Chapter 8 - Alasan Norman

Ayam telah berkokok, bayangan gelap dari Jiwa Pensylon mulai meninggalkan langit di desa kumuh ini. Dari ufuk timur sana, sinar matahari mencolok ku tepat di kedua mataku yang sedang melamun di teras rumah kayu ini.

Salahku juga sih, aku baru ingat kalau pintu depan rumah Victoria menghadap tepat ke arah silaunya cahaya Jiwa Suldruli berasal.

Terasa janggal, mengingat biasanya aku terbangun saat dibangunkan oleh seseorang. Baik itu adikku, ibuku, ayahku, dan ketika aku menginap, temanku.

Kali ini, aku bangun paling awal. Jangankan Victoria, bahkan pamannya saja masih belum mau pergi dari alam mimpi saat ini. Aku penasaran seindah apa mimpi mereka...

Lagi-lagi, aku bermimpi soal janjiku, Victoria, dan Norman sekitar empat tahun yang lalu. Atau lima? Tunggu...

Sial, aku melupakannya.

Tapi jangan terlalu pikirkan soal itu, aku heran. Kenapa mimpi itu harus datang ketika Norman telah pergi dari sini? Hadeh, demi Jiwa Pensylon...

Pagi ini rasanya sulit sekali bagiku untuk merasakan tenang. Mungkin karena kemarin aku berlari di tengah hujan, penciumanku mulai terganggu.

Udara saat pagi hari seharusnya memiliki aroma segar tanaman dan rumput liar dicampur dengan sedikit bau pupuk kandang. Namun kali ini, yang bisa kucium hanyalah bau minyak.

Kriet!

Pintu di belakangku terbuka, dari balik sana kulihat seorang gadis pirang yang rambutnya masih acak-acakan dan matanya masih agak kemerahan.

"Eh? Christopher? Kau bangun pagi sekali..." katanya.

Aku tidak membalas ucapannya, aku hanya melihat wajahnya (terutama di bagian matanya). Matanya merah karena gadis ini habis menangis semalaman dan tidur hanya sebentar.

Kalau saja aku tak terlalu mengenal Victoria, aku pasti berpikiran kalau ia ini anak yang cengeng hanya karena ia ditinggal oleh temannya (atau malah lebih dari itu? Aku tak tahu pasti)

Namun karena aku sudah kenal dengannya cukup lama, aku rasa aku mengerti kenapa gadis ini sangat sedih ketika Norman pergi, jadi biar aku ceritakan.

Dulu, dulu sekali ketika Victoria dan aku bahkan belum saling kenal, kedua orang tua Victoria adalah anggota dari Knights of Pensylon dimana keduanya bertugas sebagai pengintai.

Kurasa dari kalimatku barusan, siapapun juga dapat menyimpulkan apa yang terjadi pada kedua orang tua Victoria setelahnya.

Mereka diantar kembali dalam keadaan tak bernyawa dengan luka di tubuh mereka yang bisa dibilang tidak wajar. Setidaknya itulah yang dikatakan pamannya padaku.

Ketika Victoria mendengarnya, gadis malang itu berubah jadi pendiam, dan hingga sekarang Victoria tak mau membicarakan soal itu lagi (aku tak bisa menyalahkannya, gadis yang malang).

Makanya ketika Norman pertama kali mengatakan bahwa ia ingin bergabung dengan Knights of Pensylon, Victoria adalah orang pertama yang menentangnya.

"Sedang apa dirimu di sini?" tanya gadis itu.

"Menatap matahari terbit, hanya itu." jawabku.

"Kau belum mau pulang?"

"Belum. Aku rasa sehabi-"

Tep! Tep! Tep!

Tepat setelah ucapan belumku keluar, dari belakang gadis pirang di belakangku ada langkah kaki berat yang mendekati kami berdua.

"Victoria, Christopher, bisakah kalian..."

Aku dan Victoria menatapnya, raut wajah kami sama persis (setidaknya menurutku). Kami sudah tahu apa yang ia inginkan, dan apa pula yang harus kami lakukan.

...----------------...

"Fyuh, melelahkan sekali..." keluhku.

Aku dan Victoria baru saja selesai mengirimkan dan menjual stok pupuk kandang ke toko-toko terdekat. Sebagai akibatnya, singkatnya kami berdua benar-benar harus mandi.

Spirit dan Snow yang kami giring pun berjalan dengan santai. Seakan memberi kami berdua kesempatan untuk bicara karena kalau boleh jujur...

Kami memang dekat, tapi tidak sedekat itu.

Kami berteman hanya karena satu teman yang sama, Norman. Yang sekarang sudah pergi meninggalkan kami.

"Hadeh, pakaian kita sudah kotor, bau pula... Kita benar-benar butuh mandi. Haha..." celetukku.

Tetap saja, gadis itu tidak berucap sepatah katapun. Bahkan sejak kami disuruh hingga sekarang pun ia tak pernah membuka mulutnya lagi seakan-akan mulutnya ditempeli lem kanji saja.

Pasti ada yang salah dari gadis ini, dan mungkin aku sudah tahu alasannya.

"Hei, Victoria. Kau sedang sakit?" tanyaku.

"Hmm..." gumamnya,

Atau mungkin tidak. Sialan, gumamannya itu membuatku bingung apakah ia menjawab 'Iya' atau 'Tidak'.

"Kau ini kenapa, sih?" tanyaku sekali lagi.

Pertanyaanku kali ini dijawab hanya dengan sebuah lirikan tajam darinya. Aku bukan ahlinya dalam membaca pikiran, namun kurasa yang ia maksud adalah...

"Jangan ganggu aku."

Karena itu, aku memilih untuk diam saja. Namun, beberapa saat kemudian...

"Hei, Christopher..." panggilnya.

Kusahut gadis itu dengan melihatnya. Ia sama sekali tidak melihatku. Ia hanya menunduk. Sehingga kurasa, ia akan menanyakan hal serius.

"Iya?"

Hembusan nafas keluar dari mulutnya yang agak mungil. Sebelum ia bertanya "Kenapa sih Norman harus pergi meninggalkan kita di sini...?"

Ah, jadi itu sebab ia tetap diam. Bodohnya aku berpikir kalau Victoria sedang sakit.

"Lah, bukannya dia sendiri yang mengatakannya? Dia ingin mengubah Pensylon menjadi lebih baik. Karena itulah dia ingin bergabung dengan Knights of Pen-" jawabku.

"Tapi apa itu satu-satunya cara untuk melakukannya?!" potongnya dengan keras.

Karena sentakan itu, aku terkejut. Bahkan Spirit dan Snow yang awalnya berjalan santai sekarang terdiam begitu saja.

"Maksudku, apa tidak ada cara lain yang lebih tidak mengancam nyawa?! Bergabung dengan Knights of Pensylon itu sama saja dengan bunuh diri! Kau sendiri tahu itu kan, Christopher?!" ucapnya.

Aku terdiam seribu bahasa. Tak tahu harus menjawab apa. Di hadapan gadis yatim piatu ini aku tak bisa bisa bicara apapun layaknya tanaman.

"Jawab aku, Hamilton!" teriaknya padaku.

Kutarik sebuah nafas, dan dengan keberanian kukatakan padanya...

"Mau bagaimana lagi Victoria, satu-satunya cara bagi anak petani seperti kita untuk mengubah Pensylon jadi lebih baik adalah d-"

"JANGAN KONYOL, CHRISTOPHER!"

Victoria berteriak sampai-sampai kudengar suaranya pecah. Teriakan itu membuat burung-burung yang bertengger di sekitar berterbangan dan Spirit hampir saja kabur jika aku tidak memeganginya dengan erat.

"Bergabung dengan Knights of Pensylon tidak akan mengubah apapun, tahu! Bergabung dengan mereka sama saja dengan mencabut nyawa sendiri!

Anak-anak petani seperti kita ini, jangankan mengubah Pensylon, mengubah Wheatville saja sudah mustahil, kau tahu?!" soraknya.

"Norman bergabung dengan Knights of Pensylon demi mengubah Wheatville, Victoria!" ucapku.

"Kalau bergabung dengan Knights of Pensylon benar-benar bisa mengubah Wheatville jadi lebih baik, Wheatville tidak akan jadi desa kumuh lagi sejak lama!"

Sial, gadis ini ada benarnya juga soal it-

"Kau tahu kalau kedua orang tuaku bergabung dengan Knights of Pensylon, bukan?! Katakan padaku! Dimana mereka sekarang?!" hardiknya menyambung bentakannya sebelumnya.

Pertanyaan itu membuatku terdiam. Bukan hanya karena teriakan itu. Namun juga apa yang terjadi pada Victoria beberapa saat setelahnya.

"Hik... Dimana... Mereka... Hik..." ia mulai menangis.

Bruk!

Gadis itu berlutut sembari menutup kedua matanya yang mulai mengalirkan air matanya. Ia menangis.

Snow yang ada di sebelahnya pun mencoba menghiburnya dengan mengusapkan kepalanya pada Victoria.

Dengan perasaan bersalah, kudekati gadis itu...

"Sudahlah, jangan menangis... Aku mengerti kalau ini ber-" ucapku sembari mengusap punggungnya.

"Memangnya apa yang kau mengerti..." katanya tertahan sedikit oleh tangisannya.

Grusuk!

Gadis itu mendorongku ke tanah dan berdiri seketika. Tidak sakit, namun aku tak bisa bangkit lagi.

"MEMANGNYA APA YANG KAU MENGERTI DARIKU, CHRISTOPHER?!"

Sial. Tak pernah seumur hidupku kubayangkan bahwa Victoria akan semarah ini.

"Kau tak pernah mengerti bagaimana rasanya kedua orang tuamu direbut begitu saja darimu! Kau juga tak tahu arti dari kepergian Norman bagiku! KAU TAK PERNAH TAHU RASANYA ITU SEMUA!"

Aku terdiam, lagi dan lagi.

"Uhuk, uhuk!"

Teriakan demi teriakan itu pasti membuat tenggorokannya sakit. Mendengarnya saja sudah membuat tenggorokanku ikut sakit.

Victoria mengusap air matanya sekali lagi, dan mengambil tali yang mengekang Snow. Setelahnya ia berkata.

"Tapi memangnya apa yang anak manja sepertimu tahu soal kehilangan? Kau bahkan tidak pernah berpikir logis.

Kau selalu saja berpikir dengan imajinasi belaka tanpa adanya logika. Tak heran semua bilang kau itu kekanak-kanakan." sindirnya sambil menjauh dariku yang masih tergeletak di tanah.

Grrh. Sialan.

Aku malah membuat keadaannya semakin parah. Benar kan? Kerja bagus, Christopher. Kerja bagus.

Sek! Sek!

Bertumpu pada Spirit, aku berdiri kembali dan mengusap pakaianku yang kotor karena debu (walau sejak awal memang sudah kotor karena pupuk kandang)

Aku sendiri melihat Victoria menggiring Snow menjauh sambil mengusap matanya dari belakang, dan aku tidak mengikutinya karena kami di persimpangan, dan arah rumah kami berbeda.

Hadeh, aku tak tahu harus berbuat apa dengan gadis satu ini. Demi Jiwa Pensylon...

Norman. Kenapa kau harus pergi sih?

...----------------...

Tep. Tep. Tep.

Aku bergerak langkah demi langkah menuju rumahku. Dengan Spirit di sebelahku, aku kembali pulang. Namun dengan perasaan yang tak pernah kurasakan.

Aku sudah sering pulang dengan senang, sedih, kecewa, marah, benci, takut, dan lain sebagainya. Karenanya aku hafal betul apa yang kurasakan saat aku berjalan pulang ke rumahku.

Namun kali ini, aku tak bisa merasakan apapun kecuali harum minyak yang dari tadi menusuk penciumanku.

Di sebelah kiri, Tuan Miles sedang menanam gandum. Biasanya aku takut padanya karena dulu pernah merusak ladangnya hingga ia mengadu pada orang tuaku, namun sekarang aku tak peduli.

Beberapa langkah ke depan, Tuan Rivers tetanggaku sedang memerah sapinya, dan aku tidak peduli ketika biasanya aku akan menyapanya dan ia akan menawarkan segelas susu hangat padaku.

Bahkan ketika aku akan sampai di rumah seperti sekarang saja aku tidak lagi peduli.

Aku sama sekali tidak peduli akan sekitarku lagi, karena yang kurasakan hanyalah bingung oleh banyaknya tanda tanya besar yang selalu saja hinggap di kepalaku.

Apa ucapan Victoria selama ini memang benar? Kalau memang benar, lantas apakah perkataan Norman soal membuat Wheatville jadi lebih baik itu hanyalah omong kosong?

Lantaran alasan Norman untuk bergabung dengan Knights of Pensylon itu sebenarnya apa?

Apakah sebenarnya Norman benar-benar bergabung hanya karena dendamnya pada penyihir?

Apakah Norman tidak peduli pada Wheatville?

Apakah Norman tidak peduli pada kami?

BRAK!

Bunyi kencang telah membuatku berhenti melamun dan melihat kenyataan. Lebih tepatnya, suara itu berasal dari Istal rumahku.

Apa ada sesuatu yang salah?

"Tetaplah di sini, Spirit." perintahku pada kuda hitam kesayanganku.

Kuda itu mendengarku, ia tetap berada di tempatnya dan memakan rerumputan di sekitarnya.

Yah, setidaknya lebih baik lah daripada memaksanya untuk tetap diam. Lagipula pergi ke ujung desa membawa beban berat sudah pasti melelahkan bahkan untuk seekor kuda, bukan?

Ku dekati tempat itu secara perlahan untuk berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang tidak beres. Setelahnya, aku perlahan-lahan membuka pintu Istal.

BRAK!

Pintu yang kubuka perlahan mendadak terbuka dengan kencang dan membuatku terkejut dan terjatuh ke tanah.

Belum sempat ku berkata "Aduh", dua orang dengan kain yang menutupi hidung dan mulut mereka tiba-tiba saja keluar dari Istal dengan beberapa barang di pundak mereka.

Tidak hanya itu, kedua perampok itu juga kabur dengan menunggangi Shadow dan Wood. Kedua kudaku, mereka menggunakannya?!

Hmm, aku mengerti sekarang.

Aku sudah tahu apa yang terjadi, aku juga tahu mereka siapa, dan aku juga tahu aku harus berbuat apa.

Namun pertama-tama, aku harus menarik nafasku sedalam mungkin, kemudian dengan segenap tenaga berseru...

"PERAMPOK!!"

...****************...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!