Motor meluncur tak cepat tapi tak lambat juga, bukan Jaka tak mau mempercepat laju mesin berkapasitas 125 cc ini, melainkan tidak memungkinkannya ia melaju layaknya Ianone di jalanan kampung, dengan banyak warga yang melintas dan jalanan terbatas. Lagipula ini bukan sirkuit dimana jalanannya mulus tanpa hambatan, masih ada polisi tidur, lubang, dan tukang gulali yang dikelilingi para bocah sampe tumpah-tumpah ngabisin setengah jalan.
"Ibu nyampe jam berapa di Jakarta?" tanya Neta membuka obrolan, dari tadi rongga mulutnya terasa asam karena jadi orang bisu sekian waktu.
"Tadi subuh," jawabnya singkat sukses membuat gadis ini berohria, dan cukup tau jika Jaka orangnya ngga asik, sepertinya circle pertemanannya pun hanya sebatas dengan sapu dan kain pel. Panasnya cuaca tak serta merta menghangatkan suasana awkward diantara keduanya, lebih tepatnya karena Jaka yang tak mau berbasa-basi sekedar bertanya gimana macet? Atau gimana kabar kamu, masih gila?
Meski tak begitu terasa tapi Neta tau jika kaki lihai Jaka sedang memindahkan gigi, karena tetap saja hentakan perpindahan itu terasa meski tak sehebat guncangan gempa, jalanan mulai menyempit dan padat. Bukan perumahan real estate apalagi komplek dengan griya tawang menjulang setinggi langit, melainkan jalanan pinggiran kota dimana rumahnya berjejer rapat mirip kembar dempet diantara luasnya kota Jakarta. Benar-benar definisi orang pinggiran. Mereka sempat berhenti di salah satu warung ayam serundeng dan membeli beberapa potong ayam goreng beserta tahu-tempe lengkap dengan lalapan dan sambal. Mungkin untuk lauk makan di rumah. Bukan warung sekelas restoran mahal, hanya warung kecil dengan roda etalase lengkap dengan penggorengan dan alat bakar juga bangku kayu yang saling berhadapan untuk pelanggan yang memilih makan di tempat, dimana kalo si mamangnya goreng para pembeli mesti mundur 5 langkah takut kecipratan minyak panas.
***
Jaka benar, gang menuju kediamannya sempit sesempit pikiran para apatis negri, jangankan bisa dilalui mobil miliknya, Neta bahkan sampai harus merapatkan kakinya hingga nempel-nempel ke pa ha Jaka saking takut lututnya tergores dan terbentur-bentur orang yang lewat atau tembok rengginang. Meleng dikit lutut langsung dislokasi. Atau bisa jadi nanti celana bahannya itu yang jadi korban mirip celana gembel. Dan hal positif dari keadaan sekarang adalah ia dapat melihat jelas juga merasakan punggung sandarable Jaka, bau parfum dari pelicin pakaian menguar dari baju yang dipakai Jaka, ada campuran wangi sabun caplox juga disana, itu tandanya Jaka baru saja mandi, tidak sepertinya yang memakai aroma bulgari saat ini. Tapi ada yang berbeda darinya saat ini, rambut Jaka tak seklimis biasanya agak lebih liar meski tetap saja kesan rapinya itu tak bisa jauh-jauh dari pria ini, kok..kok...lucu sihhhh, mata gue siwer brayyy oyyy!
Motor masuk lebih jauh ke dalam gang, dimana deretan bangunan seperti rumah susun atau kontrakan dengan hiasan lap kompor dan jemuran menjadi lattarnya, beberapa warganya berbaur jadi satu di luar rumah.
"Jak!"
"Jak, bawa sapeh?!"
"Jak, bawa cewek kau?!"
Tatapan Neta langsung meneliti penuh deskripsi pada siapa saja yang bertanya di balik kacamata hitamnya, sementara manusia yang mereka tanya mengangguk singkat dengan senyuman tipis tanpa bersuara.
Ia menurunkan kacamata hitam dari hidung bangirnya lalu turun dari motor saat Jaka menghentikan motor tepat di depan deretan kontrakan sederhana.
Sepatu hak tinggi bergaya lancip itu menjejak halaman kontrakan dengan kasar. Pemandangan pertama yang ia lihat selain dari suasana penghuni kontrakan yang jauh dari kata sopan adalah jemuran baju serta dale m4n milik Jaka yang tergantung tepat di gantungan besi, ampun ck!
Pintu kayu putih terbuka saat Neta ataupun Jaka belum berniat masuk ke dalam, sesosok gadis smp dengan senyuman lebar menyambut.
"A!"
"Bawa masuk, buat temen nasi..." ia menyerahkan sekresek ayam serundeng itu ke tangan si gadis, tampak gadis itu tersenyum geli ke arah Neta, "oh ini pacarnya a Jaka, geulis...a!" ucapnya lalu masuk.
"Bu, aa bawa temen nasi!" teriaknya, sebenarnya tanpa harus berteriak pun suaranya akan terdengar mengingat luasnya kontrakan tak lebih luas dari kamar Neta di rumah.
"Masuk, ibu di dalam..." ajaknya tanpa menggandeng Neta layaknya gandeng anak tk.
"Oh iya," gadis itu menurut mengekori Jaka, tapi baru ia menjejak teras kontrakan yang hanya seluas kavling makam, Jaka mendaratkan tatapan melucuti ke arah sepatu yang dipakai Neta seolah sedang mengancam jika si empunya berani melangkah lebih jauh memakai sepatu, maka ia tak segan-segan akan membakarnya sampai gosong.
"Oh, sorry--sorry!" Neta nyengir lebar setengah meringis, kemudian ia membuka sepatunya itu.
"Taruh saja di pinggir dekat pintu biar ngga keinjek anak-anak..." ucap Jaka diangguki Neta.
Jaka membuka handle pintu ruang kontrakan, tak ada yang spesial disini, bahkan duduk pun hanya melantai beralaskan karpet plastik bergambar bocah dan abjad, tak ada televisi mahal segede layar tancep hanya tv kecil yang kalo liat muka artisnya aja mata sampe harus di bulatkan sebesar jengkol, takut ketuker yang mana Dwayne Jhonson yang mana lampu taman. Untuk selebihnya meja kayu kecil untuk sekedar menaruh secangkir teh bagi tamu yang datang, tamu? Neta rasa seorang Jaka jarang bahkan ngga pernah punya tamu.
Ada senyuman ramah dari seorang ibu berjilbab instan, ekor matanya sampai berkerut beberapa lipatan saat ia menarik senyuman pertanda jika wanita itu tidak muda lagi.
"Bu, saya Shanneta Amber..." langsung saja Neta memperkenalkan dirinya tak ingin menunggu Jaka memperkenalkan dirinya, takut keburu negara api nyerang lagi Indonesia.
"Masya Allah, cantik..." kalimat pertama itu sukses bikin hidung Neta terbang menembus genteng kontrakan dan hilang bersama para bidadari surga.
"Duduk neng, tapi maaf ngga ada kursi..."
"Oh ngga apa-apa bu," Neta menggeleng karena memang ia tak begitu peduli, kalo perlu ia jongkok di luar juga ngga apa-apa. Jaka melengos ke arah pintu macam gawang goa, sempit. Dan ia menamakannya dapur.
"Ini ada buah tangan dari ibu Neta buat ibu sama adek," Neta mendorong paper bag berisi kue ke arah ibu Sri.
"Ya Allah sampe repot-repot, sampaikan terimakasih ibu dan Wulan buat ibunya neng Shanneta."
Segelas teh manis hangat tersaji bersama sepiring dodol dan setoples besar berisi kerupuk kulit di atas meja kayu untuk Neta dari tangan lelaki itu, lalu kemudian ia duduk melantai di samping Neta dan ibu yang duduk setengah melingkar menghadap televisi, apa tak bisa ia meminta Red wine dan pizza saja?
"Nama teteh bagus...saya Wulan, adeknya a Jaka..." gadis smp dengan rambut yang dibelah tengah tersenyum mengulurkan tangan pada Neta, gadis itu cukup manis dan terlihat polos.
"Wulan ya, salam kenal Wulan.." jawab Neta.
Pertemuan Neta dengan ibu dan adik Jaka cukup hangat. Neta tak percaya dengan ucapan orang yang bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya, karena buktinya sepanjang obrolan yang sudah ngaler ngidul antara ibu Sri dan Neta, Jaka hanya diam sebagai penyimak saja padahal ibu Sri cukup hangat dan cerewet namun ramah serta baik, 11 12 lah sama Neta yang so akrab so deket.
"Jaka tidak punya apapun yang bisa dibanggakan nak Shannet, pekerjaan apalagi rumah, selain dari tanggung jawab... hanya punya tanggungan ibu juga adik perempuan di kampung," ujarnya kini menatap nyalang ke arah Neta.
"Oh ngga apa-apa bu, saya ngga liat itu," jawabnya. Sementara yang dibicarakan masih mematung tanpa mau bicara layaknya guci antik dari Cina.
Sesekali ia melirik Neta yang banyak bicara seolah sudah mengenal lama dengan Wulan dan ibu.
"Jadi kapan kamu mau bawa ibu ke rumah Shannet, A?" tanya ibunya membuyarkan pandangan Jaka dari televisi yang menayangkan seorang petinggi aparat yang divonis hukuman, volume televisinya benar-benar dikecilkan sampai yang denger berasa lagi nontonin acara berita bahasa kalbu.
Jaka menelan saliva membuat jakunnya naik turun, "terserah Neta, bu." Really! Kan yang punya hajat ya gadis dengan senyuman lebar bak iklan close up yang berada close to you.
"Kok terserah? Memangnya belum ada rencana kapan hari H nya? Lebih cepat lebih baik a.. Mumpung ibu masih disini, biar ngga bolak-balik ke Garut, sayang ongkos..." kekeh ibunya.
"Kalo gitu besok aja, gimana?!" tanya Neta enteng, seolah tak peduli dengan apa yang ada di otak Jaka saat ini.
"Besok?" tanya Jaka mengerutkan dahi, dipikir nikah sejenis piknik ke Ancol? Namun lantas diangguki pasti oleh Neta.
Gadis itu menarik lengan Jaka agar lebih mendekat ke arahnya lalu berbisik di telinga Jaka, "besok aja, terus nikah deh! Biar si habib cepet-cepet hempas! Masalah mahar sama makan-makan mah gampang lah!" ucap Neta dengan santainya dan antusias.
Jaka menolehkan wajahnya ke arah Neta membuat jarak wajah keduanya hanya sepersekian inci saja. Bukannya menjawab Jaka malah meniup wajah Neta yang sejak tadi alisnya naik turun dengan senyuman lebar mirip sales. Matanya membulat sempurna serta bening, begitupun bentukan paras cantiknya meresahkan hati seorang Perjaka.
Fyuhhh!
Neta tersentak sadar, membuat wajahnya cemberut "apa sih?!"
"Muka kamu terlalu deket," jawabnya, padahal di dalam dada sana jantungnya sudah tak dapat dikondisikan, Neta terlalu sering memancing jiwa lelakinya, jujur saja....ia terpesona.
Ibu dan Wulan tertawa kecil nan gemas di depan sana melihat interaksi Jaka dan Neta, "lucu pisan bu..." bisik Wulan, dimana sepertinya Neta begitu mencintai sang kakak, itu terlihat dari ngebetnya gadis ini dan interaksi manis mereka, meski kakaknya itu terkenal kaku bin datar, tapi Jaka terlihat tak menolak.
"Semoga bahagia perjaka..." benak seorang ibu menatap haru, baru kali ini putranya itu mau membuka hati untuk seorang perempuan, karena yang ia pikirkan selama ini hanyalah mencari nafkah untuk ibu dan adik tanpa mau memikirkan dirinya sendiri.
.
.
.
.
Note :
*geulis : cantik.
*pisan : banget
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Weeih kerupuk kulit,makanan kegemaran aku tuh..😋😋😋
2024-12-23
1
Lia Bagus
dasar si Neta mah😅😅
2024-08-18
0
Ney Maniez
kerennn a😎😎,, tulang punggung klrga 👍👍👍👍
2024-06-13
0