Chapter 17 - Pengungsian

*PoV: Victoria*

Kalau kau tanya bagaimana bisa gadis sepertiku selamat dari kejadian mengerikan ini? Sederhana saja.

Jiwa Pensylon benar-benar telah melindungiku.

Aku ingat setelah aku dan Paman mengobati luka Christopher tadi sore, Tuan Hamilton datang dan menjemputnya pulang.

Di saat Christopher pulang ke rumahnya, Paman buru-buru membereskan barang-barangnya. Barang yang biasanya ia gunakan untuk mengobati orang-orang Wheatville.

Ini bukan pertama kalinya aku melihatnya seperti ini, karenanya aku bisa berasumsi kalau Paman pasti sudah mendapatkan sebuah tugas untuk mengobati orang di luar desa.

"Kemana paman mau pergi?" tanyaku.

"Muson." jawabnya tanpa melihatku sedikitpun.

Muson? Itu kan Ibukota Pensylon, tempat dimana istana raja berada. Jaraknya dari Wheatville cukup jauh, sekitar tiga jam naik kuda.

"Untuk apa Paman jauh-jauh pergi ke Muson?" tanyaku.

"Saat kau pergi ke kediaman Keluarga Hamilton, ada seseorang datang ke rumah. Ia mengatakan kalau ada pasien yang butuh bantuanku di sana.

Tadinya aku mau ke sana saat itu juga, tapi aku terpaksa menundanya karena Christopher temanmu masih belum sadarkan diri.

Sekarang aku mau pergi ke sana mengingat anak pembuat onar itu sudah baik-baik saja. Bahkan Ayahnya sudah datang menjemputnya." ucapnya.

Kenapa orang Muson sampai mau menyusul ke tempat ini hanya untuk meminta bantuan Paman? Maksudku, di Muson sana pasti ada banyak dokter bukan?

Pamanku bahkan bukan seorang dokter, bukan lagi. Tapi entah kenapa sepertinya setiap tahun pasti ada saja setidaknya satu atau dua orang yang memaksanya untuk pergi ke Muson.

Sekarang Pamanku hanyalah penjual pupuk kandang yang setiap hari mengotori kedua tangannya dengan kotoran ternak.

Walaupun begitu, tentunya Muson amat sangat menarik untuk seorang gadis desa sepertiku. Aku harus ke sana!

"Aku mau ikut." kataku.

"Aku memang mau mengajakmu." ucap Paman.

"Sungguh?!" aku terkejut.

"Sungguh."

Hug!

"Puji Jiwa Pensylon, Terima kasih paman!" Aku tersenyum sembari memeluknya.

Aku sangat ingin pergi ke Muson sejak kecil dulu, namun Paman selalu melarangku ikut dengannya setiap kali ia dipanggil ke Muson.

Entah kenapa, sekarang dia malah mengajakku ke sana. Baguslah, sekarang adalah kesempatanku untuk melihat kota itu dari kedua mataku sendiri.

Tak lupa juga, siapa tahu aku bisa kembali bertemu dengan dia.

...----------------...

"Maksudku, Demi Jiwa Pensylon! Sakitnya bahkan tidak separah Christopher barusan!" keluhku di perjalanan pulang ke Wheatville.

Sembari menunggangi Snow, aku dan Paman kembali pulang ke Wheatville. Aku menggerutu sepanjang jalan, dan Paman sendiri hanya fokus ke depan.

Pertama-tama, ternyata orang yang tadi memanggil kami tinggal tepat di pinggiran pintu gerbang Muson. Sehingga aku tidak bisa sepenuhnya menyaksikan pemandangan di Muson seperti apa.

Tak perlu kujelaskan, aku juga tidak bertemu atau bahkan melihat 'orang itu' pada perjalananku barusan.

Kedua, ternyata orang yang tadi meminta Paman untuk pergi ke Muson hanya sakit di kakinya saja. Sebuah luka kecil kalau aku boleh mengatakannya.

Saat kulirik wajah Paman saat mengobatinya, aku bisa tahu kalau ia juga jengkel saat pertama kali menyadarinya.

Bagaimana tidak? Perjalanan dari Wheatville ke Muson saja sudah menghabiskan waktu yang sudah jelas tidak sedikit. Belum lagi perjalanan pulangnya.

Maksudku, enam jam waktuku dan Paman terbuang sia-sia hanya untuk mengobati luka kecil di kaki?

Demi Jiwa Pensylon...

"Sesungguhnya, luka seperti itu saja sebenarnya bisa berakibat serius untuk orang tadi, Victoria." ucap Paman.

"Hah? Serius dari mana? Itu kan hanya luka kecil!" bantahku.

"Mungkin memang iya bagimu, begitu juga bagiku. Tapi sebenarnya, luka kecil itu benar-benar serius bagi orang yang tadi kita temui."

"Kenapa begitu, Paman?"

"Awalnya aku juga jengkel dan ingin menolak untuk merawat orang tadi. Tapi setelah kuselidiki, rupanya orang tadi memiliki darah yang sulit sekali membeku."

Apa? Darah membeku? Kosakata baru apa lagi itu?

"Apa?"

"Aku sudah beberapa kali bertemu dengan orang-orang di Muson yang memiliki penyakit tadi. Aku sama sekali tak tahu kenapa, tapi darah mereka sukar membeku.

Orang-orang seperti mereka harus ekstra hati-hati dalam hidup mereka, karena jika mereka terluka kecil saja seperti tadi. Mereka bisa saja kehilangan nyawa mereka."

Maaf paman, penjelasanmu yang satu ini sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

"Sebentar Paman, darah membeku itu apa?" tanyaku.

"Oh, kau belum tahu ya. Begini, kau pernah terluka bukan?"

Tentu saja aku pernah terluka. Maksudku siapa pula yang tak pernah terluka dalam hidup mereka? Orang itu pasti benar-benar dilindungi oleh Jiwa Pensylon jika ia benar-benar ada.

Kuanggukkan kepalaku, menandakan jawaban iya.

"Apakah beberapa hari kemudian, di lukamu terdapat sesuatu yang berwarna hitam?"

"Iya."

"Nah, itulah yang dinamakan darah membeku. Orang tadi, darahnya sulit membeku. Karena itulah luka kecil saja bisa berakibat serius baginya."

Ah, aku paham sekarang. Begitulah pamanku, walaupun sekarang ia sering berurusan dengan kotoran ternak, namun pengetahuannya soal medis sama sekali tak bisa dipungkiri.

Kadang, pengetahuannya soal medis membuatku benar-benar memuji Jiwa Pensylon karena ternyata banyak sekali hal baik dan indah yang masih belum kuketa-

Tunggu dulu, aku mencium bau sesuatu...

"Paman..."

"Kau menciumnya juga ya?"

Bau terbakar.

...----------------...

Singkat cerita, pamanku memacu Snow dengan kencang. Kuda ini ternyata tidak secepat kuda pada umumnya, atau setidaknya tidak secepat Spirit.

Aku penasaran bagaimana bisa Norman memenangkan banyak balapan kuda dengan kuda seperti ini...

Dari kejauhan kulihat orang-orang dengan sedikit panik berbondong-bondong datang ke suatu tempat. Tentunya, dengan sigap Paman juga mengikuti mereka.

Tak lama berselang, orang-orang berhenti bergerak. Termasuk Paman yang menghentikan Snow. Kemudian, ada seseorang berteriak...

"SEMUANYA! KITA AKAN MENGUNGSI DI SINI!!!"

Mengungsi? Apa itu?

Aku dan Paman turun dari Snow. Kebingungan atas apa yang telah terjadi. Kenapa warga Wheatville berlarian kemari dengan panik? Kenapa mereka membawa barang-barang seakan ingin pindah rumah?

"Apa yang terjadi?" tanya Pamanku pada salah satu warga.

"Kemana saja kalian?! Wheatville telah diserang orang-orang gila!"

Apa?!

"Mereka membakar lahan kami, meruntuhkan rumah kami, membunuh sanak saudara kami! Mereka bukan manusia! Mereka iblis!!!"

Demi Jiwa Pensylon. Bagaimana bisa hal itu terjadi? Bagaimana bisa ada manusia yang hidup sekeji itu?

Klatak! Klatak! Klatak!

Dari jauh, aku mendengar sebuah bunyi. Bunyi langkah kaki kuda, dan juga sebuah ringkikan. Tak lama, sosok kuda berwarna hitam mendekati kami.

Tunggu dulu, apa itu... Spirit?

...----------------...

"Begitulah ceritanya bagaimana aku bisa menemukan Spirit." ucapku di perjalanan menuju pengungsian.

Sekedar mengingatkan, saat ini aku sedang menunggangi Spirit bersama Christopher yang sedang duduk di belakangku. Padahal ini kudanya...

"Kuda ini tak mau tenang sedikitpun, karena itu aku punya firasat kalau kau dalam bahaya. Karenanya, aku menunggangi Spirit untuk mencarimu.

Begitulah bagaimana aku bisa menemukanmu..."

Christopher hanya diam selama perjalanan. Diam tanpa berbicara sepatah katapun, bahkan suara hembusan nafas saja jarang terdengar. Maksudku, itu adalah hal yang wajar.

Siapa juga yang bisa berkata-kata setelah menyaksikan orang tua mereka mati? Apalagi digantung di sebuah orang-orangan sawah dengan kondisi mengenaskan tadi.

...----------------...

Tak terasa, kami berdua telah tiba di tempat pengungsian. Aku bisa melihat wajah Paman yang sama sekali tidak senang melihatku.

"Victoria! Kau kemana saja?! Kau bisa saja terbunuh!" bentaknya padaku.

"Tapi aku masih hidup kan, Paman?" ucapku sambil turun dari Spirit.

"Jangan lakukan itu lagi, mengerti?!"

Ku anggukkan kepalaku tanda mengerti akan amarahnya barusan.

Paman mencemaskanku, dan aku tahu itu. Namun, mau bagaimana lagi? Spirit dari tadi tak mau diam, dan selama di pengungsian tadi aku tidak melihat Christopher sama sekali.

Bicara soal Christopher...

"Christopher, ayo turun dari sana." kata Paman.

Christopher tetap terduduk di atas sana. Mulutnya terkunci rapat, dan pandangannya tetap saja tertuju ke arah Wheatville berada.

"Christopher?" Paman kembali memanggilnya.

Yang dilakukan Christopher tidak berubah sedikitpun. Dia tetap duduk di atas Spirit dan pandangannya tidak berpindah sedikitpun.

"Hei, Christopher." panggilku.

Masih saja sama, tidak ada tanda kalau anak dengan luka di jidat itu mau turun dari kudanya.

Tap.

Kusentuh bahunya, berharap kali ini dia melirik ke arah-

"Jangan ganggu aku." ucapnya.

Paman mendekati Christopher kemudian mengatakan...

"Christopher, mana keluargamu yang la-"

GREB!!!

Christopher menarik baju Pamanku sebelum kemudian berseru...

"KELUARGAKU MATI!!! Hiks... MATI!!! MEREKA SEMUA MATI!!! Hiks... MATI DIBUNUH OLEH PARA IBLIS TADI!!! APA KAU PUAS?!! PUAS?!! Hiks..."

Matanya merah berkaca-kaca, mulutnya sedikit bergetar, air mengalir dari mata dan hidungnya, nafasnya sesenggukan.

"Demi Jiwa Pensylon. Christopher, kau benar-benar butuh bantuan serius." kata Pamanku.

...----------------...

Beginikah bagaimana rasanya di pengungsian? Aku menyaksikan banyak orang menangis, mengamuk, dan juga melamun.

"Baiklah, Christopher. Lenganmu sudah kuobati." kata Pamanku

Ah iya, Christopher ternyata memiliki luka di lengan kirinya. Sepertinya lukanya cukup serius sampai Paman memprioritaskan Christopher daripada warga lain yang terluka.

"Hei, Christopher. Bilang apa saat ada orang yang membantumu?" tegurku.

Ia tetap diam, air mata masih mengalir dari kedua matanya. Ia sudah mau turun dari Spirit, namun anak ini malah melamun sambil melirik ke arah api unggun yang dibuat oleh warga sekitar.

Walau jujur, aku tak mengerti. Kalau mereka mau mengungsi, bukannya harusnya mereka sama sekali tidak terlihat?

"Anakku!! Cucuku!! Mereka membunuh anak dan cucuku!!" kata seorang wanita tua yang kalau kulihat dari badannya, rasanya ia sebentar lagi akan dipanggil oleh Roh Pensylon.

"Sekarang apa yang bisa kulakukan?! Keluargaku sudah mati! Hiks, Ibu... Ayah..." seorang anak umur sembilan tahun juga menangis tersedu-sedu.

Sementara itu, setelah aku memutar kepalaku sedikit ke arah yang berseberangan dengan kedua manusia malang tadi...

"KEMANA KEPALA DESA SAAT KITA MEMBUTUHKANNYA?! DIA MALAH KABUR BEGITU SAJA!!"

"DIA BILANG MAU MENGANTARKAN PUTRANYA UNTUK BERGABUNG DENGAN KNIGHTS OF PENSYLON!!"

"MEMANGNYA APA GUNANYA MEREKA?! MANA KNIGHTS OF PENSYLON SAAT KITA BUTUH MEREKA SAAT INI?!"

"MEREKA DATANG HANYA UNTUK MENAGIH PAJAK SAJA, SAAT SEPERTI INI MEREKA MALAH MENGHILANG!!!"

Warga yang marah dapat kulihat, dan kebanyakan menyalahkan Tn. Alexander, bahkan beberapa menyalahkan Norman.

Tak lupa juga, di pengungsian ini ada juga beberapa orang yang melamun saja selama ini.

Srek! Srek! Srek!

Salah satunya adalah temanku di sebelahku ini. Dia diam saja. Namun, tangan kanannya menggambarkan sesuatu di tanah dengan sebuah ranting kayu. Gambar yang amat sangat aneh.

Matanya berair, namun tatapannya tajam. Tangan kirinya mengepal, kemudian...

PUFF!!

Dengan tangan kanannya, Christopher melemparkan ranting kayu itu pada apapun yang ia gambar barusan. Membuat debu bertebaran ke mana-mana.

"Christopher? Kau baik-baik saja?"

Christopher menatapku sinis. Seakan ia memaksaku untuk tidak mengganggunya, namun...

"Victoria, apa kau tahu lambang apakah tadi?" tanyanya padaku sembari menunjuk ke arah benda aneh yang ia gambar barusan.

Aku menggelengkan kepalaku, karena jujur. Aku sama sekali tidak tahu apa yang ia gambar. Bahkan, aku baru tahu kalau yang ia gambar itu adalah suatu lambang.

"Kalau kau mau tahu, aku melihat adanya lambang ini di baju zirah orang-orang yang menyerang desa kita. Siapapun mereka, pasti ada hubungannya dengan lambang ini." Christopher kembali mengepalkan tangannya.

"Jadi, Victoria..."

Christopher berdiri dan kemudian berseru.

"Aku bersumpah, Demi Jiwa Pensylon, akan mencari tahu siapa yang ada di balik semua kegilaan ini, kemudian membunuh mereka semua! Satu demi satu sampai tak ada lagi yang tersisa dari mereka!

Jangan pernah lupakan itu, Victoria!"

Air matanya masih ada di matanya, dan tatapan matanya juga masih tajam seperti tadi. Namun aku bisa mengetahui satu hal.

Christopher telah berubah, dan ku harap Jiwa Pensylon tidak membiarkannya berubah jadi manusia yang lebih buruk.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!