#9

Jesselyn berlari cepat sekali menghindari kejaran Dylan dan beberapa anak buahnya setelah keluar dari kediaman resmi pangeran Gustav. Rencana Jesselyn untuk menjenguk sang ayah harus gagal akibat kegilaan Dylan. Mungkin lain kali saja Jesselyn menemui Sebastian, sekarang terpenting ia harus pergi sejauh mungkin dari Dylan.

"Jessie tunggu! " Teriak Dylan yang hampir bisa mendekati Jesselyn. Jay mengendarai mobilnya untuk menghadang pelarian Jesselyn, sayangnya dia terlambat menginjak rem hingga sedikit menyerempet tubuh Jesselyn.

Brak...

Jesselyn tergeletak di pinggir jalan tak sadarkan diri.

"Shitt... " Umpat Jay dan Dylan bersamaan. Dylan mengangkat kepala Jesselyn mencoba membuatnya sadar.

"Cepat bawa dia ke rumah sakit Dy! " Merasa bersalah, Jay mengesampingkan hal itu sejenak. Mereka harus segera membawa Jesselyn ke rumah sakit terdekat.

Dylan membopong tubuh Jesselyn lalu masuk ke dalam mobil. Jay langsung tancap gas setelah memastikan Dylan dan Jesselyn aman di belakang.

Sekitar lima belas menit mobil akhirnya tiba di depan emergency room. Para perawat mendorong brankar untuk menjemput Jesselyn, mereka bergegas memberi tindakan.

Dylan hampir saja memukul Jay yang tidak berhati-hati mengendarai mobil andai saja ponselnya tidak berdering.

"Ya mom? " Sahut Dylan setelah menempelkan benda pipih di telinganya. Sang ibu Gracia meneleponnya sejak Dylan tiba di Gothenburg, namun baru sempat ia angkat.

"Dy kata auntie Al kau pergi ke Swedia? Semoga kau tidak lupa janjimu pada daddy sayang... " Todong Grace mengingatkan Dylan soal dirinya yang akan fokus mengurus perusahaan.

"Mom, this will be my last journey. May I ask your help mom? " Dylan menjelaskan garis besar masalah yang tengah ia hadapi agar Grace bisa membantunya menyiapkan keperluan.

Pada intinya Dylan meminta Grace atau siapapun orang kepercayaan keluarga Liam Arthur untuk mengurus persyaratan pengajuan pernikahan ke kantor catatan sipil. Dylan perlu mengikat Jesselyn terlebih dulu, untuk urusan pemberkatan atau resepsi bisa menyusul nanti. Dylan khawatir jika tidak segera Jesselyn akan terus kabur darinya.

"Thanks mom, you're my angel. " Ucap Dylan mengutarakan rasa Terima kasih. Grace tersenyum meski anak pertamanya tidak bisa melihat secara langsung.

"Kau yakin Dy? Pernikahan bukan untuk main-main. " Jay menghampiri Dylan setelah percakapan telepon berakhir.

"Ya, semua terjadi karena kecerobohan ku. Lagipula sejak dulu aku memang ingin membalas kebaikan Jesselyn. " Ujar Dylan.

"Bukan karena kau menyukainya hah?" Todong Jay menggoda Dylan.

"Entahlah, pertemuan kami begitu rumit. Aku sendiri tidak yakin. " Jawab Dylan ragu, namun dalam hati ia meyakini menginginkan Jesselyn menjadi miliknya.

'Sialan kau Lim Dylan' maki Jesselyn dalam hati. Sejak tadi Jesselyn ternyata menguping percakapan dua pria dewasa di luar ruangan. Tidak ada luka serius, Jesselyn hanya shock. Namun lutut dan sikutnya berdarah akibat terjatuh.

'Aku harus mencari cara untuk pergi dari pria sialan itu.' lanjut Jesselyn membatin.

Jesselyn kembali ke dalam sambil mencari ide. Jesselyn tidak sanggup menikah di saat hidupnya hancur berantakan gara-gara ulah Dylan sendiri.

"Kau tunggu di sini! " Perintah Dylan meninggalkan Jay, dia perlu melakukan sesuatu.

Jesselyn melihat ada kaca jendela yang bisa di buka meski cukup tinggi sebatas dadanya. Nekad, Jesselyn mencari bangku guna memanjatnya.

Perawat sempat ingin berteriak namun Jesselyn segera memberi kode melalui jari telunjuk yang menempel di bibirnya. Dan saat ia meloncat ke bawah tubuhnya di tangkap oleh seseorang. Dada Jesselyn menempel dengan Dylan, kesekian kalinya.

Oh God, selalu seperti ini. Gumam Dylan dalam hati kala pusakanya berdiri hanya karena bersentuhan dengan tubuh Jesselyn.

"Got you! " Ucapnya dengan seringai mengerikan.

"Lepaskan aku Dylan! Aku tidak sudi menikah denganmu. " Teriak Jesselyn memberontak berusaha melepaskan diri.

Dylan menggendong Jesselyn bagai karung beras menuju mobilnya di parkiran. Tak lupa Dylan juga menelepon Jay, memintanya segera menyusul.

"Haha kau peka sekali Dy. " Kata Jay tak menyangka tebakan Dylan benar, Jesselyn berniat lari.

Dylan memang menangkap Jesselyn yang menguping melalui ekor matanya tadi. Maka dari itu segera Dylan keluar menunggu Jesselyn disana.

Tak tanggung-tanggung, Dylan membawa Jesselyn meninggalkan Gothenburg kota kelahirannya menggunakan pesawat pribadi. Tujuan mereka adalah kota Paris.

Jesselyn hanya duduk termenung menatap ke luar jendela pesawat. Bahkan dirinya tidak sempat berpamitan pada sang ibu. Ah ya, Jesselyn lupa. Ibunya mana mungkin mencarinya, Anandya telah melupakan kenangan indah mereka akibat luka dalam yang Sebastian ayahnya torehkan.

Dylan duduk di samping Jesselyn membawa sebuah paper bag. Menaruhnya diantara mereka.

"Ganti bajumu, sebentar lagi kita sampai." Ujar Dylan namun Jesselyn bergeming tanpa menoleh sedikitpun. Dylan menghela nafas pasrah mencoba bersabar.

Setelah dua jam perjalanan udara pesawat akhirnya landing di kota yang asing bagi Jesselyn. Ia beberapa kali bepergian ke luar negeri untuk menjadi relawan, dan berakhir kuliah di London. Pertama bagi Jesselyn menginjakkan kakinya di kota romantis itu.

Dylan tersenyum melihat Jesselyn mau mengganti pakaiannya. Meski dengan polesan make up sederhana Jesselyn masih sangat cantik mengenakan short hemlines floral printed dress. Pilihan Dylan patut diacungi jempol.

Mobil membelah jalanan selama tiga puluh menit untuk tiba di mansion keluarga Liam and Grace, di kawasan Neuilly-sur-Seine. Rumah Tiga lantai dengan fasilitas mewah itu berada di ujung jalan pribadi milik Liam. Hamparan rumput hijau yang rapi menyejukkan mata menghiasi halaman depan rumah. Pepohonan di sekeliling tembok pembatas menambah udara segar.

Jesselyn terpaku masih berdiri di sebelah mobil. Kakinya terasa berat untuk di ajak melangkah. Semua begitu asing baginya. Kalau bisa rasanya ingin sekali Jesselyn kabur sejauh mungkin.

"Ayo masuk! " Perintah Dylan ketika Jesselyn tak bergerak sedikitpun.

Meski berat, Jesselyn tetap melangkah mengikuti Dylan dan Jay dari belakang. Jesselyn terus menunduk hingga tanpa sadar menabrak punggung Dylan saat mereka tiba di depan pintu.

"Pull yourself together Jessie. " Pinta Dylan, menggeram menahan kesal.

Jesselyn mencebik mendapat teguran dari Dylan. Tidak kah dia mengerti suasana hatinya saat ini ?

Takut, gugup dan cemas menanti reaksi keluarga pria menyebalkan di hadapannya. Apakah mereka akan menolaknya sebagai menantu? Jesselyn tidak peduli, malah itu lebih baik karena Jesselyn mempunyai alasan untuk pergi.

Jayden hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka. Dylan menggenggam tangan Jesselyn, namun gadis itu mencoba melepaskannya. Mendapat tatapan dingin Dylan menciutkan nyali Jesselyn, terpaksa ia membiarkan.

"Mom, dad,,, " Sapa Dylan saat kaki mereka berhenti di ruang keluarga. Jesselyn menunduk tak berani menatap ke arah pasangan suami istri hangat di hadapannya.

"Kau datang Dy, duduklah. " Perintah Liam mempersilahkan keduanya duduk di sofa sebrang mereka.

Dylan menuntun Jesselyn duduk di sampingnya dengan tangan terus bergandengan.

"Jadi, bisakah aku melihat wajahmu sayang?" Pinta Grace menyadari Jesselyn yang sejak tadi menunduk. Sontak Jesselyn mengangkat pandangannya, ia harus menghargai lawan bicara apa lagi mereka lebih tua.

"Cantik." Puji Grace tersenyum hangat. "Siapa namamu sayang? " Lanjutnya, dengan sabar mengajak Jesselyn berkomunikasi.

"Namaku Jesselyn Carl nyonya. " Jawab Jesselyn tenang menyembunyikan perasaan kacaunya.

"Jesselyn sayang, mommy minta maaf atas perbuatan Dylan. Mulai sekarang kau akan tinggal bersama kami. Mom harap kau tidak keberatan sayang. " Grace mengambil alih untuk menyampaikan rencana mereka terhadap Jesselyn. Dengan bicara hati ke hati bisa membuat Jesselyn merasa aman.

"Nyonya, aku tidak membutuhkan bentuk tanggungjawab apapun. Aku masih harus menyelesaikan kuliahku. Tolong biarkan aku pergi. " Jesselyn memohon sangat, tatapannya tersirat jelas tidak menginginkan hal itu.

"Jessie, kau bisa merampungkan kuliahmu setelah kita menikah. Atau kau tidak akan pernah pergi jika menolaknya. " Ancam Dylan. Jesselyn melirik ke samping melayangkan tatapan tajam.

"Sebaiknya biarkan Jesselyn beristirahat lebih dulu. " Putus Liam ketika melihat anak laki-lakinya mulai bersikap memaksa.

"Biar mom antar Jesselyn ke kamarnya. Ayo sayang. " Jesselyn mengulurkan tangannya untuk Jesselyn raih. Jesselyn tampak ragu namun tak kuasa mendapat sorot mata memohon dari Grace.

"Good." Ucap Grace ketika tangan mereka saling bertaut.

"Dokumen kalian sudah siap. " Ungkap Liam saat Grace dan Jesselyn sudah pergi ke lantai dua.

"Thanks dad. " Ucap Dylan singkat.

"Jika mengikatnya seperti ini melukai Jesselyn, sebaiknya kau hentikan rencanamu Dy. " Saran Liam menasehati Dylan. Dylan menghela nafas seolah memiliki banyak pikiran.

"Dan membiarkan Jessie di adili oleh tetua kerajaan? Dad, aku berhutang nyawa padanya. Aku ingin menebus kesalahanku." Kata Dylan menjelaskan situasinya.

"Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan? Setidaknya keluarga kita harus tahu dan menyaksikan. " Tuntut Liam. Sesaat Dylan tampak berpikir sebelum memutuskan.

"Lusa dad, aku ingin mengucap janji di sini saja. Bolehkan? " Tanya Dylan memastikan.

"Tentu. Daddy harap kau menjadi suami bertanggungjawab dan menjaga istrimu nantinya. " Do'a Liam penuh pengharapan. Dylan tersenyum samar sebelum menganggukkan kepalanya.

"I will. " Jawabnya pasti.

"Daddy akan menunggu hingga urusan mu selesai, lalu kembalilah ke perusahaan." Liam menagih janji yang Dylan ucapkan ketika mereka berada di London.

"Ya dad, aku akan kembali dan memulainya lagi. " Ujar Dylan. Lalu keduanya melanjutkan obrolan dengan berbagai bahasan.

Jesselyn ternganga memasuki kamar tamu super estetik, di desain sedetail mungkin agar Jesselyn betah tinggal bersama mereka. Kamar menghadap ke area taman belakang dimana pepohonan mengelilingi kamar itu. Ada balkon juga dengan kursi rotan untuk Jesselyn bersantai.

"Mommy harap kau suka dengan kamarnya." Ucap Grace pada Jesselyn yang masih bungkam.

"Terima kasih nyonya Liam. " Balas Jesselyn. Bagaimanapun ia harus menghormati Gracia, ibu Dylan.

Grace mengajak Jesselyn duduk di sofa berbahan rotan asli di sudut kamar. "Kau bisa memanggilku auntie jika belum siap dengan sebutan mommy sayang. Kau akan menjadi menantu di rumah ini, jadi aku harap jangan sungkan hem? " Grace berhati lembut semakin membuat Jesselyn tak enak bila terus-terusan bersikap dingin.

"Baiklah auntie. " Akhirnya Jesselyn memutuskan memanggilnya bibi. Karena ia belum yakin siap menikah dengan Dylan.

"Ada baju-baju yang sudah kami siapkan atas keinginan Dylan. Istirahat lah, nanti maid memanggilmu saat makan siang siap." Jesselyn mengangguk, tersenyum kaku saat Grace pamit meninggalkan nya.

Jesselyn menangkup wajahnya, ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi saat ini. Menikah bukanlah hal mudah. Banyak hal yang belum Jesselyn gapai, ia takut terkekang oleh status dan keadaan.

Jesselyn baru ingat dirinya belum mandi sejak terbangun di rumah sakit pagi tadi. Ia memilih membersihkan tubuhnya dengan berendam, berharap mendapat ketenangan.

Jesselyn baru saja merendam diri beberapa menit, ia di kagetkan oleh pintu yang di buka oleh Dylan. Untungnya tubuh polos Jesselyn tertutup busa melimpah.

"Get out of here! " Teriak Jesselyn mengusir Dylan, dia sangatlah tidak sopan pikir Jesselyn.

"I won't. " Dylan menyahuti nya dengan santai. Dia bahkan duduk di pinggiran bathtub.

"Jessie, kita perlu bicara. " Kata Dylan mengabaikan kemarahan Jesselyn. Sementara gadis itu membeku, bergerak sedikit Dylan bisa melihat bagian tubuhnya yang lain.

"Kau benar, ada hal yang ingin aku katakan padamu. Sekarang keluarlah, tunggu aku selesai mandi. " Pungkas Jesselyn, dia memang harus membahas nasib hidupnya yang kini berada di tangan Dylan.

"Good." Balas Dylan mengusap ujung kepala Jesselyn sebelum keluar.

Sepuluh menit kemudian Jesselyn mengganti pakaiannya di mini walk in closet samping kamar mandi. Untunglah Dylan tidak harus menyaksikannya memakai baju. Dengan rambut basahnya Jesselyn mencari keberadaan Dylan, ternyata dia tengah duduk di balkon menatap kosong ke hamparan luas halaman rumah.

"Ehem... " Jesselyn berdehem membuyarkan lamunannya.

Dylan menoleh ke arah samping, Jesselyn tampak segar berbalut celana jeans robek dan kemeja crincle sebagai atasan. Tetesan rambut basahnya malah membasahi kemeja Jesselyn, Dylan menelan saliva susah payah memperhatikan bagian yang menerawang. Jesselyn memakai bra hitam berenda.

"Keringkan dulu rambutmu Jessie! " Perintah Dylan. Jesselyn berdecak kesal, dengan malas ia mencari handuk kecil khusus kepala.

Dylan mengikuti langkahnya, mengambil alih handuk dan mulai mengeringkan rambut Jesselyn. Aroma cocoa menyeruak menyerang hidung Dylan. Wangi, Jesselyn tahu bagaimana cara menggodanya.

"Hentikan ! " Bentak Jesselin menyadari Dylan malah mengendus ceruk lehernya. Nafas Dylan menyapa , Jesselyn bisa merasakannya.

"Sorry." Ujar Dylan ketahuan.

"Please, aku belum siap menikah Dylan. Jangan memaksaku. " Ungkap Jesselyn ketika mereka duduk berdampingan di ujung tempat tidur.

"Hanya status yang berubah diantara kita Jessie, aku tidak akan melarangmu melakukan apapun yang kau inginkan. Kecuali berselingkuh." Kata Dylan mencoba meyakinkan dirinya tidak akan mengekang Jesselyn.

"Kau tidak perlu membalas budi Dylan, soal kasus daddy cepat atau lambat memang akan ketahuan. Kau hanya pembuka jalan, kau tak salah. " Lanjut Jesselyn masih bersikeras menolak pernikahan mereka.

Tok tok tok,,,

Pintu di ketuk seseorang saat Dylan ingin memberi pengertian. Jesselyn beranjak untuk melihat siapa yang datang.

"Nona, nyonya dan tuan mengajak anda makan siang bersama. " Ujar maid seraya menunduk hormat.

"Terima kasih, aku akan turun. " Jawab Jesselyn, maid segera undur diri setelah pamit.

"Kita lanjutkan nanti. " Kata Dylan, namun Jesselyn menahan tangannya.

"Katakan satu hal agar aku bisa menerima semua ini. " Pinta Jesselyn, dia perlu meyakinkan diri sendiri agar tidak salah mengambil keputusan.

"You did a simple things that bring joy to my life Jessie. Aku memang merasa berhutang nyawa padamu, tapi sebelum itu aku terbiasa oleh kehadiranmu dalam waktu singkat kita. Let's spend a whole year together. "

Jesselyn mencari kebohongan di mata Dylan, sayangnya Jesselyn malah terbuai oleh kata-katanya.

"Kau harus berjanji, aku masih bisa menyelesaikan kuliahku. " Todong Jesselyn. Dylan tersenyum samar melihat Jesselyn masih belum mempercayainya.

"Promise." Dylan merentangkan tangannya mempersilahkan Jesselyn berjalan lebih dulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!