Chapter 5 - Penjual Pupuk Kandang

*PoV: Norman*

Aku kadang berpikir, apakah tak ada satupun orang di dunia ini yang setidaknya pernah memiliki pemikiran yang sama denganku?

Setiap kali aku mengemukakan sebuah pemikiran yang biasa orang-orang sebut 'ide', mereka pasti bilang kalau aku ini adalah anak paling jenius.

Naif sekali mereka berpikir demikian. Faktanya aku tidak pintar, kok...

Aku hanya kreatif. Itu saja.

Setiap kali aku menggunakan otakku untuk menciptakan suatu rencana, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang telah aku pikirkan.

Namun, baru kali ini aku mengalami satu hal yang tidak pernah terpikirkan olehku sedikitpun.

Tak pernah sekalipun dalam otakku terbersit sebuah pengelihatan kalau seseorang akan mengikuti apa yang aku lakukan.

Itu terjadi pada kawanku, Kristoff. Aku ingat beberapa saat yang lalu aku balapan kuda dengannya dan juga Victoria yang bertugas sebagai wasit.

Pemikiranku yang cerdik berujung pada Kristoff yang mengalami kecelakaan. Kenapa? Karena ia berusaha mengikuti apa yang kulakukan.

Rencanaku untuk mengambil jalan pintas berhasil dieksekusi dengan baik, namun gagal Kristoff lakukan.

Akibatnya, sekarang ini aku dengan Kristoff yang kesakitan dan sedang bersandar di punggungku, pergi ke kediaman keluarga Hendrickson menunggangi Snow dan diikuti Victor yang menunggangi Spirit.

Keadaan Kristoff cukup membuatku khawatir. Saat aku memeriksa keadaannya, setengah mukanya berubah warna jadi merah saga. Terutama di bagian dahi kiri atas dekat mata (aku tak tahu bagian apa tepatnya, aku harap bukan matanya.)

Saat kulihat darah, aku tahu kalau pernah ada, sedang ada, atau akan ada sesuatu yang salah. Karenanya, saat ini kupacu kudaku dengan cepat.

"Bertahanlah, Kristoff!" ucapku.

"Namaku Christopher!" balasnya ketus.

...----------------...

Bahkan sekarang, setelah aku sampai di kediaman keluarga Hendricksen pun, aku masih belum bisa tenang.

Bukan karena masalah apapun, melainkan karena sebuah rasa bersalah. Sebuah perasaan kalau yang terjadi pada Kristoff ini adalah kesalahanku (walau Kristoff kadang memang begitu sih).

"Paman! Tolong obati dia!" panggil Victor pada pamannya yang sedang membersihkan kandang ternak.

Aku bisa melihat raut wajah pria itu. Tentu saja ia terkejut, terutama setelah dia melihat wajah Kristoff yang sekarang sudah sebagian besarnya tertutupi darah.

"Demi Jiwa Pensylon!" jeritnya sekencang tenaganya.

Pria tua itu pasti panik, karena ia yang pada awalnya sedang membawa dua buah ember berisi air mendadak melepaskan keduanya sampai tumpah ke mana-mana.

Tak lama kemudian, ia melangkahkan kedua kakinya dengan kencang ke arah kami. Nafasnya terengah-engah, matanya terbelalak.

"Demi Jiwa Pensylon, kenapa anak ini?" tanya pria usia kepala tiga itu pada kami.

Aku ragu menjawabnya, alasannya jelas. Baik orang tua Kristoff, Pamannya Victor, dan juga ayahku, mereka semua melarang kami untuk balapan kuda.

Jika aku mengatakan pada Pamannya Victor kalau Kristoff-

"Jatuh dari kuda."

Victoria! Dasar gadis sialan! Bagaimana bisa kau mengatakannya semudah itu?! Kalau begini sih dia pasti sadar kalau kita balapan kuda! Hadeh...

"KALIAN BALAPAN KUDA LAGI?!" sentaknya.

Sudah kuduga. Raut mukanya yang awalnya panik mendadak berubah jadi amarah.  Sungguh mengerikan bahwa di dunia ini terdapat seseorang yang ekspresinya dapat berubah secepat itu begitu saja.

"Tidak! Aku tidak balapan kuda, kok!" dalih gadis itu (walau dipikir-pikir dia memang benar sih).

"Apakah kau yakin, Victoria?!"

Pria itu tidak percaya pada kami, aku tak bisa menyalahkannya sih...

"Argh!"

Rintihan itu sudah cukup untuk membuat pria berumur kepala tiga itu mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Tak hanya itu, mata Kristoff juga nampak berkaca-kaca.

"Victoria, bawa temanmu ke dalam. Aku akan mencuci tanganku terlebih dahulu." kata Pamannya Victor.

"Baik, Paman Victor." Victor menurutinya.

Tunggu dulu? Nama paman dari Victoria adalah, Victor? Hmm. Kurasa aku harus mencari nama panggilan lain untuk Victoria...

...----------------...

"Huft, tak kusangka aku masih hidup." ucapku sembari mendengus.

Kuusap cairan keringat dingin di keningku, ditemani dengan rasa tidak nyaman di dadaku yang isinya benar-benar ingin keluar dari sana.

Maksudku, aku habis meminta izin pada Keluarga Hamilton kalau Kristoff akan menginap di sini. Percayalah, itu sama sekali tidak mudah.

Ketika aku yang sedang duduk di punggung Snow telah mencapai kediaman Keluarga Hendrickson, di sanalah kutatap ia.

Gadis pirang panjang, sedang duduk di teras rumahnya. Melipat lututnya, dan memeluknya. Aku penasaran, apakah ia menungguku, atau menunggu Kristoff?

Atau malah menunggu kami berdua?

"Sedang apa kau di sini, Victor-ia?" Aku menapakkan kakiku ke tanah, turun dari kuda putih di sampingku. Gadis itu melirikku sejenak.

"Menunggu." jawabnya pelan.

"Menunggu? Menunggu siapa? Aku? Kristoff? Kami berdua?"

"Bukan kalian berdua."

Apa? Dia tidak menungguku atau Kristoff? Lantas siapa yang ia tunggu? Hmm, jauh dari yang aku pikirkan.

"Lalu?" Aku penasaran.

"Menunggu mentari terbenam, karena di saat itulah Jiwa Pensylon mulai menghitami langit. Lalu ketika Jiwa Pensylon ada di atas sana, aku tak akan lagi merasa sendirian..."

Ah, Victoria. Selalu saja begini. Setiap hal selalu saja ia kaitkan dengan Jiwa Pensylon atau hal-hal mistis lainnya.

Kalau boleh jujur, aku tidak terlalu mempercayai hal semacam itu. Maksudku, adanya Perang Naga yang membuat seluruh Skurendral berantakan? Dongeng apalagi itu?

Aku ingat pernah bertengkar hebat dengan Kristoff karena aku mengatakan kalau kakeknya itu orang gila karena buku yang ia tulis berisikan hal-hal yang aneh dan tidak nyata adanya.

Bicara soal nyata...

Waktu sudah berlalu, sekarang langit sudah tak lagi berwarna biru. Cahaya mentari sudah mulai meninggalkan cakrawala yang tertutupi sedikit oleh kandang sapi keluarga ini.

Mungkin bagi gadis berambut pirang di sebelahku ini, matahari terbenam adalah saat yang membahagiakan karena keindahannya.

Namun tidak bagiku...

Bagiku, matahari terbenam ini akan menjadi matahari terbenam terakhir yang kulihat bersama teman-temanku di Wheatville ini.

...----------------...

Tak terasa, aku dan Victoria sudah menunggu Kristoff selesai diobati sampai malam oleh paman Victor (jujur, agak aneh mengucapkannya bagiku).

Cahaya rembulan telah tergantung di angkasa lepas, disertai oleh bintang-bintang yang berlomba-lomba untuk memancarkan cahaya paling terang.

Benar-benar indah.

"Aku benar-benar bisa bernafas lega karena pamanmu dulu pernah jadi dokter. Karena kalau tidak, kita harus membawa Kristoff pergi ke Muson yang jaraknya jauh sekali." ucapku pada Victor.

Aku tidak mengada-ngada. Waktu yang diperlukan untuk pergi ke Muson sana bisa mencapai tiga jam naik kuda.

Jika aku dan Victor benar-benar nekat berkuda ke sana, Kristoff pasti akan mati karena pendarahan di tengah perjalanan.

"Iya, Puji Roh Pensylon..." balasnya. Sambil murung.

Kurasa ia juga sudah menyadarinya. Menyadari bahwa sudah dekat waktunya bagiku untuk meninggalkannya dan Kristoff di sini.

"Hehe, dia benar-benar bodoh berpikir kalau dia bisa melakukan hal yang sama dengan yang kulakukan.

Maksudku, kau tahu sendiri bukan sudah berapa lama aku berlatih melakukannya, kan?" ucapku mencairkan suasana.

Mulut gadis itu tetap saja melengkung ke atas. Ah, sial. Usahaku mengalihkan pembicaraan gagal, bukan?

"Umm... Aku penasaran, Victoria. Kenapa pamanmu yang sebelumnya pernah jadi dokter di Muson sana memutuskan untuk banting arah jadi seorang penjual pupuk kandang?

Padahal, kalau dia tetap jadi dokter kan..." kataku.

"Norman..." tukas gadis itu.

"Kau tak perlu mengotori tangan dan pakaianmu dengan pupuk kandang, Victor. Haha..." sambungku.

Aku sengaja melanjutkan ucapanku terus-menerus, karena jika aku memberinya kesempatan bicara. Aku sudah tahu kata-kata apa saja yang akan keluar dari mulutnya.

"Norman." panggilnya lagi.

"Dan juga, kau tahu? Saat tadi sore aku meminta izin pada keluarga Hamilton kalau Kristoff akan menginap di sini..."

"Norman!"

"Aku sangat takut, terutama melihat ibunya! Mengingatnya saja aku sampai hampir mengompol! Aku penasaran bagaimana Kristoff bisa hidup dengan ibu seperti itu, hahaha..."

Aku tak mengada-ngada, ibu Kristoff memang seram. Saat tadi sore aku mengatakan kalau Kristoff akan menginap di kediaman keluarga Hendrickson, wanita itu terus saja menatapku dengan tajam.

"Jangan pura-pura tidak mendengarku, Norman!" Victor mulai kesal, aku bisa merasakannya.

"Hah... Aku jadi rindu ibuku. Andai saja dia ada di sini. Lalu andai saja dia tidak pernah per-"

Greb!

Aduh!

"NORMAN ALEXANDER! KAU DENGAR AKU?!"

Victor menarik telingaku, dan kemudian berteriak. Akibatnya, telingaku sakit. Sakit yang memang pantas kudapatkan.

Sembari kutarik kembali telingaku (dan memeganginya karena sakit, tentu saja), kutatap wajah gadis itu.

Matanya berkaca-kaca, mulutnya semakin cemberut, dan nafasnya mulai tak beraturan. Saat kulihat raut wajahnya, hatiku mulai yakin bahwa aku harus berhenti melakukan itu.

"Ya?" aku menyerah.

Air mata kali ini mengalir di matanya. Ingin sekali kuusap, namun tanganku kotor terlumuri lumpur tempat ku duduk saat ini.

"Hiks... Apa kau benar-benar... Hiks... harus pergi?" tanyanya tidak jelas karena diselingi isak tangis.

Aku tahu teman-temanku akan menangis saat aku pergi. Aku juga sudah tahu mereka pasti akan memaksaku untuk tetap tinggal di sini.

Namun tetap saja, saat kulihat Victoria menangis, hatiku sakit. Hati nurani ku yang juga menyaksikan air matanya jatuh ke tanah mulai mempertanyakan...

"Apa memang sebaiknya aku tetap tinggal di sini?"

Kriet!

Pintu di belakangku terbuka. Seketika aku dan Victoria juga melihat ke arah sana. Di pintu itu, terdapat sesosok bayangan yang menutupi cahaya lentera dari dalam.

Yang kulihat adalah sesosok lelaki berambut hitam panjang sampai bahu dengan perban membalut wajah bagian kiri atasnya.

"Kristoff."

...****************...

Terpopuler

Comments

Serigala Putih

Serigala Putih

mungkin telat ya bang, tapi selamat udah kontrak meski agak terburu-buru

meski begitu, tetap semangat menulis ... eh, mengetiknya, hehe ..

kembangkan lagi semua imajinasi kreatifmu dan tuangkan di platform ini, bang, semangat!

2023-04-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!