Chapter 1 - Istal Keluarga

"Kakak! Bangun!" teriak seseorang tepat di telinga kananku.

Karena teriakannya yang kerasnya sekeras suara petir itu langsung menghantam gendang telingaku, kedua kelopak mataku terbuka.

"Aduh! Telingaku!" seruku.

Saat nyawaku mulai berkumpul kembali ke tubuhku, saat itulah aku sadar kalau saat ini dua adikku sedang duduk di samping badanku yang baru saja bangun dari tidur.

"Tck! Hei! Chris! Christina! Apa kalian tak punya cara lain untuk membangunkanku selain dengan membuatku jadi tuli?!" hardikku pada mereka.

Christina yang masih tujuh tahun murung setelah kuteriaki, namun Chris malah berbalik meneriakiku.

"Habisnya kakak tak bangun-bangun!" katanya.

"Tapi tak begitu pula caranya!" teriakku balik.

"Lalu bagaimana? Kemarin-kemarin kakak juga marah saat kusiram air agar bangun!"

"Karena air yang kau gunakan adalah air untuk irigasi!"

"Memangnya kenapa kalau air irigasi?!"

"Kotor tahu!"

"Lagian juga kakak nantinya akan kotor juga kok!"

"DIAM!"

Tiba-tiba saja, seekor beruang berwujud manusia (kata ayahku, bukan aku) menggebrak pintu kamar kami. Membuat jantungku copot, dan aku yakin jantung Chris dan Christina juga sama.

Di sampingnya, ada anak kecil berumur empat tahun yang sedari tadi menggenggam pakaiannya sambil menatap wajahnya takut. Ialah Christa, adik bungsuku.

"Christopher! Bereskan kamarmu! Chris! Christina! Kalian berdua bereskan ruang makan! Mengerti?!" teriak ibuku.

"Mengerti!" kata Chris.

"Siap, ibu!" ucap Christina.

Aku mencoba untuk protes. Kenapa? Karena seharusnya hari ini adalah giliran Christina, bukan giliranku untuk membereskan kamar ini.

"Tapi..."

"Tapi apa?!"

"Sekarang adalah giliran Christina yang membereskan kamar ini!" protesku.

Aku berhasil mengutarakan keberatanku terhadap perintah dari ibuku padaku. Namun sayangnya, ibuku jauh lebih cerdas dalam berdebat ketimbang diriku.

"Kau mau membereskan kamar ini, atau membereskan kandang sapi? Yang mana?!"

...***...

Mau tak mau aku harus tetap membersihkan kamar ini. Bukan masalah aku malas membereskan kasur ataupun apalah itu, masalahnya adalah Chris sering sekali mengompol.

Usianya sudah sebelas tahun, tapi kandung kemihnya sama lemahnya seperti anak yang masih berumur dua tahun. Maksudku, bahkan Christa saja sudah tak pernah mengompol di kasur lagi.

Ditambah lagi fakta bahwa di kamar ini hampir tak ada sirkulasi udara karena tak ada jendela sama sekali disini. Sehingga, bau pesing dari ngompolnya Chris semakin tajam tercium.

Kamarku sendiri dindingnya terbuat dari rotan yang dianyam, udara dari luar masuk ke kamar kami lewat celah-celah kecil dari anyaman tersebut. Karenanya, kamar ini sesak sekali.

Sudah tak terhitung berapa kali aku membayangkan untuk meruntuhkan beberapa bagian di "tembok" ini agar udara masuk, namun pengetahuanku akan apa yang akan kudapatkan dari tindakan itu menghentikan imajinasi liarku.

Namun, kalau boleh jujur ini bukan satu-satunya tembok yang berniat ingin kuruntuhkan. Tembok lainnya adalah tembok yang menutupiku dari dunia luar.

Tembok Pensylon, tembok pembatas Kerajaan Pensylon yang kalau rakyat biasa sepertiku berani menyentuhnya, bisa-bisa hilang tangan (sungguh, aku tak mengada-ngada)

Namun tak perlu aku berpikir jauh-jauh kesana, menyentuh lesung di pojok kamar ini saja aku diancam hukum pasung.

Kamarku sendiri hanya terdiri dari tiga tumpukan jerami dengan alas kain putih bersama dengan lemari lapuk yang sekarang sepertinya sudah jadi sarang rayap.

Lantainya sendiri hanya tanah biasa. Bukan terbuat dari keramik seperti Kastil Raja Pensylon yang ada di Muson sana, bukan juga dari kayu atau batu. Benar-benar hanya tanah.

Bisa dibilang, kamarku, Chris, dan Christina dulunya adalah gudang penyimpanan hasil panen. Bukannya aku buruk sangka, tapi aku punya beberapa bukti.

Jerami yang diubah kasur, lemari yang sudah lapuk, lesung di pojokan, tak lupa dengan beberapa hama tanaman di kamar ini, semuanya hanya bisa ditemui di gudang penyimpanan hasil panen.

"Ah! Akhirnya selesai juga!" ucapku.

Setelah selesai kubereskan "kamarku", aku segera bergegas ke bak mandi untuk pada akhirnya menghilangkan bau pesing tak tertahankan yang pindah dari lantai ke pakaianku.

...***...

"CHRISTOPHER! Kau itu sudah empat belas tahun masih saja mengulang kebiasaan... Kalau kau habis mandi, lap badanmu hingga benar-benar kering. Nanti kulitmu gatal-gatal." omel Ibu padaku.

Aku kesal, aku marah, aku benci, setiap kali Ibu mengatakan itu padaku. Saat ini ibu sedang di ruang makan dan aku di pintu masuk ke kamarku, tapi Ibu bisa tahu.

"Iyaaa! Aku tahu! Sabarlah!" keluhku.

Aku masuk ke kamarku, sambil terkadang menggerutu dalam hatiku soal hal kecil itu. Aku hanya tidak mengerti, sehebat apa pengelihatan Ibu.

Jarak Ibu dariku terpaut dua jendela besar dari rumah ini, tapi dia bisa tahu dengan detail dan akurat di bagian mana saja badanku masih basah.

Tanpa panjang lebar, kubuka lemari reyot yang dari bunyi pintu lemarinya saja sangat jelas mengindikasikan sudah berapa abad ia ada ditempat ini. Tak lupa, kuambil pakaian favoritku.

Baju yang awalnya berwarna kuning, hanya saja sudah hilang warnanya karena pewarnanya luntur keseringan dicuci; dan celana panjang coklat dari hadiah ulang tahunku yang ke-12.

Tak lupa kusisir rambutku yang seringkali menusuk kedua mataku karena sudah panjang dan ayahku masih menolak untuk memotongnya.

"Ayah hanya bisa memotong bulu domba, Christopher. Kalau Ayah disuruh memotong rambutmu, Ayah takut malah tanpa sengaja memotong lehermu." itulah yang kuingat.

***

"Ayolah! Cepat maju, dasar sapi sialan!" umpat ayahku pada sapi di depannya.

Ayahku sedang membajak ladang karena keluarga kami baru panen minggu lalu. Sehingga saat ini, dia membajak tanah agar bisa ditanami gandum.

Namun, sapinya tak mau maju. Aku terkekeh karena tahu alasannya. Karena sapinya terdiam melihat sapi betina milik Tuan Rivers tetangga sebelah.

"Hehe, sudahlah Ayah..." kataku menenangkan Ayah.

Ayah yang pada awalnya kesal, berubah muka setelah melihatku. Ia tersenyum dengan lembut sampai-sampai aku hampir lupa kalau dia baru saja mengumpat.

"Ah, Christopher. Sudah makan?" tanya Ayah.

"Sudah." jawabku sambil berjalan ke istal.

"Ah, Puji Jiwa Pensylon. Lalu kau mau kemana?"

"Aku mau bermain bersama teman-teman, Ayah."

***

Kriet!

Aku membuka pintu Istal. Istal ini cukup megah untuk ukuran seorang petani. Bahkan terlalu megah.

Aku bisa merasakan bahwa istal ini lebih mahal seluruh isinya jika dibandingkan dengan rumahku.

Selama aku berjalan di istal, aku menyaksikan tiga buah kuda warisan dari kakek.

Pertama ada Shadow, ia diberi nama begitu karena warna kulitnya yang sangat gelap. Segelap bayangannya, bahkan lebih gelap.

Kedua ada Wood, nama itu diberikan dengan alasan yang sama dengan Shadow, warna kulit. Kulitnya yang coklat membuat ayahku memutuskan untuk menamainya Wood.

Nah, yang ketiga ini adalah kuda kebanggaan keluarga Hamilton. Yakni Spirit III, biasanya kusingkat Spirit saja.

Spirit adalah kuda warisan dari kakekku, Kristoff Hamilton. Hampir sama dengan namaku bukan?

Konon katanya, Spirit I memiliki warna kulit yang seputih bulu domba dan juga bisa berlari dari Muson (Ibukota Pensylon) ke sini hanya dalam 1-2 jam (dengan kuda biasa butuh waktu sekitar 3 jam, cepat bukan?)

Saat aku mengingat cerita kakekku (tertulis di buku), aku terkadang heran. Walaupun Spirit III memang secepat Spirit I, bagaimana bisa Spirit III justru sehitam langit malam?

Kraak!

Aku membuka pintu bilik tempat Spirit tinggal. Kemudian aku berucap.

"Hai, Spirit. Siap untuk ke sana?"

Tak lama berselang, aku sudah duduk di pelana Spirit. Sesudahnya, kami berjalan keluar dari bilik dan juga akan menuju ke luar.

Selama aku keluar dari istal, aku selalu merasa bangga sekaligus merasa bingung setiap kali memikirkan bagaimana bisa kakek membeli kuda sebanyak ini.

***

Saat aku keluar dari istal, ayahku sudah menunggu di depan pintu. Sambil menyilangkan tangannya, ia berkata...

"Kau mau main apa, sampai-sampai membawa Spirit? Kau tidak akan balapan kuda lagi, kan?" tanya Ayah.

Aku membalas dengan cepat.

"Tidak kok, aku hanya ingin membantu Victoria menjual pupuk kandang keluarganya..." jawabku.

Ayahku menurunkan tangannya, dan berkata...

"Oh, begitu. Semoga Jiwa Pensylon melindungimu, Christopher."

Ayah tersenyum padaku, dan kubalas balik senyumannya. Lalu, kubalas pula ucapannya.

"Iya, Ayah juga. Ayo, Spirit!!" balasku sambil membawa Spirit maju.

Kuda itu meringkik dan melaju ke jalan raya. Menuju ke satu tempat, tempat dimana teman-temanku sudah menunggu.

"Norman, Victoria, tunggu aku." batinku.

***

Terpopuler

Comments

Serigala Putih

Serigala Putih

langsung teringat salah satu Hero Legenda Seluler dengan segala keracingan nya

2023-03-11

0

Serigala Putih

Serigala Putih

ngeri juga sih bapaknya, wkwj

2023-03-11

0

NeetCouple

NeetCouple

kata "aku" Ama "ku" nya bejibun, jadi salfok, terus rada gk nyaman... tapi semangat ae

2023-03-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!