NovelToon NovelToon

Balada Cinta Pendekar Naga Sakti

BCPNS 01

Hidup tak lain adalah seperti sebuah lakon dalam pewayangan semua ada mengatur, yang dibutuhkan yaitu dalangnya. Semakin kita merenungi tentang kehidupan, bukannya semakin mengerti tapi malah bertambah bingung apa yang kita harapkan kadang seperti air yang tersumbat, tak kunjung tiba jua. Namun Adakalanya suatu yang telah kita lupakan tiba-tiba datang dengan sendirinya. Hidup memang penuh dengan misteri mungkin seperti itulah kadang sekarang yang dialami oleh Wulan Ayu sampai sejauh ini mengembara bertualang dan malang melintang di Rimba persilatan tak banyak kepuasan yang diperoleh dalam batinnya setelah kehilangan sang kekasih.

Semakin merambah ke dalam dunia persilatan secara menyeluruh semakin merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Ia benar-benar tidak mengerti dari mana dan mau kemana sebenarnya hidup ini yang dia lakukan selama ini hanya mengalir dan terus mengalir dalam jalur yang sebenarnya yang hakiki, dan dia tidak tahu kapan semua itu akan berakhir.

"Tampaknya ada Desa depan sana," Wulan Ayu mengamati, "Tapi kok sepi sekali," gumamnya. Perlahan kuda yang ditungganginya memasuki area desa, tampak rumah-rumah di kanan kiri jalan kosong melompong sedangkan pintu maupun jendela terbuka berderak-derak ditiup angin.

Beberapa saat kemudian ia melompat turun dari kudanya. Pelan-pelan ia melangkah sambil menuntun kuda putih tinggi tegap, matanya yang tajam mengamati keadaan yang tampak begitu sepi itu.

Pengalaman yang telah didapat yang membuat dia selalu berhati-hati dalam setiap keadaan, bagaimana pun juga. Tiba-tiba sebuah bayangan muncul antara matanya.

Diantara rumah-rumah yang berjejer, Wulan Ayu langsung melompat ke atas atap di mana bayang-bayang terlihat. Untunglah dia masih sempat menangkap bayangan yang di antara rymah yang kosong itu.

Kembali tubuh gadis itu melenting cepat bersalto berapa kali di udara kemudian dengan manis sekali dia menjejak kaki di samping bayangan tadi ia lihat.

Tentu saja kedatangan Wulan Ayu yang tidak disangka-sangka itu, membuat pemuda yang sibuk mencari sesuatu di dalam sebuah rumah kosong, namun pemuda itu tampak memandang penuh ketakutan dan penuh kebencian ke arah Wulan Ayu.

"Pergi Kau.... Pergi, tidak ada apa-apa lagi disini!" teriak pemuda itu semakin ketakutan.

"Kenapa kau begitu ketakutan? Apakah aku seperti hantu yang akan menerkammu. Aku hanya ingin bertanya padamu," kata Wulan Ayu Heran sendiri melihat sikap orang itu.

"Siapa Kau?" tanya pemuda itu sikapnya tidak menunjukkan persahabatan.

"Aku Wulan Ayu," jawab Wulan Ayu bersikap lembut kepada pemuda itu, "Aku bukan orang jahat," katanya lemah.

Nada suara orang itu belum menunjukkan persahabatan. Wulan Ayu tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Aku, aku Parmin aku tidak melakukan apa-apa disini, aku hanya mencari sisa-sisa makanan ini," tambahnya, "Hanya ini yang aku temukan, biarkan aku hidup. Ambillah semuanya."

Wulan Ayu kembali tersenyum, "Sabar, aku tidak akan menyakitimu apalagi sampai membunuh mu," kata Wulan Ayu sedemikian lembut mata pemuda itu menelisik dan menyeludnkinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Sepertinya dia tidak pernah percaya, apa yang akan di dengarnya. Dia kembali memandangi gadis berpakaian serba biru di depannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Parmin.

"Aku hanya pengembara yang kebetulan lewat, aku penasaran daerah ini begitu sepi bagai sebuah desa mati," jawab Wulan Ayu apa adanya.

"Kau benar-benar bukan anggota mereka?" mata pemuda itu begitu waspada.

Wulan Ayu tertawq tawa," Aku tidak tau siapa yang kau katakan, tapi aku benar-benar sudah mengatakann bahwa aku cuma sang pengembara yang betulan lewat aku sendiri tidak tahu Apa nama desa ini dan kenapa keadaannya seperti ini?" kata Wulan Ayu berusaha meyakinkan pemuda kurus di depannya itu.

Pemuda kurus itu berusaha meyakinkan diri, "Kau benar bukan dari gerombolan mereka?" tanyanya lagi.

Wulan Ayu kembali tersenyum ramah, meskipun dikepalanya timbul berbagai pertanyaan.

Beberapa saat kemudian pemuda itu tertegun dan menengok ke kanan dan ke kiri lalu cepat tangannya, langsung menarik tangan kanan Wulan Ayu.

Dalam keadaan bingung Wulan Ayu mengikuti langkah pemuda tersebut.

"Hei, kau mau mengajakku kemana?" tanya Wulan Ayu.

"Ayo, Kak. Ikut aku Desa ini dalam keadaan berbahaya," kata Parmin buru-buru.

"Tapi kudaku," cegat Wulan Ayu.

"Di mana kudamu? Bawa sekalian."

"Suit .......!" Wulan Ayu bersiuk kecil, indah terdengar siulan itu kemudian terdengar ringkikan kuda dan disusul dengan suara derap langkah kaki kuda.

"Ayo!" ajak Parmin, Wulan Ayu mengikuti kemana Parmin berjalan walaupun ia semakin heran, kenapa pemuda itu mengajak masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan ditumbuhi dengan tumbuhan yang merambat.

"Kita mau kemana?" tanya Wulan Ayu.

"Ke tempat yang aman, Kak," jawab Parmin. Melihat sikap pemuda itu yang tiba-tiba berubah membuat Wulan Ayu tambah heran dan bingung, tapi ia tidak sempat bertanya-tanya lagi. Kerena sibuk menyibak semak agar kudanya bisa terus berjalan.

Ketika mereka tiba di sebuah tempat yang agak bersih dan lapang, tiba-tiba di sekitarnya bermunculan orang-orang yang berpakaian kumal dan compang-camping.

Mereka membawa alat pemukul dari macam-macam bentuk yang terbuat dari kayu ada sekitar sepuluh orang laki-laki yang rata-rata berusia cukup tua.

"Mereka bukan orang jahat, Kak,"kata Parmin. Wulan Ayu hanya memandangi orang-orang yang mengelilinginya dengan wajah tidak bersahabat.

"Mereka adalah para penduduk yang selamat dari kejahatan para perampok itu, Kak," jelas Parmin, setelah itu pemuda itu menghampiri salah seorang laki-laki yang berwajah paling tua. Parmin berbisik pada laki-laki dengan janggut dan kumis panjang yang hampir menyatu.

Laki-laki tua itu segera mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian ia melangkah menghampiri Wulan Ayu dengan didamping Parmin, sedangkan yang lain tetap mematung.

"Ini Pamanku Sempana, Kak," kata Parmin memperkenalkan laki-laki tua yang berumur sekitar lima puluh tahunan itu.

"Benar, Kau bukan orang anggota Partai Tengkorak Merah?" tanya Paman Sempana sambil menurunkan tangannya.

"Siapa Partai Tengkorak Merah?" Wulan Ayu malah balik bertanya

"Benar, Kau bukan orang anggota Partai Tengkorak Merah?" tanya Paman Sempana sambil menurunkan tangannya.

"Siapa Partai Tengkorak Merah?" Wulan Ayu malah balik bertanya.

"Mereka adalah kaum yang telah menghancurkan desa kami dan juga desa-desa lain di wilayah kaki gunung kuting ini," kata Paman Sempana menjelaskan. Wulan Ayu mulai mengerti permasalahannya sekarang.

Rupanya orang-orang tersebut korban dari keganasan kelompok manusia yang tidak bertanggung jawab dan tidak berprikemanusiaan. Jadi ia menyadari dan memaklumi bila sikap mereka penuh kecurigaan tidak bersahabat padanya.

Kejadian yang menyakitkan yang membuat orang-orang itu takut dengan orang luar dan pendatang, namun sikap Wulan Ayu yang meyakinkan mereka dan penjelasanya bahwa ia hanya mengembara yang kebetulan lewat dan bertemu dengan Parmim dan bukanlah anggota Partai Tengkorak Merah seperti yang mereka kira.

Melihat sebuah pedang tersampir di balik punggung Wulan Ayu, Paman Sempana bertanya, "Apakah kau seorang pendekar?"

"Bukan, aku menggunakannya untuk menjaga diri dan membantu mereka yang memerlukan," jawab Wulan Ayu merendah.

"Parmin, apa yang kau dapatkan di desa?" tanya Paman Sempana.

"Aku tidak mendapatkan apaum di sana Paman, sudah tidak ada bahan makanan yang tersisa, aku hanya mendapatkan ini," kata Parmin sambil meletakkan bungkusan kain berisi beberapa potong besi yang tampak sudah berkarat.

.

.

Bersambung....

BCPNS. 02

Paman Sempana tampak termenung dan tampak gelisah mendengar jawaban Parmin, bahwa pemuda itu tidak mendapatkan bahan makanan dari desa.

"Tidak ada Paman, semua ladang barang rusak, sedangkan lumbung padi telah kosong," kata Parmin lagi.

"Aku punya sedikit persediaan bahan makanan," kata Wulan Ayu memotong.

"Untuk dua atau tiga orang?"

"Mungkin kau punya makanan untuk tiga orang, Den Ayu. Tapi kami butuh untuk sekitar tiga puluh orang," kata Paman Sempana.

"Ada sekitar tiga puluh orang belum makan hari ini, kerena Parmin tidak mendapatkan makanan," lanjut paman Sempana lagi.

Wulan Ayu mengerutkan keningnya mereka semua orang-orang dewasa dan beberapa orang anak-anak dan wanita yang kelaparan di tempat persembunyiannya.

"Paman Sempana, Kenapa tidak mencari makan di hutan, saya lihat hutan cukup banyak menyediakan bahan makanan. Kalian semua bisa berburu'kan," kata Wulan Ayu.

"Kami tidak mungkin melakukan perburuan. mereka orang-orang Partai Tengkorak Merah sewaktu-waktu bisa membunuh siapa saja yang berkeliaran di hutan ini," jelas Paman Sempana.

"Kalau begitu aku akan membantu kalian mencari bahan makanan, dan untuk sementara aku kira bahan makanan yang aku bawa cukup banyak. Parmin kau bisa ambil bahan makanan yang di ada di punggung kudaku," kata Wulan Ayu, setelah berkata demikian gadis cantik itu langsung melompat cepat meninggalkan tempat itu hanya dalam sekejap mata bayangan yang sudah tidak terlihat lagi hal itu tentu saja membuat orang-orang yang berada di sana melongo.

Kebanyakan mereka tertegun dengan wajah pucat pasi.

"Parmin, coba lihat apa ada bahan makanan," perintah Paman Sempana.

Tanpa banyak komentar Parmin langsung menghampiri kuda putih yang tidak di jauh dari tempat itu. Tiba-tiba mata Parmin terbalik lebar melihat bahan makanan cukup banyak dalam buntalan itu.

"Paman...!" teriak Parmin. Paman Sempana merasa penasaran dan segera berlari menghampiri dengan diikuti yang lainnya. wajah mereka berubah cerah setelah melihat bahan makanan tergelar di kain yang dibuka oleh Parmin.

"Aku yakin, Tuhan telah mengirim dia untuk menolong kita, Paman," ucap Parmin.

"Bagaimana dengan makanan ini, Paman?"

"Berikan pada mereka, biar para wanita yang memasaknya untuk kita. Kau dan aku menunggu saja sini," kata Paman Sempana.

Parmin segera memberikan bahan makanan pada salah seseorang laki-laki berpakaian kumal. Tanpa menunggu perintah lagi orang-orang yang kelaparan itu langsung membawa makanan itu ke dalam goa untuk di masak.

"Apa kau lapar, Min?" tanya Paman Sempana. Parmin hanya menyengir mendengar pertanyaan Paman Sempana tersebut.

Memang dari kemarin perutnya memang belum kemasukan sebutir nasi pun hanya air sungai dan daun-daun muda yang mengganjal perutnya.

"Sebagai mu bekas murid Eyang Resi Wanapati kau harus tabah, Parmin," kata Paman Sempana.

"Aku mengerti Paman. Sayang, aku belum sempat menamatkan pelajaran jadi belum mampu melawan mereka," Parmin setengah bergumam seakan menyesali.

"Jangankan kau yang baru tiga tahun belajar, gurumu saja tidak mampu menghadapi mereka."

"Itu karena seorang murid yang berkhianat memberikan racun pada makanan eyang Guru."

"Bukan berkhianat, tapi Partai Tengkorak Merah bertengkorak memang sengaja mengirim orang kesana untuk melemahkan gurumu."

"Kalau saja waktu itu aku tau, langsung kubunuh saja orang itu."

"Percuma saja Parmin. Ah, sudahlah yang penting kau bisa lolos dari kepungan mereka."

"Ya, tapi karena kesalahanku Desa Giling Batu jadi hancur," ada penyesalan dalam nada suara Parmin.

"Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri Parmin. Bukan hanya desa kita yang hancur tapi banyak desa lain yang hancur di pinggiran Gunung Kuting ini yang hancur karena kejahatan mereka," kata Paman Sempana.

Parmin hanya terdiam lesu, ia mengenjalkan tubuhnya pada sebatang pohon yang berlumut tebal. Sedangkan paman Sempana juga duduk di depan anak muda itu. Ada rasa iba saat melihat keponakan yang telah berubah jauh dibandingkan dengan ketika masih menuntut ilmu di pedepokan Resi Wanapati dapati, kini Parmin kelihatan kurus dan tidak berdaya apa-apa, kerena rasa bersalahnya terbesar memberi dan menerima tekanan batin dan semua ini akibat dari tangan-tangan kotor orang merusak ketentraman hidup manusia di dunia.

##########

Sudah tiga hari Wulan Ayu tinggal bersama orang-orang mengasingkan diri menghindari kekerasan. Mereka yang menamakan dirinya Partai Tengkorak Merah Setiap hari dia Mengumpulkan makanan, berburu binatang.

Wajah-wajah yang tadinya lesu kini sedikit demi sedikit menampakkan keceriaannya mereka tidak perlu lagi ketakutan kekurangan makanan karena Wulan Ayu telah mencukupinya, bahkan kini mereka mempunyai persediaan bahan makanan yang cukup banyak.

Selama tiga hari itu pula Wulan Ayu selalu memantau keadaan di sekitar lereng gunung dan sudah berapa kali gadis itu harus bentrok dengan berapa orang yang menamakan Partai Tengkorak Merah, bahkan sudah dua kali dia merampas kereta yang membawa perbekalan bahan makanan.

Wulan Ayu juga mengajarkan beberapa jurus dasar ilmu olahkanurakan pada laki-laki yang masih kuat dan muda dibantu oleh Parmin yang sempat belajar di padepokan Resi Wanapati.

Apakah Kakak hari ini Mau berburu lagi?" tanya Parmin melihat ke arah Wulan Ayu sedang mempersiapkan kudanya.

"Tidak. Aku hanya membersihkan kuda saja," jawab Wulan Ayu sambil tersenyum, sambil menoleh kearah Parmin.

"O..., aku kira Kak Wulan mau pergi lagi," kata Parmin sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Memangnya kenapa kalau aku pergi?" Wulan Ayu tersenyum manis.

"Tidak apa-apa, aku hanya mau menyarankan sebaiknya Kakak istirahat aja hari ini, soalnya persediaan bahan makanan cukup banyak. Bahkan cukup untuk dua purnama mendatang."

Wulan Ayu kembali tersenyum, sebenarnya ia jengah dipanggil dengan sebutan kakak karena Parmin kelihatannya lebih tua dari dirinya, bahkan semua orang yang ada di dalam gua memanggil nya nya dengan kata den ayu, padahal sejak semula Wulan Ayu sudah melarang, tapi tetap saja mereka memanggilnya begitu.

"Kemarin aku menemukan tujuh orang hampir mati kelaparan dekat jurang," kata Parmin memberi tahu.

"Ya, aku sudah mendengar dari Paman Sampana. Mereka dari desa lain yang dekat dengan desamu'kan?" sahut Wulan Ayu.

"Iya, bahkan aku mengenal seorang diantara mereka itu."

"Bagaimana keadaannya sekarang?" tambah Wulan Ayu.

"Sudah sehat. Bahkan tadi pagi, sudah ikut latihan olah kanuragan bersama yang lain," jawab Parmim.

"Bagus, kita memang masih banyak membutuhkan tenaga untuk melawan Partai Tengkorak Merah."

"Ada berita Bagus lagi, Kak," kata Parmin lagi .

"Berita apa?" Wulan Ayu penasaran.

"Orang-orang tua dan wanita sedang mulai bercocok tanam katanya mereka malu hanya mengandalkanmu mencari bahan makanan."

Wulan Ayu tidak menahan tawanya lagi, suara tawanya renyah dan enak terdengar di telinga. Parmin tersenyum-senyum sendiri mendengarnya. Sedangkan matanya sedikit nakal merayapi wajah cantik di depannya. seumur hidup belum pernah ia melihat gadis cantik, apalagi bercakap-cakap.

Makanya setiap ada kesempatan Parmin selalu menyempatkan untuk bercakap-cakap dengan Wulan Ayu, hatinya sudah cukup senang hanya melihat senyuman manis dan mendengar suara merdu yang menghanyutkan itu.

" Ada apa, Parmin. Kenapa kau memandangku demikian?" tanya Wulan Ayu yang merasa tidak enak dipandang begitu.

"Oh, tidak ada apa-apa," jawab Parmin tergagap.

"Apa ada yang salah pada diriku," Wulan Ayu merentangkan tangan tangannya.

"Tidak...., tidak ada Kak, aku hanya...."

"Kenapa?" Wulan Ayu cepat memotong.

"Tidak ada apa-apa," Parmin mulai sedikit tenang. Wulan Ayu masih memandangi wajah Parmin yang mendadak jadi berubah merah, sedangkan Parmin terus merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Secara jujur Wulan Ayu mengakui Parmin adalah pemuda yang cukup tampan meskipun tubuhnya kurus, hanya saja Wulan Ayu tidak bisa melupakan Anggala, ia tidak pernah merasa tertarik pada setiap pemuda yang ia jumpai.

Cintanya pada Anggala tidak akan pernah pudar sampai kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Wulan Ayu bertekat mencari Pendekar Naga Sakti sampai ketemu.

Wulan Ayu yakin Anggala sangat mencintainya dan tidak akan melupakannya.

"Aku akan jalan-jalan sebentar Parmin. Kau harus melatih mereka hari ini," kata Wulan Ayu mengusir kekakuan yang ada.

"Iya, iya, Kak," Parmin belum hilang gugupnya.

"Latih mereka dengan sungguh-sungguh. Kalau ada perlu cari aku dekat sungai."

"Iya, Kak."

Wulan Ayu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, sedangkan Parmin masih berdiri memandangi Wulan Ayu yang perlahan menjauh.

.

.

Bersambung....

BCPNS. 03

Siang itu udara sangat cerah di atas tidak tampak dikit pun tanda-tanda akan turun hujan, sementara angin yang bertiup pelan menambah hawa menyegarkan.

Tampak Wulan Ayu sedang berjalan-jalan pelan menyusuri tepian sungai kecil yang airnya jernih beberapa ekor ikan tampak berenang hilir mudik di antara bebatuan, sejenak bibir gadis itu menyungging senyuman melihat dua ekor burung parkit tengah memadu kasih di sebuah cabang pohon.

Tiba-tiba saja senyum di bibir gadis itu langsung lenyap, buru-buru Wulan Ayu menghentikan langkahnya dan memasang telinganya baik-baik, segera ia dapat menangkap suara yang mencurigakan di sekitar tempat itu.

Tapi belum sempat dia melakukan apa-apa, mendadak dari balik pohon dan semak-semak di depannya bermunculan enam orang laki-laki dengan senjata golok yang besar dan panjang.

Wulan Ayu tersenyum kecil sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Gadis itu mengetahui bahwa orang-orang itu adalah anggota Partai Tengkorak Merah, sabuk dengan kepala tengkorak yang mereka kenakan cukup untuk mengetahui siapa yang

ada di hadapannya saat ini.

"He he he....! Nasib kita benar-benar mujur hari ini," kata salah seorang sambil terkekeh.

"Benar tengkorak putih pasti akan senang sekali mendapatkan kepala perempuan ini," sambut yang lainnya.

"Wah, sayang sekali. Bagaimana kalau kita nikmati dulu tubuh perempuan ini sebelum memenggal kepalanya," kata salah seorang lagi sambil menelan air liur nya.

"He he he...!" tawa lainnya. Tentu saja kuping Wulan Ayu menjadi merah mendengar kata-kata kotor tersebut, gerahamnya gemeretuk menahan marah, ia benar-benar jijik dengan pandangan mata yang bernafsu dari ke-enam laki-laki di depannya.

"Ayo, maju kalian semua. Aku ingin tahu bagaimana rasanya bersenang-senang dengan bangsat, bangsat macam kalian!" dengus Wulan Ayu marah-marah.

"He he he...., rupanya kau tidak sabar juga ingin segera menikmati kenikmatan surga dunia gadis ayu," jawab yang agak gemuk sambil melotot kan matanya.

"Sudah, jangan banyak omong. Tangkap dia," serang yang lainnya tidak sabar, tiba-tiba salah salah orang satu menerjang tapi dengan secepat kilat Wulan Ayu memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan, sedangkan tangan kanannya langsung berkelebat menghajar lawannya itu.

Buak!

"Argkh...! Sialan!" orang itu menggeram seraya melompat mundur, tampak ia meringis merasakan mual dan nyeri pada perut nya.

"Ayo, siapa lagi yang ingin merasakan belaian tanganku?!" tantang Wulan Ayu dengan suara lantang dengan penuh emosi.

Salah seorang lagi menerjang secepat kilat, Wulan Ayu melompat dan melentingkan dirinya ke udara menghindari terjangan orang itu. Orang itu menerjang nya sambil mengibaskan golok, sedangkan kaki gadis berpakaian biru itu bergerak cepat menghantam lawannya.

Buak!

"Aaaa....!" kontan saja lawannya itu meraung keras dan ambruk ketanah terkena tendangan beruntun dengan pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi.

Wulan Ayu menginjakan kakinya tepat di atas dada orang yang melempar itu, ketika itu juga darah langsung muncrat keluar dari mulutnya. Sedangkan kepalanya terkulai lema, nyawanya telah melayang dari tubuhnya.

"Serang perempuan itu!" kata salah seorang memberi komando, lima orang temannya langsung meluruk dan meluncur menerjang ke arah Wulan Ayu. Sedangkan Wulan Ayu dengan cepat berlompatan kesana-kemari menghindari setiap terjangan orang-orang itu sambil sesekali membalas dengan pukulan dan tendangan.

Lima orang lawannya itu memang bukanlah tandingan Bidadari pencabut nyawa, sehingga dalam waktu singkat saja satu persatu dari mereka segera bergelimpangan dengan tubuh tidak bernyawa lagi.

Tiba-tiba tanpa sepengetahuan Wulan Ayu salah seorang meninggalkan tempat itu.

"Kemana yang satunya lagi?" dengus Wulan Ayu sengit setelah salah satu orang lawannya berhasil lolos. Wulan Ayu suka membalikan tubuhnya.

Di kejauhan Parmin sedang berlari menghampirinya, "Ada apa kau kemari?" tanya Wulan Ayu mengerutkan kening.

"Aku, Aku mendengar ada pertarungan. Syukurlah kalau Kakak tidak apa-apa," sahut Parmin masih sedikit tersenggal nafasnya.

"Mereka cuma kroco," jawab Wulan Ayu. Parmin memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di depannya tanpa berkata-kata lagi, ia buru-buru menyeret mayat-mayat tersebut dan menceburkannya ke dalam sungai kemudian dia membersihkan darah yang memercik pada ranting-ranting kering sehingga tidak ada kesan bahwa di tempat telah terjadi pertarungan.

"Untuk apa kau lakukan semua itu Parmin?" tanya Wulan Ayu tidak mengerti apa maksud pemuda itu.

"Biar tidak kelihatan bekasnya Kak, tempat ini'kan dekat dengan goa dan sungai jadi sangat penting bagi kita semua," sahut Parmin menjelaskan.

"Percuma saja, Parmin. Daerah ini masih termasuk dalam wilayah Hutan jati yang mereka namakan lembah tengkorak dan masih dalam kekuasaan mereka."

"Aku tahu Kak, tapi paling tidak bisa memperlambat mereka untuk mengetahui tempat ini," kata Parmin.

"Aku malah punya pikiran lain, Parmin," usul Wulan Ayu.

"Apa, Kak?" tanya Parmin.

Sebelah selatan ini ada sebuah desa dan tampaknya Desa itu tidak terjamah oleh partai tengkorak," kata Wulan Ayu.

"Maksud, Kak Wulan. Desa sulapan?"

"Bukan."

"Memang ada dua desa di sekitar lereng gunung Kuting ini, Kak. Sebelah selatan dari hutan jati jarak adalah Desa sulapan sedangkan sebelah utara Desa Batu tipis kedua desa itu yang sengaja tidak dijamah oleh partai tengkorak karena sebagian penduduknya anggota Partai itu dan desa-desa itu letaknya sangat strategis karena sebagai penghubung dengan desa-desa lainnya," Parmin menjelaskan.

"Bagaimana besarnya pengaruh Partai Tengkorak Merah sampai bisa menarik para penduduk untuk masuk menjadi anggotanya," gumam Wulan Ayu kesal.

"Memang sulit bagi desa-desa di sekitar lereng gunung kuting ini untuk tetap hidup kalau tidak diperlukan lagi oleh Partai Tengkorak Merah, pasti ada alasan lain mengapa mereka membiarkan kedua Desa itu dengan desa-desa lainnya'kan?" Wulan Ayu menerka.

Memang Desa sulapan adalah penghubung langsung ke kerajaan Mandalika sedangkan Desa Batu tipis jadi gerbang utama menuju

Kerajaan Galuh Permata," jelas Parmin lagi.

Wulan Ayu segera menunggu beberapa saat setelah mendengar keterangan itu Wulan Ayu tidak menduga sama sekali. Kalau ternyata sudah berada dekat sekali dengan kerajaan Mandalika mendengar nama kerajaan itu dia jadi ingat akan perjalanannya bersama Anggala.

Wulan Ayu mengingat kerajaan Mandalika adalahnkerajaan milik keluarga kekasihnya

rasa ingin tahu yang begitu besar dalam diri Wulan Ayu tentang apa yang terjadi di kerajaan Mandalika saat ini. Membuat ia memacu kudanya menuju Desa sulapan, ia tahu Desa itu tidak terlalu jauh letaknya paling-paling cuma makan waktu kurang dari setengah hari dengan menunggang kuda

Di tengah perjalanan Wulan Ayu tidak begitu banyak mendapat hambatan karena dia tidak menemui anggota Partai Tengkorak Merah.

"Permisi," Wulan Ayu memberikan salam pada seseorang setelah sampai di desa yang ia tuju.

"Oh...., salam juga, Nak," jawab orang tua yang sedang beristirahat di depan sebuah rumah.

"Saya mau numpang tanya, Kisanak?" tanya Wulan Ayu.

"Oh, Boleh silakan."

"Apa nama desa ini, Ki?" tanya Wulan Ayu ramah.

"Desa sulapan," jawab orang tua itu singkat. Wulan Ayu kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, bibirnya menyungging senyum begitu melihat tanaman padi yang sudah siap dipanen.

Tampak beberapa anak kecil berlarian kesana-kemari mengusir burung burung yang mengganggu tanaman padi mereka.

"Tampaknya, Nisanak baru tiba di desa ini. Apakah ada yang perlu saya bantu?" kata laki-laki tua itu setelah memperkenalkan dirinya yang bernama kita Paruming

"Kemana tujuan, Anak Wulan?" tanya Ki Paruming.

"Saya mau ke kerajaan Mandalika," jawab Wulan Ayu terus terang.

.

Bersambung.....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!