#4

Dylan mengendarai mobilnya menuju apartemen pribadi miliknya. Selama ini dia selalu berpindah-pindah negara demi berpetualang. Dengan satu tujuan yaitu, mencari keberadaan seseorang.

Berharap suatu saat nanti Dylan bisa bertemu dengannya lagi.

"I owe my life on you... " Selalu kalimat itu yang ia lafalkan dalam hati.

Ia merogoh saku jaket denim nya, mengamati secarik foto bergantian menatap ke arah depan untuk fokus menyetir.

"Aiden, , , " Panggilnya, tentu tidak akan pernah ada sahutan dari bocah laki-laki yang ternyata sudah tiada.

Dylan mendapatkan foto Aiden dari barang pribadi milik gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya. Tak menyangka ternyata Aiden dan dia saling mengenal.

Flashback

Saat usia Aiden menginjak lima, Dylan menemukannya di bawah reruntuhan bangunan yang di bombardir negara penjajah. Saat itu Aiden kritis dan membutuhkan banyak transfusi darah. Dylan merasa iba dan tidak tega akhirnya memutuskan menunda kepulangannya untuk membantu Aiden.

Aiden perlahan pulih, dia sangat nyaman berada di dekat Dylan apa lagi pria itu sudah menolong hidupnya dua kali.

"Can I see your face? " Tanya Aiden hati-hati, selama mengenal Dylan sekalipun dia tidak pernah melihat wajah sesungguhnya di balik masker kain hitam.

"No, but I have an offering for you. " Jawab Dylan, dia menyerahkan secarik foto ke telapak tangan Dylan yang mungil secara tertutup.

"Kau bisa melihatnya setelah aku tidak ada lagi di hidupmu. " Karena Dylan yakin mereka akan berpisah. Pertemuan singkat itu hanya menjadi sepenggal memori di antara mereka.

"Promise." Aiden setuju, kedua jari kelingking mereka saling bertaut. Dylan mengacak-acak gemas rambut kriting Aiden. Mereka selalu bersama di kamp pengungsian. Bermain bola, makan bersama hingga tidur bersebelahan.

***

Hari ini perasaan Dylan sangat kacau, lebih tepatnya sejak kemarin dimana sang mommy bersikeras mengatur jadwal makan malam dengan seorang perempuan. Dylan hanya ingin menghargai usaha Grace, terpaksa dia menuruti keinginannya.

"It will be just a dinner Dy, believe me." Kata Grace meyakinkan. Dia ingin Dylan memliki banyak teman termasuk lawan jenis.

Putra pertamanya itu selalu tertutup dan kurang pergaulan. Jay saja tidak cukup untuk menemani pria kesepian itu. Apa lagi Jay lebih sering menggantikan posisi Dylan. Dylan terus-terusan meninggalkan perusahaan demi bepergian ke berbagai kota maupun negara lain.

Saat membuka pintu apartemen Dylan di kejutkan oleh hadirnya beberapa orang di sana. Ada bibi dan pamannya yang lain yaitu Samantha dan Zen. Ah tak lupa anak perempuan mereka yang cantik yaitu Caitlin.

"Akhirnya kau pulang juga Dy... " Grace merangkul lengan putra sulungnya, menarik paksa menuju meja makan.

Di atasnya sudah terdapat berbagai macam jenis masakan. Dylan yakin ibunya bekerja keras untuk itu.

"Hai kak, apa kabar? " Sapa Caitlin tersenyum hangat. Mereka tumbuh di lingkungan yang sama sejak kecil. Namun Caitlin memutuskan kuliah di luar Negeri demi karirnya. Caitlin baru kembali beberapa hari yang lalu. Caitlin terpaut lima tahun dari Dylan. Dylan menganggapnya sebagai sepupu, sayangnya Caitlin memendam rasa lain.

"Baik." Jawab Dylan singkat. Semua orang tahu Dylan begitu tertutup, dia paling dekat dan ramah hanya saat bersama adiknya Yuna dan Givi, remaja berusia dua belas putra Theo dan Daniar.

Grace tampak mengamati sorot mata Caitlin yang terlihat mengagumi Dylan. Perasaannya berubah menjadi hangat, berdo'a mereka bisa lebih dekat dari sebatas keluarga.

"Ganti pakaianmu Dy, lalu kita makan malam bersama. " Perintah Grace. Dylan mengangguk kemudian menuju kamarnya tanpa pamit.

Dylan keluar beberapa menit kemudian, bertepatan dengan munculnya sang daddy Liam dan uncle Zen. Ternyata sejak tadi mereka mengobrol ringan sambil merokok di balkon luar.

Mereka berenam menikmati early dinner di sore hari yang cerah. Sebenarnya kedatangan keluarga Zen tak lain adalah memenuhi undangan Gracia. Grace secara pribadi meminta Caitlin agar bisa berteman akrab dengan putranya. Tentu saja Caitlin setuju karena dia memang mengagumi sosok Dylan sejak usia kanak-kanak.

"Dy, uncle titip Catie ya? Dia tinggal di sebelah unitmu, uncle khawatir dia hidup bebas dan lepas kendali. " Pinta Zen penuh harap.

Usai makan malam mereka duduk santai menikmati dessert puding buah buatan Caitlin. Dylan sudah mendengar kepindahan Caitlin, ia menganggap semua nya biasa saja tanpa ada pikiran negatif.

"Hem, baiklah uncle. Tapi aku juga tidak bisa janji, aku sering bepergian dan tak menentu kapan berada di rumah. " Jawab Dylan sekenanya.

Grace dan Liam menghela nafas kompak. Mereka khawatir melihat hidup Dylan, seperti tidak memiliki tujuan yang jelas. Mungkinkah dia merasa kehilangan jati diri?

"Pa, aku bukan anak kecil lagi. " Protes Caitlin tak Terima, dirinya merasa malu di hadapan Dylan.

"Catie! " Seru Samantha tak suka anaknya merengek apalagi mereka tengah bertamu.

"Maaf ma. " Menunduk, Caitlin merasa bersalah atas tindakannya.

"Baiklah, kalau begitu kami pamit pulang. Terima kasih atas jamuannya Liam, Grace." Ucap Zen, Samantha dan Grace saling berpelukan singkat sebelum berpisah.

"Kita bicara di ruang kerjamu. " Perintah Liam yang masih begitu berkharisma meski usia senjanya. Berkat hidup sehat dia bisa mengimbangi sang istri Grace.

"Apa aku melakukan kesalahan lagi? " Tanya Dylan pada ibunya setelah Liam melenggang pergi.

"No, daddy mu hanya ingin mengobrol Dy. Pergilah. " Dylan mengangguk, mengecup pipi Gracia sebelum menyusul ayahnya.

Liam duduk di kursi kebesaran anaknya, Dylan sendiri memilih berdiri di depan meja layaknya pendosa siap di sidang.

"What's wrong with you? " Serang Liam langsung ke intinya. Dia geram oleh sikap Dylan, yang hidup sesuka hati sejak kembali dari misi terakhir sesuai janjinya.

Selama ini Liam berusaha sabar agar tidak terjadi konflik hebat diantara mereka. Namun semakin hari Dylan susah di atur. Orang tuanya sampai harus menyusul Dylan ke London untuk membawanya pulang.

"Nothing dad. " Jawab Dylan singkat padat dan jelas. Banyak hal sengaja ia tutupi dari ayah dan ibunya. Dylan bahkan melarang Jay menceritakan apapun soal rahasia dirinya.

"Pulanglah ! Tunjukkan rasa tanggungjawab mu terhadap perusahaan. " Desak Liam.

"Kalian tahu aku tidak suka mengurus perushaan kenapa terus memaksa? " Tolak Dylan frustasi.

"Apa kau tidak kasihan melihat adikmu hah? Seorang diri bekerja keras menangani semuanya. " Bentak Liam menuding wajah Dylan, dia memilih diam tak ingin membalas.

"Aku akan kembali setelah urusan ku selesai." Akhirnya Dylan menyerah, jika itu menyangkut Yuna. Benar, Dylan tidak bisa egois mementingkan hidupnya. Ada Yuna juga mereka, keluarganya.

"Bagus, daddy tunggu janjimu. " Liam memperingati anak sulungnya.

setelah menyelesaikan keperluan mereka dengan Dylan, Grace dan Liam segera pamit pulang ke mansion milik Alya dan Christian. pasangan suami istri itu menghargai privasi seorang Lim Dylan.

Demi melepaskan stres akibat tekanan dan tuntutan, Dylan mengajak Jay pergi ke barat untuk sekedar menikmati minuman. awalnya Jay menolak karena orang tua pria berusia dua puluh tujuh itu sedang berkunjung. namun siapapun yang Dylan perintah harus menurutinya.

"Kau tampak kacau Dy... " komen Jay menyaksikan bagaimana Dylan sejak tadi tak hentinya menenggak anggur merah. keduanya duduk di depan bar eksklusif kalangan atas. selain menikmati berbagai jenis minuman, mereka kadang bertemu di sana untuk membicarakan bisnis bahkan menemui teman kencan buta.

"Kau sudah menemukannya? " Tanya Jay, selalu pertanyaan sama setiap mereka sedang berdua saja. Jay menepuk pundak Dylan memberinya semangat.

"Aku yakin, dia salah satu anggota kerajaan. informasi mengenai gadis itu seperti sengaja di tutupi secara rapat-rapat. " ungkap Jay. beberapa tahun sudah mereka mencari gadis yang sudah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Dylan.

"apa mungkin dia,,, " ucapan Dylan menggantung, menepis pikiran buruknya.

"kau ingat dokter yang menyelamatkan ku?" Dylan mengangguk membenarkan. "Orang kita mengatakan dia berada di Norwegia, aku akan mengawasinya siapa tahu mereka bertemu. " Jay tidak pernah lelah membantu Dylan mencari gadis yang tak lain adalah Jesselyn.

Ya, benar. orang tua Jesselyn memang menutup kasus tertembaknya Jesselyn saat menjadi relawan di Kamp pengungsian. bahkan Carl Sebastian menyembunyikan semua track record Jesselyn yang pernah mendatangi pengungsian lainnya. demi menyelamatkan nyawa sang putri.

Jay menyesali kebodohannya karena saat itu tidak sempat melihat wajah Jesselyn. andai saja dia mengenali bagaimana rupa Jesselyn mungkin proses pencarian mereka akan lebih mudah.

"Eh, bukankah dia si anak magang? " Tiba-tiba pandangan Jay menangkap sosok Jesselyn yang baru saja hendak masuk ke dalam toilet. reflek Dylan mengikuti arah telunjuk sahabatnya. dan dia hanya melihat punggung Jesselyn sekilas. seolah takdir belum ingin mempertemukan keduanya.

"sudah lupakan, aku tidak tertarik. " balas Dylan fokus kembali menenggak minumannya.

"kau akan menyesal menolaknya Dy. " Menggelengkan kepalanya, Jay yakin Dylan hanya mencintai gadis bernama Jesselyn atau biasa di sapa Jessie.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!