Jaka turun disusul Neta ke meja makan, wajahnya bete, suram mirip cuaca yang lagi mendung.
Baik ibu, kak Syifa ataupun mas Syarif tak ada yang buka suara, sampai si kecil Aqis angkat bicara, "om Jaka, kenapa baru turun, om baru bangun ya?" tanyanya menebak.
Jaka mengulas senyuman hangat untuk Aqis, membuat Neta menoleh tak percaya, bisa senyum juga? Kirain urat mulutnya udah lumpuh! Delikan matanya kini bergerak ke arah nasi dan menyuapkannya ke dalam mulut, tanpa mau mengambilkan nasi untuk Jaka.
"Om udah bangun dari tadi kok..." jawab Jaka.
"Terus kenapa ngga barengan keluarnya sama aunty, biasanya kalo ayah sama bunda itu keluar kamar suka barengan...om malu sama Aqis ya!" kikiknya, yeahh! Aqis adalah Neta wanna be yang level kepedeannya udah los dol.
"Aqiissss...." Syifa menggeleng menegur.
Jaka kembali melempar senyumannya pada keponakan Shanneta itu, "iya nih. Om Jaka malu sama Aqis yang soleha, pagi-pagi udah bangun buat solat sama bantuin bunda, anak hebat..." balasnya membuat gadis itu mengangguk pasti, "iya dong om, harus, wajib!" kikiknya.
Padahal di sampingnya Neta sudah merotasi bola matanya seraya melengkungkan bibir tanda mencibir, "penjilat," gumamnya tanpa bersuara.
"Bu, kak Syifa...mas Syarif, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mungkin siang ini saya mau bawa Neta untuk pulang ke kontrakan saya...bukan saya tak betah, tapi karena kontrakan lebih dekat ke tempat kerja Jaka, biar Jaka dan Neta juga bisa lebih mandiri," ucapnya memecah kediaman para orang dewasa. Ibu saling melempar tatapan dengan Syifa dan Syarif, "kenapa ngga disini saja Jak? Bukannya Shangri-la jaraknya sama saja dari kontrakan atau dari sini?"
Neta mengangguk cepat dengan ibu kali ini, saking cepatnya boneka dashboard aja kalah saing, "bener! Ibu ngga rido kan bu, kalo aku mesti keluar dari rumah?!" tanya nya mengompori para penghuni di meja makan.
Syifa menghembuskan nafasnya, "mungkin maksud Jaka bengkel bu, lagian bagus juga kalo Jaka ada niat mau mandiri, biar Neta juga belajar cara jadi wanita seutuhnya...selama ini kan ibu selalu manjain dia..." sahut Syifa setuju dengan Jaka, sontak saja Neta melotot tak terima, "enak aja! Aku ngga manja...kurang cewek apanya Neta, nih...body, sexy! Onderdil, yahud! Perlu diperiksa?!" Neta meliuk-liukkan tubuhnya macam belut.
"Maksudnya sifat kamu Shanneta," tambah mas Syarif gemas juga dengan adik iparnya itu, pengen ta cubit ginjalnya.
Ck! Decak Neta, sudah dipastikan dua orang di depan dirinya akan memihak Jaka. Ibu menimbang-nimbang seraya menganggukkan kepalanya, "bener juga. Selama ini, kamu emang ngga pernah belajar untuk dewasa...ya udah lah, tapi sering-sering main kesini..." ibu tersenyum redup lantas memandang Jaka, "titip Neta, Jaka...jika ia tidak bisa maka ajari, jika ia tak mau belajar tegur dengan baik-baik, jika ia tetap membandel dan bikin kesal maka pulangkan saja..." pesan ibu seketika membuat suasana sarapan menjadi mengharu.
Neta berdecak, seolah-olah ia lah makhluk paling childish di muka bumi, "ibu...lagian kalo Jaka ngga mau ajarin juga Neta bisa manggil go clean, kalo ngga bisa masak masih banyak warteg, ngga usah lebay gitu kali bu...kalo Jaka main kasar, ada KPAI..." balasnya membuat Jaka mengu lum bibirnya, disaat yang lain sudah serius gadis ini malah menyahut.
Ibu sampai menggertakkan giginya, bahkan Syifa sudah mengetuk kepala Neta dengan sendok bersih, sementara Syarif menggeleng frustasi.
Aqis tertawa setiap kali sendok mendarat di kepala tante oleh bundanya.
*Blag---blug---blag---blugg*!
Begitu kiranya suara koper yang diseret menuruni tangga dengan kasar oleh Neta, sekasar tindakan kdrt. Jaka hendak meraih koper milik Neta, namun gadis itu mendadak hulk, tangannya menepis tangan Jaka, badan kecilnya mampu mengangkat koper berat ke dalam bagasi si jazzy dengan sekali pikulan saja, cocok jadi tukang angkat beras di pasar Senen.
"Bu, kami pamit. Salam untuk kak Syifa, mas Syarif dan Aqis..." angguknya dalam kemudian salim takzim pada ibu.
"Iya, sering-sering main ke rumah..."
Neta tak luput memeluk ibu, "Neta pergi jihad dulu, bu. Do'ain Neta ngga gila disana!" ketusnya menggerutu.
"Kamu tuh ngomong apa sih, ngaco."
"Do'a ibu selalu ada buat kalian...jaga kondisi kandungan baik-baik..."
Neta sempat terhenyak saat ibu mengusap perutnya, "iya," singkatnya.
Dengan mengendarai mobil Neta, keduanya melesat menuju kontrakan Jaka.
"Nanti parkir di bengkel nci Olin saja. Insya Allah aman, motor saya juga ada disana..."
"Hm," jawab Neta.
Tak ada obrolan berarti yang terjadi disana, hanya ada suara musik yang sengaja diputar Neta untuk mengisi kesunyian, karena sejatinya ia duduk bersama tembok raksasa Cina.
Sesekali suara Neta yang ikut bernyanyi ikut mengisi setiap rongga di dalam mobil, malu? Jawabannya ngapain mesti malu di depan tembok! Begitu pikirnya melihat Jaka. Setidaknya dengan bernyanyi bisa melepas sedikit rasa kesal di hatinya saat ini.
"Ada job di Shangri-la malam ini?" tanya Jaka memecah moment saling diam mereka, lebih tepatnya Jaka yang diam.
"Ada. Dan jangan berpikir buat larang aku!" ancamnya.
Jaka menyunggingkan senyuman miring, "engga. Nanti berangkat---" belum selesai Jaka bicara, Neta yang tau arah bicara akan kemana langsung memotongnya, "engga. Aku berangkat pake mobilku, dan kamu pake motor kamu sendiri, tapi ngga ada kata barengan..." ketusnya galak.
Jaka mengangguk, "iya. Terserah kamu," jawabnya, padahal Jaka hanya ingin berkata kalau nanti berangkat ia akan menjaga Shanneta dari belakang, tapi rupanya gadis ini sudah nge-gas duluan kaya soda.
Jaka menarik tuas rem tangan dan keluar dari mobil Neta, berikut Neta yang keluar dari sana. Rupanya motor Jaka memang sudah berada di bengkel, menunggu si empunya datang jemput.
Bengkel nci Olin masih tutup, mungkin karena ini masih pukul 8 pagi, dan bengkel baru buka pukul 9.30. Terlihat rolling doornya saja masih tertutup rapat.
"Sini koper kamu, biar ditaruh di depan..." pinta Jaka.
"Ibu sama Wulan masih di rumah?" tanya Neta naik ke jok belakang motor Jaka.
"Sudah pulang, kemarin sore ibu sama Wulan langsung pulang ke Garut naik bus...soalnya Wulan harus sekolah," jawab Jaka menstater motor dan mengemudikannya, aga lumayan kesulitan mengingat ia tak bisa bebas menggerakan stang motor terhalang koper segede gaban milik Neta, tapi hal itu tak lantas membuat Jaka melemparkan koper itu ke tpa.
Jalanan ini akan selalu Neta ingat, karena jalanan inilah yang akan dilewatinya setiap waktu sekarang, gang sempit dengan sejuta ciri khas gang senggol kampung pinggiran kota Jakarta, pandangannya menembus ruang dan waktu, ini keputusannya, ia sendiri yang mengundang Jaka ke dalam hidupnya jadi tak mungkin Neta menyalahkan takdir.
"Jak, dah balik lu?" suara seseorang membuyarkan kesibukan Neta yang sedang meneliti jalanan.
"Udah kong," Jaka menghentikan sejenak motornya di depan rumah permanen dekat kontrakannya.
"Cie elah Jaka, sekarang kalo mulih sing ada bojo, ayu pula!" kekeh Joko yang lagi rokok'an dan ngopi bareng kong Eman sang pemilik kontrakan sambil nongki pagi-pagi di teras si engkong.
"Nyak! Bekel Pudin mane!" teriak anak remaja tanggung berseragam smp di depan kontrakan samping rumah engkong. Memang jarak rumah si pemilik dan deretan kontrakannya bersampingan meski tak mepet.
"Giliran bekel aja lu inget, Din! Disuruh nyak beli terasi ke warung pake ogah-ogahan. Baba lu pengen sambel," balasnya tak kalah berteriak seraya memberikan selembar uang 10 ribu dengan kasar dari dompet kecil bermotif bunganya.
"Anak sekarang mana mau disuruh beli terasi, Ya...apalagi warung si haji, anaknya cakep ya Din, masa iya lu beli terasi?!" tawa ncing Anjar, jelas ia sedang mengepel lantai teras yang seuprit dengan berjongkok ria, aroma pengharum lantai sachet'an menyeruak menyapa penciuman, apakah ini aroma pinus?
"Eh, Jak. Dah balik lu, ini nih manten baru, mesraaa...duduk dempet-dempetan, kaya gua dulu!" sapanya melihat Jaka dan Neta yang masih berada di tempatnya.
Neta hanya tersenyum getir, bukan ia yang kegenitan dempet-dempetan, tapi ruang jok motornyalah yang tak muat berhubung ada koper miliknya.
"Udah sana lu berangkat," imbuh mpok Aya sedikit memberikan dorongan saat Syaipudin memberikan salim takzim tanda baktinya.
"Iya ncing, mpok. Saya duluan..." Jaka memutuskan untuk kembali melajukan motor ke depan kontrakannya. Sayup riuh terdengar musik ala batak dari kontrakan samping dengan logat khas medan yang bernyanyi keras, antara musik dan suara penyanyi pria dadakan itu ngga nyambung sama sekali, irama dan nadanya pun tak sampai bertemu, membuat kuping Neta berasa terdzolimi.
Belum apa-apa telinganya berasa cenat-cenut. Well, suasana pagi gang senggol menyambut Neta begitu semarak!
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ney🐌🍒⃞⃟🦅
💪💪💪💪neta😂😂😂😂😂
2024-06-13
2
@"siti waluya"🏞
bagus lah.. jihad barwng suami dpt pahla plus bayi...hhhh
2023-09-15
1
Raflesia
justru tetangga bgtu yg bakal drindukan...😊😊klo perumahan mah elu elu gue gue ...
2023-04-28
1