Duduk bersila atau melipat lutut begini bikin kaki lumayan kaku, lalu apa kabar dengan seorang ningrat atau abdi dalem yang nekuk kaki bisa sampe seharian? Mungkin jika ia yang jadi abdi dalem bangun-bangun lututnya langsung copot kaya lego, fix...ia tak berbakat untuk jadi seorang putri ningrat.
Menu makan di rumah ini sungguh sederhana, persis nama rumah makan. Ibu Sri memaksa Shanneta untuk turut menyantap menu makan malam seadanya dengan segala keramahan yang susah buat ditolak, meski gadis itu sudah menolak dengan segala desisan halus.
"Neta ngga biasa makan seadanya bu," ucap Jaka datar.
Percayalah, celetukan yang terdengar bernada sindiran Jaka itu setajam silet yang menyayat telinga Neta, gadis itu tak terima, sungguh penghinaan yang hakiki!
"Kata siapa?!" pelototnya sampai matanya hampir menggelinding, lantas tangan Neta menyendok nasi dari tempat rice cooker yang telah di taruh di tengah-tengah mereka, tak ada kursi dan meja makan dengan segambreng menu makan malam ala raja, namun duduk lesehan berteman teman nasi seadanya. Jaka sudah mengu lum bibirnya yang berke dut demi melihat si gadis dengan gengsi tinggi itu langsung menyendok nasi.
"Sembarangan! Kamu nyindir aku?" desisnya mengarah pada Jaka.
"Engga, saya ngga nyindir kamu," jawabnya, sementara ibu dan Wulan hanya mesam-mesem ngasin melihat keduanya berdebat.
"Itu tadi! Muka kamu julid gitu!" tunjuk Neta dengan menodongkan centong nasi yang dipegangnya ke arah wajah datar Jaka.
"Muka saya emang kaya gini dari lahir,"
"Emang kamu orangnya nyinyir!" sengit Neta mencibir namun tangannya kini beralih mengambil ayam serundeng dan sambal. Porsi nasi yang diambilnya tak sebanyak tukang becak, hanya satu centong saja.
"Kok sedikit neng?" tanya ibu Sri.
"Ih teteh, emangnya kenyang cuma segitu?" tunjuk Wulan.
"Porsi makan Neta emang segini bu, tiap makan.." Neta mulai menjiwir ayam dan mencocolkannya ke sambel, awalnya ia icip-icip, setelah dirasa pedasnya aman di lambung ia lantas menyuapkan nasi.
"Wah, selamat a..nanti kalo udah nikah irit beras!" tawa Wulan.
Jaka yang sama-sama sedang menyuap memperhatikan gadis ini makan, ia menyunggingkan senyuman tipis.. Sangat tipis ampe kulit ari saja kalah tipis, apalagi saat Neta kembali melemparkan sorot mata sengit padanya, lucu sekali sungguh, menggemaskan. Gengsi yang sebesar dosa koruptor adalah kelemahannya.
Hari sudah lebih dari magrib saat Jaka mengantar Neta keluar dari gang kelinci dimana ia tinggal, hingga sampai di depan bengkel nci Olin.
"Ci, makasih!" Jaka mengangkat tangannya yang dibalas anggukan, "sama-sama, Jak! Besok-besok kalo mau parkir, parkir aja Jak..."
Neta tersenyum seraya mengangguk singkat di samping Jaka saat nci Olin melemparkan senyuman ramah tanda sapaan padanya.
Jaka memarkirkan motornya di sana, lalu kini berjalan bersama Neta ke arah mobil, "sudah malam. Saya antar pake mobil kamu,"
Neta menggeleng dan menepis udara, "ngga usah lah, manja amat mesti dianter-anter. Aku bisa sendiri, kemana-mana tengah malem juga sendiri, ini masih siang!" jawabnya, tapi si pemilik sorot mata hitam itu tak ingin kalah berdebat.
"Saya cuma tidak mau disebut calon suami ngga punya perasaan, terus restu keluarga kamu dicabut lagi." Balasan dengan nada ancaman sukses membuat gadis ini diam dan mikir berkali-kali.
Neta menimbang-nimbang apa yang diucapkan ob ini, ada benarnya juga.
"Bener juga! Pinter kadang-kadang, ya udah nih bawa! Tapi kamu baliknya gimana?" ia menyerahkan kunci mobil pada Jaka sementara ia langsung masuk ke dalam mobil.
"Saya gampang, masih banyak angkot. Atau aplikasi ojol..."
"Oke deh,"
Matanya menatap pemandangan di luar jendela kaca mobil, "besok kamu ngga usah bawa apa-apa, cukup badan sama keluarga aja. Semuanya biar aku yang urus. Nanti di depan kompleks kamu berenti dulu, ambil beberapa hampers yang udah aku siapin buat keluargaku di pos satpam," lirihnya memecah konsentrasi Jaka terhadap jalanan ibukota. Bahkan keramaian jalanan saja tak menjadikan hangat suasana hatinya saat ini.
"Buat apa? Kamu pikir saya ngga punya uang buat beli seserahan?" tanya Jaka, sukses membuat si pemilik mata hazel itu menoleh seraya mengernyit, "ya engga gitu. Kan disini aku yang maksa-maksa kamu buat nikah kontrak, aku yang udah nyusahin kamu, masa iya kamu yang mesti modal juga... Oh iya sekalian buat nanti hantaran kawin, mahar sama segala macam perintilan kawin biar aku yang modal, balik lagi... kamu cukup bawa badan aja sama ibu dan Wulan, ngga usah mikirin biaya." Tambah Neta tanpa memikirkan perasaan Jaka disana, bahkan raut wajah Jaka saja sudah berubah tak bersahabat lalu berdehem mengusir rasa gatal yang mendadak pada ngumpul arisan di tenggorokan.
Ditatapnya gadis di sampingnya itu, "kamu bener. Kamu yang minta tolong dan mau lakuin apa saja agar saya mau bantu dalam pernikahan ini. Makanya sekarang saya mau, kamu ikut aturan saya..." baliknya mengancam Neta.
"Maksudnya?" jujur saja ucapan Jaka barusan bikin otak Neta langsung nge-heng. Jika ia tidak salah kira, lelaki ini sedang mengancamnya atau apa? Jaka yang biasa ia lihat berbeda dengan Jaka yang sekarang sedang berbicara, ia jadi lebih...galak! Aummm!
Dan tepat 2 hari setelah pembicaraan mereka sepulang dari kontrakan Jaka, disinilah mereka berada...
Lengkap dengan pakaian batik dengan di dampingi ibu dan Wulan, Jaka bertandang ke rumah Neta. Meski bukan dari kalangan priyai ataupun keluarga terpandang tapi gestur dan pakaian mereka begitu sopan, *grapyak dan semanak* bikin keluarga Neta jadi nyaman dan senang.
Ibu Neta yang semula marah dan sarkas terhadap Jaka akhirnya bisa menerima semua yang terjadi, justru pihaknya tak lagi sampai bertanya-tanya dengan rencana dadakan menikah ini, meski seringkali ibu Sri mengerutkan dahinya tak mengerti saat ibu Neta mengeluarkan ucapan, *kesalahan terbesar anak-anak*.
"Lebih cepat lebih baik...Niat baik harus disegerakan..."
Hingga akhirnya rencana menikah disepakati kedua belah pihak dan diadakan hanya di KUA, meski ibu Neta sempat tak setuju namun mau tak mau ia harus ikut saja atas keinginan Neta dan Jaka.
Jaka menghampiri Neta yang baru selesai manggung malam ini, dengan pakaian yang masih rapi ia menyerahkan amplop coklat ke tangan Neta diantara temaram cahaya bar, yang mungkin bagi Neta cuma cukup buat jajan 5 hari plus salonan.
"Buat apa?" tanya Neta mengerutkan dahi seraya menatap aneh seolah amplop coklat di tangannya adalah benda asing, like be upil misalnya!
"Uang buat hampers, diatur-atur saja. Saya hanya bisa kasih ini buat selametan. Biar mahar, saya yang bawa." Jaka menatap Neta masih dengan wajah sedingin teras mushola. Kemarin selepas menentukan kapan hari pernikahan bersama keluarga Neta, Jaka langsung pergi ke atm dan menguras tabungan yang ia kumpulkan cukup lama.
"Shhh kan aku bilang---" Neta mendesis hendak memuntahkan seluruh umpatan dan perintahnya namun melihat wajah Jaka yang seperti ubin masjid setengah pembunuh berda rah dingin, ia rasa itu bukanlah ide yang bagus.. Ia terpaksa menelan bulat-bulat semuanya, salah banget! Salah banget kayanya gue minta tolong sama nih orang! Kenapa kesannya jadi kaya nikah beneran? Atau hanya perasaannya saja?!
.
.
.
.
Note :
* Grapyak, semanak : ramah, mudah bergaul, dan menyenangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Riezca Juri
Abang barokah ,,
2024-12-06
0
Lia Bagus
nikah beneran dong si Jaka mah pasti serius ga main main
2024-08-18
0
Ney Maniez
salahhhh,,, nnt juga benerrr😂😂😂
2024-06-13
0