*PoV: Christopher*
"Kristoff..." panggil Norman padaku.
Sangat sulit melihat hanya dengan satu mata, aku benar-benar harus mulai membiasakan diri melakukannya.
"Ya?" sahutku.
"Bagaimana lukamu?" tanya Victoria, matanya merah. Pasti dia habis menangis. Norman, apa yang baru saja kau lakukan pada wanita satu ini?
"Parah." jawabku pelan.
Jawaban itu membuat Victoria beranjak dari tempat duduknya, begitu pula dengan Norman. Mereka berdua sama-sama mendekatiku.
"Separah apakah itu, Christopher?!" Victoria cemas.
Ku jawab mereka sambil menundukkan kepalaku...
"Aku kehilangan pengelihatan mata kiriku, dan luka di dahiku ini akan menjadi luka permanen."
"Astaga..." ucap Victoria.
"Iya, memang mengerikan. Jadi..."
Kutunjuk Norman yang terkejut dan mundur beberapa langkah dariku.
"Kau harus bertanggung jawab mulai sekarang, Norman! Ingatlah kalau ini semua adalah idemu, karena idemu lah aku jadi begini!" sentakku.
Norman tertunduk. Mulutnya tertutup rapat, raut mukanya nampak serius. Sangat berkebalikan dengan Norman yang biasanya santai bukan main.
"Jadi, kau harus tetap di sini untuk mengurus luka di wajahku dan mengajariku bagaimana caranya melihat dengan satu-" teriakku.
"Kristoff." ucapnya.
"Apa?!"
Norman yang pada awalnya tertunduk menaikkan kepalanya dan mendekatkan nya ke arah mataku.
"Kau tahu kalau aku sadar akan kebohonganmu, bukan?"
"Hah? Bohong? Darimananya coba? Mataku kehilangan pengelihatan nya, dan lukaku-"
GREB!
Norman menarik perban yang menutup mata kiriku. Tidak sepenuhnya terbuka, namun dapat dengan jelas menunjukkan bahwa mata kiriku tidak bermasalah sedikitpun.
"BOHONG! Kau pikir aku baru lahir kemarin?! Aku melihat dengan jelas kalau ranting itu hanya merobek dahimu! Bahkan ranting itu jauh dari mata kirimu!" teriaknya.
SIAL! KENAPA DIA BISA TAHU, SIH?! BRENGSEK!
Padahal aku sengaja meminta pamannya Victoria untuk sekalian membalut mata kiriku agar aku bisa berkata begitu, tapi dia menyadarinya secepat ini?!
Sialan! Norman sialan! Kenapa kau harus sepintar ini sih?!
"Hah?"
Norman kemudian mundur beberapa langkah, dan kemudian membentak kami berdua...
"Dengarkan aku, kalian berdua! Aku tahu kalau kalian tak ingin aku meninggalkan Wheatville, tapi ini adalah keputusanku sendiri! Jadi dengarkan aku baik-baik!
AKU AKAN BERGABUNG DENGAN KNIGHTS OF PENSYLON, SEKALIPUN ITU BERARTI KALIAN AKAN MEMBENCIKU SEUMUR HIDUP KALIAN!"
Bentakan itu membuatku dan Victoria diam seribu bahasa. Walaupun beberapa saat kemudian dapat kudengar semakin jelas isak tangis dari gadis di sebelahku ini.
Sialan, kenapa dia mau tetap pergi sih?
"DASAR BRENGSEK! KAU MAU APA SIH BERGABUNG DENGAN KNIGHTS OF PENSYLON?!" teriakku.
Norman menutup matanya, menghembuskan sebuah nafas panjang, dan berucap.
"Aku sudah bilang bukan? Aku akan bergabung agar aku bisa mencari penyihir yang telah membunuh ibuku dan kemudian membunuhnya dengan tanganku sendiri."
"DASAR BODOH!" kataku sambil menghajarnya.
BUG! Cret!
Tinjuku barusan membuat Norman tumbang. Tumbang ke tanah berlumpur, yang mengakibatkan beberapa lumpur terciprat ke pakaianku dan Victoria. Namun tak ada yang peduli akan hal itu.
"Grrh!" desahnya.
Kudekati ia, dan kemudian kuteriaki wajahnya.
"APA DALAM OTAKMU YANG BESAR ITU TAK PERNAH TERPIKIRKAN SETIDAKNYA SATU KALI SAJA DALAM HIDUPMU KALAU BERGABUNG DENGAN KNIGHTS OF PENSYLON ITU AMAT SANGAT BERBAHAYA?!" ketusku.
DUG!
"Aduh!" kataku.
Norman yang terbaring membenturkan kepalanya sendiri ke kepalaku. Karenanya, aku terjatuh ke arah berlawanan dengan Norman.
"Aku juga tahu soal itu!" balasnya.
Sialan, kepalanya keras sekali. Kurasa aku mengerti sekarang kenapa otaknya baik-baik saja walau pernah terbentur dengan kencang pada dahan pohon garis start itu.
"LANTAS KENAPA KAU MASIH MAU BERGABUNG KE SANA?!"
"AKU SUDAH BILANG KALAU-"
"HENTIKAN!!" teriak Victoria.
Teriakan yang membuatku dan Norman melihat gadis itu. Di matanya tiba-tiba ada air terjun dan nafasnya sesak sesak seperti seekor anjing yang mengendus (oke itu terkesan merendahkannya, tapi kalian tahu maksudku bukan?).
"K-hiks... K-kita kan s-sudah jan-hiks... ji unt-t-tuk-hiks tetap bersama, Norman!" ucap Victoria yang agak tidak jelas karena diselingi isak tangis.
Aku dan Norman terdiam mendengar gadis itu menangis semakin kencang. Kami berdua saling menatap satu sama lain.
"Norman, kumohon padamu. Tetaplah di sini. Kita bisa hidup sebagai seorang petani bersama!
Dengan kecerdasanmu, tak hanya kita bisa berjaya sebagai petani, kita juga bisa mengubah nasib warga Wheatville yang kumuh ini menjadi lebih baik lagi!
Kita tak lagi perlu khawatir akan pencuri, tikus, wabah penyakit, dan lain sebagainya! Itu semua bisa diwujudkan kalau kita tinggal bersama lebih lama lagi di sini!" jelasku.
Norman memegangi dahinya seakan berpikir, telapak tangannya menghalangi pandanganku terhadap kedua matanya.
Pria berpakaian ungu ini memanglah seorang pemikir, namun aku paham kalau ia melakukannya semata-mata agar aku dan Victoria tidak menyadari kalau ia mulai menangis (walaupun tentu ia gagal).
"Tidak bisa, Kristoff..." tolaknya.
"Apa maksudmu tidak bisa? Kau itu pintar! Sekalipun kita bertiga tidak sekolah, tapi kita bisa mengubah Wheatville bersama-sama!" ucapku.
Kami bertiga tinggal di kampung pelosok yang bisa dibilang 'terlupakan' oleh Kerajaan, jadi wajar saja jika di Wheatville ini sama sekali tak ada sekolah.
Maksudku, Norman dan Victoria saat ini pasti masih buta huruf kalau mereka tak pernah mengenalku sebelumnya. Dan sekalipun ada sekolah di sini, kurasa kami tetap tak akan bisa masuk karena masalah uang.
"Aku tahu soal itu." Norman setuju.
Norman setuju? Masih ada harapan ternyata...
"Nah, kan? Kau sendiri sudah tahu kalau-"
"Tapi aku tidak hanya ingin mengubah Wheatville, Kristoff!" teriaknya padaku.
Kali ini Norman tak tahan lagi. Ia juga sudah tak sanggup lagi menyembunyikan kesedihan yang dipendam nya saat ini. Matanya berkaca-kaca, suaranya juga serak.
Sial, saat kupikir masih ada harapan, ternyata itu hanya harapan palsu.
"Kau bilang apa?" kataku.
Mataku mulai berair saat mengucapkannya.
"Aku tak hanya ingin mengubah Wheatville, Kristoff. Aku juga ingin mengubah seluruh Pensylon jadi lebih baik. Dan kau tahu sendiri...
Satu-satunya cara agar anak kampung seperti kita bertiga dapat mengubah Pensylon jadi lebih baik adalah dengan bergabung dengan Knights of Pensylon." Norman menjelaskan padaku sembari mengalirkan air mata.
"Apa kau bodoh?! Mempertaruhkan nyawa sendiri demi suatu hal yang tidak pasti?! Pemikiran macam apa itu?!
Bagaimana bisa kau yakin kalau bergabung dengan Knights of Pensylon akan mengubah nasib Pensylon jadi lebih baik?!" sentakku.
Norman terdiam tanpa kata-kata.
"Kami butuh kau di sini untuk mengubah Wheatville jadi lebih baik, Norman. Jadi kumohon, jangan pergi tinggalkan kami..." kataku.
"Justru karena kalian ada di sini lah aku bisa pergi. Kalian akan berusaha mengubah Wheatville jadi lebih baik ketika aku berusaha membuat seluruh Pensylon jadi lebih baik. Mengerti?" ucapnya.
Aku kehabisan kata-kata dan akal, alasan apa lagi yang bisa kuucapkan dan kubuat untuk meyakinkan Norman untuk tinggal di sini.
Kletek! Kletek!
Dari kejauhan, suara sepatu kuda bergemeletuk semakin kencang. Ada yang datang, dan tak mungkin suara itu hanya berasal dari seekor kuda saja.
Siapapun yang mendekat ini, pasti menggunakan kereta kuda. Saat ku melihat siapa yang mengendalikan kereta kuda itu, aku langsung mengenalinya.
Ia adalah Tn. Alexander. Kepala Desa Wheatville, ayahnya Norman. Dari belakang kami bertiga, pamannya Victoria mendekati dan memperingatkan.
"Norman, ayahmu sudah datang. Bersiaplah..."
"Baik, Paman..." jawab Norman.
Norman berdiri dan sedikit membersihkan pakaiannya.
"Wheatville tak akan lagi sama tanpamu, kawan." ucapku sambil ikut berdiri.
"Aku tahu, Wheatville juga tak akan lagi sama saat aku kembali nanti. Itupun, jika aku kembali."
Norman melangkah menjauh dariku dan Victoria, setidaknya sampai...
Greb.
Victoria menggenggam lengan baju ungu kotor Norman. Membuat pria itu membalikkan badannya.
"Kumohon... Hiks. Jangan pergi, Norman. Tetaplah bersama-hiks! Kami.." gadis pirang itu memohon.
Norman kembali menatap ke depan. Kemudian berucap...
"Kuserahkan Snow padamu, Victoria. Jaga dia baik-baik..."
Victoria seketika berteriak...
"AKU TAK PEDULI SOAL KUDAMU ITU, NORMAN! AKU HANYA INGIN KAU TETAP DI SINI! Huuu...."
Tetes demi tetesan air mulai jatuh dari langit. Seakan-akan Jiwa Pensylon juga turut menangisi kepergian temanku ini.
Norman menghembuskan nafasnya, dan...
"Maaf, Victoria. Aku harus pergi." balasnya sambil menarik lengan yang Victoria genggam dan pergi.
"NORMAN!" pekiknya sambil berlari ke arah Norman.
Greb!
Victoria sampai harus dipegangi oleh pamannya agar ia bisa berhenti. Namun, aku tahu bahwa semua itu sulit bahkan bagi pamannya.
"LEPASKAN AKU, PAMAN!"
"Victoria tenangkan dirimu!"
"LEPAA-HA-AS! AKU BENCI KAU, NORMAN!" teriak Victoria diikuti dengan isak tangis.
Berkebalikan dengan Victoria yang dipaksa diam namun tidak mau, aku hanya bisa diam membeku. Kakiku rasanya lumpuh, badanku kaku, dan bicara pun aku tak mampu.
Kereta kuda Tn. Alexander melambat sebelum akhirnya benar-benar terhenti di depan rumah ini. Norman sendiri sudah menunggu di pinggir jalanan berlumpur itu.
"Kau sudah siap, Norman?" tanya pria itu.
Norman nampak mengusap kedua matanya. Setelahnya, anak berbaju ungu itu menundukkan kepalanya dengan perlahan.
"Ya..." jawabnya lemah.
"Baiklah nak, ayo kita pergi sebelum hujannya semakin besar..." kata ayahnya Norman.
Norman kemudian menaiki kereta itu. Dari atas kereta kuda tersebut, Norman melambaikan tangannya pada kami.
"Selamat tinggal, Christopher Hamilton... Selamat tinggal, Victoria Hendrickson... Kuharap, kita bisa bertemu kembali."
Anak itu pamit dengan senyuman, namun disertai air mata yang mulai tertutupi air hujan yang membasahi wajahnya.
"TIDAK!" seru Victoria.
Kletek! Kletek!
Dua kuda yang menarik kereta kuda melangkahkan kaki mereka, membuat kedua ayah dan anak itu mulai melaju. Menjauh meninggalkanku dan Victoria di tempat ini.
"NORMAAAANNN!!!" Victoria semakin keras berteriak dan meronta.
"Victoria! Tenangkan dirimu!" pamannya berusaha menenangkannya.
Semakin jauh Norman meninggalkan kami, semakin pula aku merasakan ada sesuatu yang menggangguku.
Sesuatu, yang membuatku harus mengejarnya.
Tanpa ragu kuambil sebuah langkah cepat dan kemudian berlari mengejar kereta kuda itu. Aku bahkan lupa kalau aku punya kuda.
"HEI! CHRISTOPHER! KAU MAU KEMANA?! LUKAMU BELUM SEMBUH!" teriak paman Victoria.
Aku tak peduli.
Sekalipun teriakan itu terdengar...
Sekalipun tanah tempatku berjalan itu semakin licin setiap saatnya...
Sekalipun wajahku rasanya seperti ditusuk ratusan atau ribuan jarum air dari langit...
Aku tak akan pernah berhenti berlari, tidak sampai Norman kembali atau setidaknya berhenti.
"NORMAN! KAU DENGAR AKU?! HEI! DASAR BRENGSEK! KEMBALI!" seruku.
Tenggorokanku sangat sakit karena berlari sekaligus berteriak. Tak hanya itu, kakiku juga makin pegal karena berusaha berlari kencang sekaligus menjaga keseimbangan di tanah lumpur yang licin ini.
Memang ide bodoh untuk mengejar sebuah kereta kuda hanya dengan berlari, di tengah hujan pula. Kereta kudanya bukannya semakin dekat malah semakin jauh. Harusnya aku menunggangi Spirit saja...
"NORMAANNN!!" teriakku.
Slip!
Sial...
BRUK! Splat!
Tanah yang licin karena lumpur jadi semakin licin karena hujan. Akibatnya, kakiku kehilangan keseimbangan dan hasilnya membuatku jatuh tersungkur.
"AHH!!!" jeritku karena mendarat tepat di dahi terlebih dahulu.
Namun, tak terlalu kupikirkan. Aku segera bangkit kembali untuk kembali mengejar kereta kuda sial itu. Namun saat kuangkat kepalaku...
Kereta kuda itu, sudah menghilang dari pandanganku. Wajahku yang basah karena air hujan membuat mataku semakin berair.
Sialan, aku tak tahan lagi...
"NORMAN!!!!" seruku sambil menangis.
Hujan turun semakin deras. Dinginnya udara saat hujan bercampur dengan air semakin menderu badanku yang masih terbaring di tanah.
Bajuku sobek sedikit, celanaku kotor dan basah, perban di dahiku terlepas, semua itu terjadi karena aku terjatuh barusan. Dahiku masih belum sembuh, rasa sakitnya mulai kembali saat perbanku lepas.
"Hiks... Norman..." kataku pelan.
Aku tak tahu dimana ia sekarang, atau apakah dia mendengar teriakanku. Namun satu hal yang aku tahu pasti...
Dia tidak akan pernah menyahut seruanku padanya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments