Kini Partai Tengkorak Merah benar-benar di rundung oleh sepak terjang Wulan Ayu yang mereka kenal dengan gelar Perawan Lembah Tengkorak tersebut.
Markas Partai Tengkorak Merah yang berada di lembah dan di lindungi pohon bambu kuning kini sudah tidak ada lagi.
Malam kemarin seluruh pohon bambu kuning yang membentengi bangunan Partai Tengkorak Merah juga sudah terbakar, tanpa ada yang mengetahui siapa yang telah membakarnya.
Berbagai malapetaka yang terjadi secara beruntun tersebut, tentu saja sangat mengurangi jumlah anggota Partai Tengkorak Merah. Bahkan lebih sialnya lagi tidak ada satupun partai dari golongan hitam yang mau membantu dengan mengirimkan anggotanya, mereka akan tertawa menyaksikan saat kehancuran yang bakal terjadi pada Partai Tengkorak Merah itu
Partai yang semulanya terbesar dan menguasai seluruh wilayah di sekitar lereng Gunung Kuting itu. Partai yang dulunya sangat ditakuti oleh partai-partai kecil lainnya.
"Aku merasakan bahwa saat-saat kehancuran Partai Tengkorak Merah sudah semakin dekat, tapi aku tidak ingin kehancuran seluruhnya. Kau mengerti maksudku, Purbaya?" kata Tengkorak Putih.
"Aku mengerti, Ayah," sahut Purbaya tersedak suaranya.
"Sebelum terlambat. Aku ingin kau segera meninggalkan tempat ini. Pergilah bersama paman-paman mu dan susun kekuatan baru, kemudian rongrong kewibawaan Kerajaan Mandalik. Aku akan sangat bangga jika kau berhasil meruntuhkan musuh besar leluhurmu itu ," kata Tengkorak Putih berapi-api.
"Ayah sendiri bagaimana?"
"Aku akan menghadapi mereka, hanya aku yang mereka cari. Bukan kau atau yang lainnya."
Purbaya kembali menundukkan kepala sebenarnya ia ingin membantah perintah itu, tapi dia tidak berani mengucapkannya. Ia tahu kalau semua itu sudah dipertimbangkan masa-masa oleh ayahnya.
Belum pernah Purbaya melihat ayahnya pesimis seperti ini, biasanya ayahnya begitu tegar dan selalu percaya diri dengan kekuatan dan kemampuannya. Tapi yang dilihat Purbaya sekarang sungguh sangat lain sekali, sepertinya ia tidak lagi melihat sosok ayahnya yang begitu dihormati dan ditakuti baik oleh lawan maupun kawan.
Ibaratnya ayahnya kini bagaikan seekor macan tua yang sudah tidak mempunyai gigi lagi. Mendadak Tengkorak Biru datang dengan tergopoh-gopoh dan ia segera menjura hormat begitu sampai di depan Pemimpin tertinggi Partai Tengkorak Merah tersebut.
Purbaya yang menarik nafas dalam-dalam tidak ingin kelihatan lemah di depan pamannya itu. Semua persiapan sudah selesai, Tengkorak Putih," lapor Tengkorak Biru.
"Bagus," sambut Tengkorak Putih dengan senyum yang dipaksakan.
"Persiapan apa?" Purbaya mengerutkan kening.
"Kau harus berangkat sekarang juga, Purbaya. Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning, akan bersamamu," Tengkorak Putih menjelaskan.
"Benar, Purbaya. Selama dalam perjalanan nanti kita semua akan berganti nama, kecuali kau. Sebab di dunia luar tidak ada seorang pun yang mengenal dirimu selama ini. Kau bukan hanya berada di dalam sini saja," sambung Tengkorak Biru.
"Tapi, kenapa harus sekarang?" Purbaya tidak mengerti.
"Tengkorak Hijau telah mengatakan bahwa saatnya sudah semakin dekat, dan kita harus segera berangkat sebelum mereka menghancurkan tempat ini," sahut Tengkorak Biru.
"Tapi?"
"Purbaya kau tidak ingin mengecewakan harapanku'kan? Sudah ku katakan tadi bahwa masa depan Partai Tengkorak Merah sudah ku serahkan ke tanganmu. Pergilah bukan untuk kalah tapi pergi untuk memperoleh kemenangan yang tertunda," setelah Tengkorak Putih memberi semangat, Purbaya tampak terdiam merenung beberapa saat.
"Jangan hiraukan semua yang ada disini, kelak jika aku selamat kita pasti akan bertemu lagi dan aku ingin melihat kau sebagai pemimpin besar Mandalika," Tengkorak Putih tersenyum masam.
"Baiklah, Ayah," sahut Purbaya seraya bangkit dari duduknya.
"Berangkatlah untuk menang, Anakku."
"Aku pergi, Ayah," pamit Purbaya seraya menjura hormat.
Tengkorak Putih segera menganggukkan kepala dengan senyum yang dipaksakan, Tengkorak Biru pun menjura dengan hormat rmat dan segera berlalu mengikuti Purbaya yang sudah melangkah terlebih dahulu.
Tengkorak Putih masih memandangi kepergian putranya dengan hati terenyuh, namun ia harus bisa menguatkan diri. Kepergian Purbaya diharapkan bisa meneruskan cita-citanya.
Purbaya menunggang seekor kuda putih yang kakinya berbelang hitam, sementara di belakangnya tampak Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning juga menunggang kuda tidak ada seorangpun anggota Partai Tengkorak Merah yang ikut bersama mereka.
Hal ini memang disengaja untuk menghindari orang-orang yang mungkin akan mengenali mereka. Semua barang-barang yang menandakan bahwa mereka berasal dari Partai Tengkorak Merah ditinggalkan, mereka semua menggunakan pakaian biasa seperti layaknya pengembara.
Bahkan Purbaya pun hanya mengenakan kalung lambang kepemimpinan tertinggi yang tersembunyi di balik pakaiannya.
"Mulai saat ini kami akan memanggilmu dengan sebutan, Raden Purbaya. Kau bisa memanggilku dengan sebutan, Paman Kampar," kata Tengkorak Biru.
"Aku pun cukup kau panggil, Paman Lebak saja," sambung Tengkorak Kuning.
"Memangnya asal kita darimana, Pama n?" tanya Purbaya.
Pedepokan Bambu Kuning," jawab Tengkorak Biru.
"Di mana itu?"
"Hanya nama rekaan saja untuk mengingat Partai Tengkorak Merah yang tinggal di hutan yang penuh dengan bambu kuning."
"Kenapa tidak menggunakan nama Lembah Bambu Kuning saja? Bukankah itu lebih bagus kedengarannya," saran Purbaya.
"Wah, benar!" seru Tengkorak Biru, "Partai Tengkorak Merah memang berada di dasar lembah dan tempat itu dulunya banyak ditumbuhi dengan pohon bambu kuning. Satu nama yang tepat dan bisa dijadikan sandi bagi anggota Partai Tengkorak yang sendiri," sambung Tengkorak Kuning.
"Sandi untuk mengumpulkan kembali atau membinasakan mereka," sela Purbaya.
"Kami akan hanya menurut perintahmu, Raden Purbaya," kata Tengkorak Biru.
"Kalau begitu langkah pertama kita adalah membinasakan anggota Partai Tengkorak Merah yang melarikan diri terutama mereka yang memiliki kedudukan dalam partai."
"Kami laksanakan, Raden," sahut kedua laki-laki setengah baya itu serempak. Purbaya langsung tertawa mendengar sebutan Raden pada dirinya sedangkan Tengkorak Biru dan Tengkorak Kuning hanya tersenyum-senyum saja.
Mereka terus saja memacu kudanya pelan-pelan untuk menghindari perhatian, karena mereka masih berada di wilayah Hutan Jati Jarak. Suatu kawasan yang sudah dikuasai oleh si Perawan Lembah Tengkorak bersama ular-ular siluman nya.
"Kemana tujuan kita sekarang, Paman Kampar?" tanya Purbaya.
"Desa terdekat sekalian mencari keterangan," sahut paman Kampar alias Tengkorak Biru.
"Mencari keterangan, apa mencari bekas anggota Partai Tengkorak Merah yang melarikan diri?"
"Baiklah, untuk sementara kita jelajahi dulu desa-desa di sekitar lereng Gunung Kuting," sambung Purbaya, "Tapi tindakan kita jangan terlalu menyolok dan jangan terlalu banyak bertanya, yang nantinya justru dapat menimbulkan kecurigaan," kata Tengkorak Kuning yang kini memakai nama Lebak.
"Aku setuju, tapi apakah nanti tidak ada yang mengenali Paman berdua?"
"Tidak. Kami tidak pernah menampakan diri pada anggota kelas rendah," sahut Tengkorak Biru.
"Kalau begitu kita bisa bergerak lebih leluasa tanpa hawatir ada yang mengenali," sambut Purbaya.
"Jelas, Raden!" Ketiga orang itu pun segera mengendalikan kudanya lebih cepat menuju Desa Sulapan yang paling dekat dengan Hutan Jati Jarak ini, tidak ada lagi yang berbicara mereka khawatir kalau pembicaraan mereka didengar oleh siluman ular.
.
.
Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Bayu Putra
Mantap lanjutkan
2023-03-11
1