berbeda-beda.

Sehingga tidak akan ada yang namanya pencuri karena setiap saat pasti ada yang mengawasi." Norman lagi-lagi berucap dengan idenya.

"Kau memang cerdas, Norman." pujiku.

"Ini kan idemu..." balasnya.

Tentu saja lima tahun kemudian, ide itu adalah ide yang konyol dan sama sekali tidak masuk akal. Maksudku, tanaman juga butuh malam bukan?

Itulah sebabnya Sang Divine Dragon menciptakan Pensylon Sang Shadow Dragon, agar makhluk-makhluknya dapat beristirahat demi aktivitas esok yang lebih baik.

Lagipula, hanya butuh waktu satu tahun kemudian bagi kami bertiga untuk sama-sama menertawakan ide konyol itu.

Tapi bukan hanya itu saja yang aku ingat pada malam itu.

"Tapi menurut kalian, apakah kita benar-benar bisa mengubah Wheatville jadi lebih baik?" Victoria tidak yakin.

"Tentu saja bisa! Kan ada Norman!" kataku yakin.

"Ayolah, aku tidak sehebat itu kok. Maksudku, ide cahaya terang ini idemu kan, Kristoff?

Ditambah, dengan pertanyaan Victoria barusan, kita bisa semakin memantapkan ide kita untuk melaksanakan rencana itu.

Kita bertiga bersama-sama bisa mengubah Wheatville, kalian tahu?" jawab Norman sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

Aku setuju dengan Norman, dapat dilihat dari senyumku yang hanya bisa kurasakan. Sedangkan Victoria masih belum terlalu yakin, namun mulai terbuka.

"Yang dimaksud Norman adalah, kita bertiga bisa mengubah Wheatville jadi lebih baik selama kita bertiga tetap bersama." kesimpulanku sambil meraih jari kelingking Norman dengan jari kelingking juga.

Victoria kali ini tersenyum. Ia juga percaya akan hal itu.

"Baiklah, kalau begitu. Janji?" katanya sambil meraih jari kelingking kami dengan jari kelingkingnya.

Aku dan Norman menganggukkan kepala kami tanda kalau kami sepakat.

Lagi-lagi, aku terpikirkan sesuatu saat itu...

"Kami adalah anak-anak dari Wheatville yang akan mengubah masa depan kampung kumuh ini menjadi sebuah kota yang besar.

Terdiri atas Christopher Hamilton." kataku.

Norman dan Victoria terdiam saja melihat lanturanku, lagi (dan lagi-lagi aku tak bisa menyalahkan mereka)

"Lanjutkan, bodoh!" bisikku.

"Victoria Hendrickson." Victoria melanjutkan ucapanku.

"Dan Norman Alexander." Norman juga melanjutkannya.

Aku tersenyum, dan kembali mengutarakan isi pikiranku.

"Berjanji bahwa:

Satu, kami tidak akan saling menyakiti satu sama lain." lanjutku.

Setelah itu, kulirik kedua sahabat di hadapanku. Mereka nampak kebingungan untuk mencari kata-kata yang bagus untuk melanjutkan perkataanku.

"Dua, kami tidak akan saling membenci satu sama lain." Victoria berikrar beberapa detik kemudian.

Norman nampak kaget saat Victoria terpikirkan kata-kata itu lebih cepat darinya. Karena itu, Norman menutup matanya sejenak sebelum melanjutkan dengan...

"Terakhir, kami tidak akan meninggalkan satu sama lain." Norman mengakhirinya.

Janji itu, walaupun terkesan spontan dan agak dipaksakan dan aku juga yakin kalau teman-temanku juga sudah lupa akan janji itu.

Namun percayalah, janji itu akan selalu kuingat seumur hidupku.

Janji, yang ironisnya bersama-sama kami langgar kemarin.

Aku berjanji kalau tidak akan menyakiti satu sama lain, namun aku menghajar Norman kemarin.

Victoria berjanji kalau ia tak akan membenci satu sama lain, namun kemarin ia berteriak dengan lantang kalau ia membenci Norman.

Norman berjanji kalau tidak akan meninggalkan satu sama lain, namun kemarin ia meninggalkanku dan Victoria di sini.

Suka ataupun tidak, aku harus menelan fakta bahwa persahabatan kami bertiga mungkin hanya akan bertahan sampai kemarin malam. Walau kalau boleh jujur, aku ingin lebih lama lagi berteman dengan mereka.

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!