Joe membantu Virranda membuka helm dikepalanya dengan hati-hati.
"Aku akan pergi selama seminggu, kau tidak takut kan tinggal sendiri di apartemen?" ucap Joe seolah berpamitan. Ia memasukan helm yang digunakan Virranda kedalam jok motornya.
"Seminggu? Memangnya--, kau mau kemana?" tanya Virranda penasaran. Ia menatap wajah Joe yang lumayan tampan menurut pemandangannya. Dan hari ini tidak biasanya suami bayarannya itu berpakaian rapi, mengenakan kemeja putih dengan celana kain berwarna gelap, dan sepatu kulit mengkilap.
"Aku akan terbang ke London hari ini, semoga saja ini adalah keberuntunganku," ucapnya sambil tersenyum dengan pandangan menerawang kedepan.
Virranda dapat melihat ada senyum pengharapan diwajah pria itu, tapi ia enggan untuk bertanya lebih jauh. Bila itu sesuatu yang baik, ia pun turut mendoakan semoga Joe mencapai harapannya itu.
"Aku pergi dulu," Joe mengenakan kembali helmnya, menarik resleting jacketnya, lalu naik keatas motornya.
"Kalau kau merindukanku, telepon saja aku." godanya sambil tersenyum dibalik helmnya. "Kau tahu kan kode negara-nya bila ingin menelponku?" sambungnya lagi.
Virranda hanya tertawa kecil mendengar ucapan suami bayarannya itu. Tidak mungkin dirinya merindukan pria binal itu, batinnya sambil terkekeh.
Joe-pun ikut tertawa, ia tahu kalau Virranda sedang menertawainya karena ucapannya barusan. Ia tahu pasti, Virranda tidak tertarik padanya, mereka hidup bersama hanya karena satu alasan, saling memiliki kepentingan. Kepentingan Virranda adalah menutup aib akibat kehamilannya. Kepentingan Joe, membutuhkan uang saat itu.
Drum! Drum! Drum!
Joe menghidupkan mesin motornya dan siap menjalankannya.
"Nona yang paling cantik dan mempesona, aku meninggalkan sejumlah uang di atas kulkas, untuk uang makanmu. Aku tidak mau kau dan bayi dalam perutmu itu kelaparan," ucap Joe disela-sela suara raungan motornya yang siap melesat.
"Terima kasih Joe, kau sangat baik," ucap Virranda terharu. Sekalipun Joe pria binal menurutnya, tapi laki-laki itu selalu bersikap baik dan tidak kasar padanya dari awal mereka menikah.
"Sama-sama. Aku memang suami yang baik dan bisa diandalkan," ucapnya memuji diri sendiri dengan senyum yang mengembang.
"Pergilah sekarang. Jam kerjaku sebentar lagi akan dimulai," Virranda mendorong punggung Joe pelan, sehingga pria itu terpaksa menjalankan motornya.
Sebenarnya ia merasa berat meninggalkan Virranda, walau hubungan mereka tidak terlalu dekat. Ia takut Virranda kelaparan, karena wanita itu tidak pandai memasak. Siapa yang akan mengambilkan minuman hangat disaat isterinya itu muntah-muntah ditoilet, dan banyak kekhawatiran lainnya yang ia rasa sambil melajukan kendaraannya ke bandara.
...🍓🍓🍓...
"Apa pria itu suamimu?"
Virranda kaget, ia masuk dan membawa berkas ditangannya, lalu mendekat ke meja direkturnya.
"Ini Tuan berkas yang harus Anda periksa dan tanda-tangani," Virranda meletakan berkas diatas meja tepat dihadapan Ferdinand.
Plak!
Virranda kembali terkaget dengan wajah menegang, bos dingin-nya itu tiba-tiba memukul berkas yang ia sodorkan dihadapannya dengan tatapan tajam.
Ia berusaha mengatur detak jantungnya yang berpacu begitu kencang, hampir saja kata umpatan melompat keluar dari bibir merah menyalanya akibat ulah sang majikan yang mengagetkannya.
"Kau tidak dengar pertanyaanku? Atau kau sengaja mengabaikannya? Heum?" ucap Ferdinand lagi dengan tatapan masih terlihat tajam.
"Tuan mengagetkan saya, jadi saya harus menormalkan detak jantung saya dulu baru bisa menjawab. Mengagetkan wanita yang sedang mengandung adalah tindakan kejahatan. Bila terjadi sesuatu pada diri saya dan bayi dalam kandungan saya, apa Tuan mau bertanggung jawab?" ucap Virranda mulai muak dengan sikap dingin, kasar, dan egois direkturnya itu. Sudah berjalan tiga minggu dirinya berkerja di perusahaan itu, membuatnya mulai mengenal karakter sang majikan.
Jika saja, ia tidak membutuhkan pekerjaan itu untuk kelangsungan hidupnya dan bayi dalam kandungannya, tentu saja ia sudah mengundurkan diri dari sana.
Ferdinand terdiam, ia mengendorkan saraf-sarafnya yang sempat menegang disekitar rahang dan lehernya. Tatapan tajamnya pun ikut berubah datar.
"Apa pria yang mengantarkanmu tadi, dan yang berbincang lama didepan lobby itu adalah suamimu?" ulang Ferdinand. Kali ini suaranya terdengar rendah dan datar.
"Iya, dia suami saya," sahut Virranda tanpa menatap wajah direkturnya.
"Heuhh!" Ferdinand langsung tertawa sinis, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi dibelakangnya dan memutarnya kekiri dan kekanan dengan bebas.
"Ternyata kau memiliki selera rendahan," Ferdinand kembali melanjutkan tawanya, "Penyanyi cafe rendahan seperti itu ternyata bisa memikat hatimu," ucapnya lagi dengan nada mengejek.
Virranda yang semula tidak ingin menatap wajah direkturnya, kini mengarahkan tatapannya langsung ke retina mata milik sang majikannya. Ia seolah melihat diri ayahnya pada pria dihadapannya, sombong, arogan, dan suka merendahkan. Apakah mereka memiliki ikatan darah? Sehingga memiliki karakter yang hampir mirip, batinnya.
Tidak, kesombongan tidak ada kaitannya dengan pertalian darah, tapi dimiliki oleh insan yang merasa dirinya lebih hebat, lebih baik, lebih tinggi, dan lebih dari orang lain yang dianggap rendah darinya. Padahal itu hanya perasaannya saja, tidak ada yang lebih baik dimuka bumi ini, dimata Tuhan semua derajat sama, manusianya saja yang membedakan berdasarkan kasta, status sosial dan lainnya.
"Kenapa? Kau tidak terima dengan apa yang aku katakan? Bukankah itu benar? Seleramu sangat jelek," Ferdinand kembali tertawa, tapi tidak seseru sebelumnya.
"Saya baru menyadari, ternyata tuan Direktur yang dingin, tampan, dan terhormat, cemburu pada seorang penyanyi cafe," timpal Virranda tersenyum sinis. Ia sengaja mengatakannya, sebab terlalu muak dan muak. Mungkin pengaruh jabang bayi dalam rahimnya, ia sangat benci melihat wajah pria dihadapannya yang mentertawai dirinya.
Tawa Ferdinand mendadak sirna, sumpah demi apapun! Dirinya tidak terima dikatakan cemburu pada seorang penyanyi cafe yang tidak layak dibandingkan dengan dirinya.
"Tarik ucapanmu," wajah Ferdinand langsung menegang.
Bukannya takut, Virranda malah tersenyum puas, hatinya begitu bahagia tiada tara, ternyata ucapan jitunya menembus hati pria memuakkan dihadapannya.
"Bukankah yang saya katakan benar tuan Direktur? Anda sangat cemburu pada seorang penyanyi cafe yang anda anggap remeh itu." ulang Virranda lagi.
"Ternyata cinta itu sangat sederhana, siapapun manusia yang hidup dimuka bumi ini berhak mendapatkan cinta, sekalipun pekerjaannya hanya seorang penyanyi cafe," Virranda semakin menjadi-jadi. Entah apa yang ia fikirkan, mengesampingkan rasa takutnya, untuk melampiaskan rasa kesalnya pada Ferdinand, sepertinya ada rasa dendam yang harus terbalaskan, sedangkan dirinya juga tidak tahu apa itu, mereka baru saja kenal, dan menjadi direktur dan asisten dalam satu pekerjaan. Ucapan panjang lebarnya membuat Ferdinand semakin geram.
"Cukup! Berikan surat nikah aslimu sekarang juga dimejaku. Baru aku percaya kalau penyanyi cafe itu adalah benar suamimu."
"Sudah satu minggu ini kau mengulur-ngulur waktu untuk tidak memberikannya padaku dengan alasan lupa membawanya," tegas Ferdinand berusaha menahan emosinya.
Bersambung...👉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
ayu nuraini maulina
selalu yg d Padang dr segi materi jgn meng'jas orang itu duluan mas bro
2023-09-14
2
Fenti
hahahaha, minta buku nikah mulu, gak terima virranda udah menikah
2023-05-16
1
Fenti
hahahahaha
2023-05-16
1