Enam bulan kemudian...
"Kau sepertinya sangat bahagia?" Virranda mengunyah makananya, ia menatap Joe yang sedari tadi menunjukan senyum sumringah diwajahnya.
"Aku, sudah diterima menjadi seorang pilot," sahutnya menatap wajah Virranda yang mendadak terpana mendengar ucapannya, tapi sedetik kemudian wanita itu cepat-cepat menelan makanan yang masih tersisa dalam mulutnya.
"Kau serius?!" tanya Virranda tak percaya.
"Iya, aku serius. Beberapa kali aku terbang ke London, meninggalkanmu, bertujuan mengikuti test disana, dan ini juga tidak lepas berkat doamu juga," sahutnya sungguh-sungguh dengan senyum yang terus mengembang diwajahnya.
"Wah, selamat ya Joe. Aku turut senang mendengarnya," tanpa sadar Virranda bangkit dari kursinya dan memeluk suami bayarannya itu dengan erat. Joe terpaku, ia tidak menduga mendapat pelukan dadakan dari Virranda, ini untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan hangat isterinya itu.
"Bila kau sudah melahirkan bayimu ini, aku akan membawa kalian terbang berkeliling dunia bersamaku," ucap Joe dengan raut bahagia. Ia memberanikan diri menyentuh perut Virranda yang semakin bulan semakin membesar itu, merasakan pergerakan bayi yang memberi respon pada sentuhan tangannya.
"Iya, aku mau Joe," ucap Virranda turut merasakan kebahagiaan Joe. Ia tidak menolak saat tangan suaminya itu mengusap lembut perutnya.
"Apakah makan malam ini adalah bentuk perayaanmu menjadi pilot?" Virranda melepaskan pelukannya lalu kembali kekursinya.
"Heum, bisa dikatakan begitu. Kau boleh memesan lagi makanan apa saja yang kau mau," ucap Joe menawarkan.
"Sungguh? Terima kasih Joe."
Joe kembali tersenyum, ia sangat menikmati saat melihat Virranda dengan antusias memamanggil pelayan restoran dan menambah pesanannya. Virranda memang selalu bahagia bila di tawarkan makan, wanita hamil itu seolah tidak pernah kenyang, mulutnya selalu saja ingin mengunyah tanpa henti.
...🍓🍓🍓...
"Apa yang sedang kau fikirkan Kwang?" Gerry mendekati Ferdinand yang sedang memandangi lembaran kertas pengajuan cuti Virranda yang mempersiapkan diri untuk melahirkan.
Wanita itu baru saja keluar ruangan dengan perutnya yang semakin membola, hari-harinya memang menjadi perhatian sebagian besar para pegawai yang merasa aneh, karena direktur mereka memberi kesempatan wanita hamil untuk berkerja, apalagi sebagai seorang asisten.
"Bayi yang akan dilahirkan Virranda itu, itu anakku," ujar Ferdinand masih tidak beralih dari lembaran surat yang masih dipegangnya.
Gerry langsung tertawa sumbang, merasa Ferdinand sedang frustrasi pada pekerjaannya yang begitu banyak, belum lagi diusianya ini, sahabatnya itu belum juga menemukan pasangan hidup.
"Kwang, aku memang melihat kau memperlakukan nona Virranda berbeda selama ini, dan terkesan lebih istimewa. Aku fikir wajar saja, karena wanita itu sedang hamil. Tapi aku tidak menyangka kalau kau bisa mengaku-ngaku, mengatakan bayi yang dikandung wanita itu adalah anakmu. Itu mustahil." Gerry kembali melanjutkan tawanya, ia benar-benar tidak habis fikir pada pengakuan tidak masuk akal direkturnya itu.
"Kau boleh mentertawaiku hari ini, tapi tidak setelah bayi itu lahir." ucap Ferdinand serius.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" Gerry yang merasa Ferdinand serius pada ucapannya, menghentikan tawanya.
Ferdinand menarik nafas dalam hingga dadanya nampak mengembung, lalu menghembuskannya dengan perlahan, serasa ada beban berat disana.
"Hampir sepuluh bulan yang lalu, aku pernah tidur dengan seorang wanita. Dan wanita itu adalah Virranda," Ferdinand mengangkat tangan kirinya keudara, memberi isyarat pada Gerry yang nampak kaget dan ingin memotong ucapannya.
Melihatnya, Gerry kembali mengatupkan mulutnya dengan rapat. Ia tahu, Ferdinand sedang ingin mengungkapkan apa yang telah ia simpan sendiri selama ini.
"Dari surat cuti ini, ia melampirkan surat keterangan dokter, bahwa satu minggu lagi dirinya akan melahirkan bayinya. Dan itu sama dengan kurun waktu setelah aku tidur bersamanya malam itu," jelas Ferdinand lebih lanjut.
"Tapi Kwang, bukankah nona Virranda memiliki seorang suami? Bayi itu pasti anak suaminya?" Gerry berusaha menyadarkan sahabatnya itu, ia merasa Ferdinand hanya terobsesi saja pada Virranda.
"Bukan. Mereka menikah setelah Virranda mengandung tiga bulan, sebelumnya mereka tidak pernah kenal ataupun punya hubungan dalam bentuk apapun," sahut Ferdinand lagi. Gerry yang masih belum yakin akan semua yang didengarnya kembali membuka mulutnya, belum sempat ia melontarkan pertanyaan penasarannya, telepon di meja Ferdinand tiba-tiba berdering membuyarkan konsentrasi keduanya.
📞"Hallo, asisten Gerry disini. Ada yang bisa dibantu?" ucap Gerry mengangkat telepon.
📞"Nona Virranda, dia sedang kesakitan tuan Gerry, pangkal pahanya mengeluarkan darah. Seorang wanita asing melabraknya lalu mendorongnya hingga terjatuh ditangga lobby saat Nona baru saja kembali makan siang." jelas seorang resepsionis dari ujung telepon.
"Baik, terima kasih, kami akan segera kesana," sahut Gerry dengan terburu-buru memutuskan sambungan teleponnya.
"Ada apa?" tanya Ferdinand menatap wajah khawatir Gerry.
"Ini tentang Virranda, cepat ikut aku dan bawa kunci mobilmu, nanti aku jelaskan sambil berjalan," begitu mendengar nama Virranda, tanpa banyak tanya Ferdinand mengikuti Gerry yang tergesa-gesa keluar dari ruangannya.
Ferdinand merasa sangat geram setelah mendengar cerita singkat Gerry. Ia buru-buru keluar dari lift yang baru saja terbuka.
"Gerry, cepat siapkan mobilku, kita harus kerumah sakit sekarang," Ferdinand melemparkan kunci mobilnya kearah Gerry. Dengan langkah setengah berlari menghampiri Virranda yang dibaringkan disofa lobby dan mengangkat wanita itu menuju mobilnya diparkiran.
"Pe-rut saya sa-kit seka-li Tuan," keluh Virranda dengan wajah memucat, ia memeluk perutnya yang mengalami kontraksi dengan kedua tangannya.
"Bertahanlah nona Virranda, kita sedang menuju rumah sakit," wajah Ferdinand ikut memucat, rasa cemas menguasai dirinya saat melihat darah dari pangkal paha Virranda yang terus mengalir.
Ferdinand juga dapat melihat gerakan bayi dalam perut Virranda yang terus bergolak, bergerak kesana kemari, seakan turut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh ibunya.
"Jeo, Joe..." lirih Virranda ditengah kesakitannya. Gerry yang melajukan mobilnya memperhatikan wajah Ferdinand yang nampak tidak senang mendengar Virranda memanggil nama suaminya.
...🍓🍓🍓...
"Tolong Dok, lakukan yang terbaik buat isteri saya," ucap Ferdinand nampak gugup saat dokter membawa masuk Viranda bersama para perawat dan menutup ruang tindakan.
"Kwang, apakah kau sadar dengan apa yang baru kau ucapkan? Virranda itu isteri orang! Bukan isterimu!" Gerry menatap wajah Ferdinand yang cemas dan kusut. Ia tahu ini memang bukan waktu yang tepat mengatakan hal itu, tapi ia juga tidak mau sahabat sekaligus direkturnya itu salah dalam bertindak.
Ferdinand menoleh kearah Gerry, ia tidak mengatakan apapun. Dengan langkah terseok-seok ia menuju kursi besi dan duduk disana sambil berdoa didalam hati untuk keselamatan Virranda dan bayinya.
Walau Ferdinand tidak menjawabnya, tapi Gerry yakin, pria itu mendengar ucapannya. Ia mendekati Ferdinand, dan duduk disebelahnya.
"Beritahu suaminya, kalau nona Virranda ada disini. Tadi aku mendengar dia memanggil nama suaminya," ucap Gerry lagi.
"Joe tidak boleh tahu kalau Virranda ada disini. Aku mau memastikan kalau bayi itu adalah putraku. Ini waktu yang tepat untuk test DNA, begitu bayi itu lahir," gumamnya.
"Tapi Kwang, itu dilarang oleh hukum. Kau tidak bisa melakukan itu pada isteri orang dan anaknya," kembali Gerry berusaha mengingatkan sahabatnya itu.
"Gerry! Berhenti melarangku! Biarkan aku melakukannya, supaya aku tidak penasaran. Bila bayi itu bukan anakku, aku akan melepaskannya, juga ibunya," ucapnya dengan tatapan marah, karena Gerry selalu saja menghalangi niatnya.
Oweeekk! Oweeekk! Oweeekk!
Seketika keduanya saling berpandangan, suara tangisan bayi didalam ruang tindakan membuat mereka langsung berdiri dari duduknya.
"Kau dengarkan? Itu pasti suara bayi Virranda, bayi laki-laki, suaranya sangat nyaring. Dia pasti putraku," cerocos Ferdinand dengan senyum yang menunjukan kebahagiaan hatinya.
Lidah Gerry terasa kelu, ia menatap wajah bahagia Ferdinand tidak mengerti, sahabatnya itu terlihat begitu yakin akan apa yang ia fikirkan itu adalah suatu kebenaran.
"Suami Nyonya Virranda?!" panggil dokter yang baru keluar dari ruang tindakan.
"Iya Dok!" Ferdinand segera bergegas. "Bagaimana keadaan isteri saya dan bayinya Dok?" tanya Ferdinand, ketika dirinya sudah berdiri dihadapan sang dokter yang telah membantu persalinan Virranda.
"Kita patut bersyukur, ternyata isteri Tuan masih bisa melahirkan secara normal. Nyonya Virranda selamat demikian juga dengan putranya. Dia sangat tampan," ucap dokter sambil tersenyum.
"Selamat Tuan!" sang dokter menjabat tangan Ferdinand yang masih mengembangkan senyum bahagianya. Sementara Gerry yang melihat semuanya itu hanya bisa mengelus dada.
"Pasien dan bayinya sebentar lagi akan dipindahkan keruang rawat inap Tuan," lanjut sang dokter.
"Tuan, tolong berikan kartu identitas dan kartu keluarga Anda pada bagian administrasi rumah sakit, supaya kami bisa membuatkan surat kelahiran putra Anda,"
"Saya permisi dulu, akan menangani pasien yang lain," pamit dokter itu.
"I-iya Dok, terima kasih." Ferdinand tergagap, ia berdiri mematung, memandang sang dokter yang berlalu pergi dari tempat itu.
"Aku tahu, kau pasti bingung, bagaimana caranya memberikan kartu keluarga yang tidak kau miliki itu," ucap Gerry yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya dan menggandeng pundak Ferdinand. Ia berharap, sahabatnya itu segera tersadar dari harapan palsunya sendiri.
Ferdinand bergeming, perkataan Gerry memang benar, sehingga dirinya tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Sebaiknya kita pulang dulu. Lihat noda darah dicelanamu itu mulai mengering. Kau harus berganti pakaian, membersihkan dirimu, setelah itu kau boleh kemari lagi."
Ferdinand menundukan kepalanya, melihat noda darah Virranda yang hampir mengering dicelananya, juga bau amis yang baru ia sadari. Ia ingat, darah itu ada disana saat dirinya memangku Virranda yang sedang kesakitan.
"Kalau kita pulang, Virranda sendirian," kata Ferdinand ragu.
"Jangan khawatir, ada perawat yang mengurusnya." ucap Gerry lagi, meyakinkan sahabatnya itu untuk pulang.
"Baiklah." Dengan berat hati Ferdinand akhirnya menurut. Ia menoleh kearah pintu ruang tindakan yang masih tertutup rapat sesaat lamanya, ada rasa takut bila dirinya tidak bisa melihat Virranda dan bayinya lagi.
Bersambung...👉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
ayu nuraini maulina
wih mantap jd pilot👏👏👏
2023-09-14
2
Fenti
seketika aku kembali lihat judu novel ini, agar tidak patah hati 🤭
2023-05-16
1
Fenti
hantam lurus saja nih sih Ferdinand
2023-05-16
1