Balada Cinta Pendekar Naga Sakti
Hidup tak lain adalah seperti sebuah lakon dalam pewayangan semua ada mengatur, yang dibutuhkan yaitu dalangnya. Semakin kita merenungi tentang kehidupan, bukannya semakin mengerti tapi malah bertambah bingung apa yang kita harapkan kadang seperti air yang tersumbat, tak kunjung tiba jua. Namun Adakalanya suatu yang telah kita lupakan tiba-tiba datang dengan sendirinya. Hidup memang penuh dengan misteri mungkin seperti itulah kadang sekarang yang dialami oleh Wulan Ayu sampai sejauh ini mengembara bertualang dan malang melintang di Rimba persilatan tak banyak kepuasan yang diperoleh dalam batinnya setelah kehilangan sang kekasih.
Semakin merambah ke dalam dunia persilatan secara menyeluruh semakin merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Ia benar-benar tidak mengerti dari mana dan mau kemana sebenarnya hidup ini yang dia lakukan selama ini hanya mengalir dan terus mengalir dalam jalur yang sebenarnya yang hakiki, dan dia tidak tahu kapan semua itu akan berakhir.
"Tampaknya ada Desa depan sana," Wulan Ayu mengamati, "Tapi kok sepi sekali," gumamnya. Perlahan kuda yang ditungganginya memasuki area desa, tampak rumah-rumah di kanan kiri jalan kosong melompong sedangkan pintu maupun jendela terbuka berderak-derak ditiup angin.
Beberapa saat kemudian ia melompat turun dari kudanya. Pelan-pelan ia melangkah sambil menuntun kuda putih tinggi tegap, matanya yang tajam mengamati keadaan yang tampak begitu sepi itu.
Pengalaman yang telah didapat yang membuat dia selalu berhati-hati dalam setiap keadaan, bagaimana pun juga. Tiba-tiba sebuah bayangan muncul antara matanya.
Diantara rumah-rumah yang berjejer, Wulan Ayu langsung melompat ke atas atap di mana bayang-bayang terlihat. Untunglah dia masih sempat menangkap bayangan yang di antara rymah yang kosong itu.
Kembali tubuh gadis itu melenting cepat bersalto berapa kali di udara kemudian dengan manis sekali dia menjejak kaki di samping bayangan tadi ia lihat.
Tentu saja kedatangan Wulan Ayu yang tidak disangka-sangka itu, membuat pemuda yang sibuk mencari sesuatu di dalam sebuah rumah kosong, namun pemuda itu tampak memandang penuh ketakutan dan penuh kebencian ke arah Wulan Ayu.
"Pergi Kau.... Pergi, tidak ada apa-apa lagi disini!" teriak pemuda itu semakin ketakutan.
"Kenapa kau begitu ketakutan? Apakah aku seperti hantu yang akan menerkammu. Aku hanya ingin bertanya padamu," kata Wulan Ayu Heran sendiri melihat sikap orang itu.
"Siapa Kau?" tanya pemuda itu sikapnya tidak menunjukkan persahabatan.
"Aku Wulan Ayu," jawab Wulan Ayu bersikap lembut kepada pemuda itu, "Aku bukan orang jahat," katanya lemah.
Nada suara orang itu belum menunjukkan persahabatan. Wulan Ayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Aku, aku Parmin aku tidak melakukan apa-apa disini, aku hanya mencari sisa-sisa makanan ini," tambahnya, "Hanya ini yang aku temukan, biarkan aku hidup. Ambillah semuanya."
Wulan Ayu kembali tersenyum, "Sabar, aku tidak akan menyakitimu apalagi sampai membunuh mu," kata Wulan Ayu sedemikian lembut mata pemuda itu menelisik dan menyeludnkinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sepertinya dia tidak pernah percaya, apa yang akan di dengarnya. Dia kembali memandangi gadis berpakaian serba biru di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Parmin.
"Aku hanya pengembara yang kebetulan lewat, aku penasaran daerah ini begitu sepi bagai sebuah desa mati," jawab Wulan Ayu apa adanya.
"Kau benar-benar bukan anggota mereka?" mata pemuda itu begitu waspada.
Wulan Ayu tertawq tawa," Aku tidak tau siapa yang kau katakan, tapi aku benar-benar sudah mengatakann bahwa aku cuma sang pengembara yang betulan lewat aku sendiri tidak tahu Apa nama desa ini dan kenapa keadaannya seperti ini?" kata Wulan Ayu berusaha meyakinkan pemuda kurus di depannya itu.
Pemuda kurus itu berusaha meyakinkan diri, "Kau benar bukan dari gerombolan mereka?" tanyanya lagi.
Wulan Ayu kembali tersenyum ramah, meskipun dikepalanya timbul berbagai pertanyaan.
Beberapa saat kemudian pemuda itu tertegun dan menengok ke kanan dan ke kiri lalu cepat tangannya, langsung menarik tangan kanan Wulan Ayu.
Dalam keadaan bingung Wulan Ayu mengikuti langkah pemuda tersebut.
"Hei, kau mau mengajakku kemana?" tanya Wulan Ayu.
"Ayo, Kak. Ikut aku Desa ini dalam keadaan berbahaya," kata Parmin buru-buru.
"Tapi kudaku," cegat Wulan Ayu.
"Di mana kudamu? Bawa sekalian."
"Suit .......!" Wulan Ayu bersiuk kecil, indah terdengar siulan itu kemudian terdengar ringkikan kuda dan disusul dengan suara derap langkah kaki kuda.
"Ayo!" ajak Parmin, Wulan Ayu mengikuti kemana Parmin berjalan walaupun ia semakin heran, kenapa pemuda itu mengajak masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan ditumbuhi dengan tumbuhan yang merambat.
"Kita mau kemana?" tanya Wulan Ayu.
"Ke tempat yang aman, Kak," jawab Parmin. Melihat sikap pemuda itu yang tiba-tiba berubah membuat Wulan Ayu tambah heran dan bingung, tapi ia tidak sempat bertanya-tanya lagi. Kerena sibuk menyibak semak agar kudanya bisa terus berjalan.
Ketika mereka tiba di sebuah tempat yang agak bersih dan lapang, tiba-tiba di sekitarnya bermunculan orang-orang yang berpakaian kumal dan compang-camping.
Mereka membawa alat pemukul dari macam-macam bentuk yang terbuat dari kayu ada sekitar sepuluh orang laki-laki yang rata-rata berusia cukup tua.
"Mereka bukan orang jahat, Kak,"kata Parmin. Wulan Ayu hanya memandangi orang-orang yang mengelilinginya dengan wajah tidak bersahabat.
"Mereka adalah para penduduk yang selamat dari kejahatan para perampok itu, Kak," jelas Parmin, setelah itu pemuda itu menghampiri salah seorang laki-laki yang berwajah paling tua. Parmin berbisik pada laki-laki dengan janggut dan kumis panjang yang hampir menyatu.
Laki-laki tua itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian ia melangkah menghampiri Wulan Ayu dengan didamping Parmin, sedangkan yang lain tetap mematung.
"Ini Pamanku Sempana, Kak," kata Parmin memperkenalkan laki-laki tua yang berumur sekitar lima puluh tahunan itu.
"Benar, Kau bukan orang anggota Partai Tengkorak Merah?" tanya Paman Sempana sambil menurunkan tangannya.
"Siapa Partai Tengkorak Merah?" Wulan Ayu malah balik bertanya
"Benar, Kau bukan orang anggota Partai Tengkorak Merah?" tanya Paman Sempana sambil menurunkan tangannya.
"Siapa Partai Tengkorak Merah?" Wulan Ayu malah balik bertanya.
"Mereka adalah kaum yang telah menghancurkan desa kami dan juga desa-desa lain di wilayah kaki gunung kuting ini," kata Paman Sempana menjelaskan. Wulan Ayu mulai mengerti permasalahannya sekarang.
Rupanya orang-orang tersebut korban dari keganasan kelompok manusia yang tidak bertanggung jawab dan tidak berprikemanusiaan. Jadi ia menyadari dan memaklumi bila sikap mereka penuh kecurigaan tidak bersahabat padanya.
Kejadian yang menyakitkan yang membuat orang-orang itu takut dengan orang luar dan pendatang, namun sikap Wulan Ayu yang meyakinkan mereka dan penjelasanya bahwa ia hanya mengembara yang kebetulan lewat dan bertemu dengan Parmim dan bukanlah anggota Partai Tengkorak Merah seperti yang mereka kira.
Melihat sebuah pedang tersampir di balik punggung Wulan Ayu, Paman Sempana bertanya, "Apakah kau seorang pendekar?"
"Bukan, aku menggunakannya untuk menjaga diri dan membantu mereka yang memerlukan," jawab Wulan Ayu merendah.
"Parmin, apa yang kau dapatkan di desa?" tanya Paman Sempana.
"Aku tidak mendapatkan apaum di sana Paman, sudah tidak ada bahan makanan yang tersisa, aku hanya mendapatkan ini," kata Parmin sambil meletakkan bungkusan kain berisi beberapa potong besi yang tampak sudah berkarat.
.
.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Manami Slyterin🌹Nami Chan🔱🎻
keren banget thor
2023-04-04
0
Radiah Ayarin
keren, sekarang ada gak org yg bs begitu ya thor
2023-02-25
2
Radiah Ayarin
iya emang benar siip👍
2023-02-25
2