Chapter 2 - Udara Segar

Wheatville, desa sederhana ini adalah tempat tinggalku. Jaraknya sekitar tiga jam naik kuda ke Muson, ibukota Pensylon. Wajar saja mengingat tempat ini adalah yang sangat dekat dengan tembok pembatas Pensylon.

Tempat ini sesuai namanya, adalah desa agraris yang isinya adalah ladang gandum dan tanaman lainnya sejauh mata memandang ditambah beberapa rumah sederhana dari kayu maupun rotan.

Penduduk desa ini menggantungkan nasib hidup mereka lewat tanaman gandum yang semakin lama semakin sedikit dan buruk hasilnya karena tanahnya mulai tidak subur, dan juga lahannya yang sedikit demi sedikit dialihfungsikan untuk kepentingan Kerajaan.

Angin sejuk mengusap wajahku hingga rambutku yang panjang berterbangan bagaikan potongan-potongan kertas hitam. Segar sekali rasanya, kuhirup dalam-dalam. Rasanya ingin sekali kuhabiskan semua udara segarnya untukku sendiri.

Walaupun segarnya udara ini harus tercampur dengan aroma kotoran sapi dan asap dari rumah Tuan Miller yang sedang membakar daun kering, tapi tidak terlalu kuambil pusing karena aku terfokus pada tembok besar yang menghalangi cakrawala.

"Andai saja aku bisa melihat apa yang ada dibalik tembok sana..." pikirku.

Namun, Spirit meringkik dengan keras sehingga aku kembali melihat kedepan, dan...

"Demi Jiwa Pensylon!" ucapku terkejut.

Segera kutarik tali kekang Spirit, aku bisa melihat bekas gesekan tanah karena berhentinya Spirit secara tiba-tiba. Setelah kuberhenti, aku melihat apa yang ada dihadapanku.

Di hadapanku adalah kerumunan warga yang sedang berkumpul untuk melihat, atau tepatnya mendengarkan sesuatu. Karena aku sedang naik kuda, aku bisa melihat sesuatu yang mengundang perhatian mereka.

Sesuatu itu adalah adanya dua orang dengan baju besi dan sebuah pedang dan tombak raksasa di masing-masing punggung mereka. Tak lupa dengan lambang Kerajaan Pensylon di dada mereka.

Sudah jelas, mereka adalah anggota Knights of Pensylon. Para tentara yang rela mati demi nama Sang Raja dan demi keamanan rakyat Pensylon.

Tapi dipikir-pikir, mau apa tentara mulia seperti mereka jauh-jauh datang ke desa kumuh seperti Wheatville?

"Hei, nona. Apa yang para Knights of Pensylon itu lakukan disini?" tanyaku pada salah satu penduduk di dekatku.

Wanita tua itu tidak ingin melihatku sama sekali, tentu saja karena dirinya terlalu tertarik pada kedua anggota Knights of Pensylon itu. Sambil melihat, ia berkata...

"Entahlah, tapi mereka sempat menyinggung soal para pengguna kekuatan sihir." jawabnya.

Pengguna kekuatan sihir? Maksudnya penyihir? Setelah semua orang yang ditangkap ataupun dibunuh karena sihir, sungguh?

Aku ingat kalau Ayah dulu pernah cerita kalau saat dirinya muda, ada seorang penyihir yang dipenggal dan kepalanya ditendang Sang Algojo mengelilingi Pensylon seperti permainan sepak bola.

Kenapa demikian? Karena orang itu terbukti bersalah atas pembunuhan Lord Karl, alias Raja Pensylon sebelumnya dan juga ayahanda dari Lord Kris yang menjabat saat ini. Hukumannya memang terlalu kejam sih, tapi percayalah.

Jika Ayah dibunuh oleh seseorang, aku akan senang jika si pelaku diperlakukan sama seperti itu. Bahkan aku akan lebih senang lagi jika aku sendiri yang melakukannya.

...----------------...

Semenjak pembunuhan terhadap Lord Karl, Lord Kris memerintahkan semua orang yang punya kendali akan kekuatan sihir untuk dieksekusi atau setidaknya ditahan di penjara.

Tua maupun muda, pria maupun wanita, bangsawan maupun rakyat jelata,  semua pengguna sihir jadi korban dari keganasan aturan itu.

Kurasa ada pengecualian bagi mereka yang sudah terlanjur bergabung dengan Knights of Pensylon. Karena aku pernah melihat adanya anggota Knights of Pensylon yang punya kekuatan sihir.

Tapi apapun itu, Puji Jiwa Pensylon aku bukan pengguna sihir...

...----------------...

Tanpa perlu kujelaskan, aku terlambat ke tempat kumpul biasaku dengan teman-temanku.

Tentu saja karena adanya anggota Knights of Pensylon berusan, aku harus melewati jalan lain yang lebih jauh untuk kesini.

Tempat kumpulku saat ini terletak di sebuah pohon apel yang ketinggian tanahnya sedikit melebihi tanah Wheatville.

Tanahnya dihiasi rumput hijau yang menyejukkan mata dan bunga daisy yang seringkali memikat kupu-kupu dan lebah.

Udara yang ada ditempat ini sejuk karena sinar matahari yang harusnya menusuk tanah hijau ini terhalang oleh pohon apel besar itu.

Ingin sekali aku tidur di bawah pohon ini karena udaranya yang sejuk. Tapi sayangnya di rumput hijau ini, akan ada ratusan semut yang akan menggigitku jika aku benar-benar melakukannya.

Tempat ini sangatlah nyaman untuk siapapun berkumpul. Oleh sebab itu, aku dan teman-temanku bermain disini. Walaupun kalau boleh jujur, temanku itu sedikit.

Hanya dua anak seusiaku di Wheatville yang mau berteman denganku, dan mereka berdua cemberut saat aku tiba di tempat biasa.

Raut wajah dan gerak tubuh mereka menunjukkan bahwa aku membuat mereka menunggu terlalu lama. Bahkan seekor kuda yang mereka bawa juga nampak membenciku.

Benar saja, tepat setelah aku turun dari Spirit, mereka memarahiku.

"Kau terlambat, Kristoff!" hardik seorang anak dengan pakaian ungu.

"Namaku Christopher, sialan!" balasku padanya.

Huh, kebiasaan sekali orang ini memanggilku dengan nama itu. Aku selalu kesal tiap kali temanku yang satu ini memanggilku begitu.

Namanya adalah Norman Alexander, putra dari kepala desa Wheatville. Aku bertemu dengannya saat ibuku tengah mengandung adikku, Chris.

Saat umurku empat tahun, aku ikut bersama Ayah mengantarkan Ibu ke rumah Tn. Alexander karena dia merasa perutnya sangat sakit. Ternyata, Chris sudah tak sabar melihat Skurendral.

Jadinya, Tn. Alexander bersama Ayah mengantar Ibu ke Muson. Meninggalkanku di rumahnya bersama Ny. Alexander, dan anak semata wayang mereka. Itulah saat pertama kali aku kenal dengan Norman.

"Kemana saja kau ini?!" teriak Victoria.

Lalu temanku yang ini bernama Victoria Hendrickson, gadis ini tinggal bersama pamannya, seorang penjual pupuk kandang. Gadis ini adalah sahabatku sekaligus tetangganya Norman.

Aku berkenalan pertama kali dengannya saat aku dan Ayah bersama-sama menjual hasil panen keluargaku ke pasar. Aku ingat kalau dulu dia menghardik kami karena kami "merebut" lapaknya.

Rupanya gadis ini salah orang, atau tepatnya salah lapak. Karena lapaknya yang sebenarnya adalah lapak kosong yang ada di sebelahku. Karena itu, dia minta maaf padaku dan saat itulah kami berkenalan.

Walaupun jujur, aku pernah melihatnya bermain bersama Norman sebelum aku mengenalnya. Saat aku mengunjungi Norman, terkadang aku melihatnya sedang bermain dengan Victoria.

"Maaf, tadi di jalan ada halangan." jawabku.

"Alasan." bantah Victoria menatapku dengan tajam dan menyilangkan tangannya.

"Aku serius, bodoh. Tadi ada anggota Knights of Pensylon yang menghalangi jalan. Jadinya aku harus memutar." bantahku balik.

Ceritaku membuat Victoria membuang pandangannya dariku, namun membuat Norman tertarik pada ceritaku. Saking tertariknya, dia seperti lupa kalau dia baru saja menghardikku.

"Anggota Knights of Pensylon? Di Wheatville? Mau apa mereka?" Norman tertarik.

Victoria juga tak dapat menyembunyikan ketertarikannya terhadap ceritaku. Walaupun wajahnya cemberut dan tangannya masih ia silangkan, namun sesekali gadis itu melirikku.

"Aku tak tahu. Tapi kata salah satu warga yang kutanyai di jalan, mereka datang karena adanya seorang pengguna sihir yang kurang mahir dalam bersembunyi." jelasku.

Norman bergumam tanda mengerti maksud ceritaku dan memakluminya. Victoria juga mulai menurunkan tangannya.

"Pantas saja. Lagi-lagi penyihir." kata Norman.

"Apa yang mereka lakukan pada si penyihir?" Victoria bertanya.

"Aku tak tahu. Setelah aku tahu alasan kedua anggota Knights of Pensylon itu datang ke Wheatville, aku langsung putar balik dan melewati jalan lain untuk kemari.

Bahkan kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak melihat pengguna sihir barusan. Yang kulihat hanyalah kedua anggota Knights of Pensylon tersebut." jawabku jujur.

Jawabanku mengakibatkan adanya reaksi kekecewaan dari wajah Norman. Sedangkan Victoria tak ada angin maupun hujan, malah murung dan duduk memeluk lututnya.

"Hei, Victor. Kau ini kenapa?" tanya Norman pada Victoria.

Victoria yang awalnya murung menaikkan kepalanya dan menyipitkan bola matanya ke arah Norman yang baru saja memanggilnya "Victor"

"NAMAKU VICTORIA!!" teriaknya pada Norman.

Percaya padaku, teriakan itu dapat membuat siapapun yang mendengarnya takut (atau berdebar-debar tepatnya). Maksudku, burung-burung yang hinggap di dahan pohon apel di belakangnya terbang semuanya.

"Mengerikan sekali..." pikirku.

Kalau aku saja takut setelah melihat tajamnya pandangan dan kerasnya teriakan Victoria, bagaimana dengan Norman?

"Santai saja, Victor-ia." kata Norman tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Orang ini sudah gila. Aku yang hanya mendengar dan melihat Victoria marah seperti itu saja sudah takut, kenapa dia yang jelas-jelas jadi orang yang dimarahi malah tenang dengan wajah tanpa dosa?

"Hmm..." Victoria cemberut.

Gadis ini kenapa sih?

"Hei, kau ini kenapa sih?" tanyaku.

"Dia memanggilku Victor, Christopher! Victor kan nama laki-laki!"

Ucap seseorang yang terkadang ikut-ikutan memanggilku Kristoff, dasar munafik.

"Aku tahu itu, maksudku sebelumnya. Kenapa kau tiba-tiba cemberut?" kutanyakan kembali.

"Ya, Victoria. Kenapa kau mendadak murung?" Norman sependapat denganku.

Victoria diam saja. Namun tidak untuk waktu yang lama. Beberapa saat kemudian, gadis itu angkat bicara.

"Tidakkah kalian merasa kalau diskriminasi terhadap para pengguna sihir di Kerajaan Pensylon itu sudah kelewatan?"

Aku merenungkan pertanyaannya. Benar juga apa yang Victoria katakan. Apakah memang yang dilakukan Kerajaan Pensylon terhadap para pengguna sihir itu sudah terlalu berlebihan?

"Tak perlu mengasihani para pengguna sihir. Mereka memang pantas menerima hukuman dan perlakuan seperti itu.

Maksudku, sudah berapa kali para penyihir hina itu membuat masalah di Kerajaan Pensylon?" jawab Norman dengan dingin.

Victoria nampak kesal saat Norman berkata seperti itu. Memang benar, Norman berucap seolah-olah tidak peduli akan nyawa para penyihir.

"Norman! Sebagian dari mereka hanyalah anak-anak!" bantah Victoria.

"Lalu kenapa kalau mereka anak-anak? Apa kita harus membiarkan anak-anak yang akan membuat lebih banyak masalah di masa depan?

Kau mungkin bisa kasihan pada mereka, Victoria. Tapi maaf, tidak denganku." Sembari mengepal tangan, Norman membuang mukanya.

Aku mengerti dinginnya sikap Norman terhadap para penyihir. Karena kejadian naas menimpa kedua orang tuanya saat pergi ke Kruelfeld (Kota yang terletak di dekat Muson, namun lebih jauh).

Seorang penyihir tiba-tiba saja menyerang kedua orang tuanya. Ayahnya selamat, namun tidak dengan ibunya. Yang paling parahnya, pelakunya berhasil kabur dan masih belum ditemukan hingga sekarang.

"Apa karena itulah kau ingin mendaftarkan dirimu ke Knights of Pensylon hari ini?" tanya Victoria yang nada bicaranya semakin menurun.

Temanku ini yang sebelumnya menatap Victoria dengan dingin berubah jadi menatapnya dengan murung. Jujur, aku jadi sedih juga melihatnya.

"Kalau boleh jujur, iya. Itulah alasanku." katanya pelan.

Sial, aku hampir lupa.

Norman akan meninggalkanku dan Victoria di Wheatville karena dia akan mendaftarkan diri menjadi anggota Knights of Pensylon mulai besok.

Kami bertiga sedih karena semua yang telah kami bertiga lakukan selama ini akan berubah jadi kenangan, dan mungkin hari ini akan menjadi hari terakhirnya bersama kami.

...****************...

Terpopuler

Comments

Serigala Putih

Serigala Putih

Keep Spirit

2023-03-14

0

Serigala Putih

Serigala Putih

Ayo kak, bagus kok

2023-03-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!