Sudah 3 hari Neta beristirahat di rumah, demi memulihkan kesehatan, otak dan hati, tapi bukannya makin sehat ia malah makin gila, karena orang rumah selalu bicara sambil menangis dan bertanya, siapa ayah janin yang dikandungnya? Ngga mungkin ngga ada, kamu pikir ini jaman Siti Maryam?
Ia lelah, bisa-bisa Neta gila selalu dibilang hamil diluar nikah, lebih baik ia keluar saja.
"Mau kemana Neta?" tanya ibu.
"Mau keluar, cari udara buat jaga kewarasan!" Ia melengos dengan sepeda motornya, menghubungi teman sesama DJ, Wening.
*Sruttt*
*Sruputtttt*
Neta menyeruput minuman ice coffe-nya hingga tandas, menyisakan es dan topping bobba. Kalo bisa ia gares bareng gelas-gelasnya sekalian. Otaknya itu ngebul mirip cerobong asap kereta pengangkut tebu di jaman kolonial.
Wening tertawa tergelak mendengar kisah Neta, "jadi lo sakit lambung dikira hamil?!"
"Gue heran, kenapa hasil tespek lo bisa positif Ta? Jangan-jangan..." Wening mulai termakan cerita dengan mengangkat alisnya sebelah setinggi gunung.
"Mana gue tau! Bo do amat lah, ngga pengen mikirin. Kapan job keluar kota? Kalo ada tawaran gue ambil!" ucap Neta menatap lurus ke depan tak peduli dan acuh, memang begitu tabiatnya, selama ia tak melakukan dosa maka ia cuek saja.
"Belum ada, paling nanti bulan depan, sementara masih jadwal rutin Shangri-la club and bar sama Moccachino bar!" jawab Wening.
Neta menghembuskan nafas lelahnya, ia beranjak, "gue mau nyalon aja ah! Pala gue udah mulai botak kebanyakan pikiran!"
Sementara di tempat lain, Syarif tak pernah absen di acara kajian rutinnya, bersama dengan para teman satu grup kajian dari berbagai daerah, profesi ia berkumpul.
"Syarif, bagaimana?" tanya Alwah, seorang seniornya di grup kajian ini.
Syarif menggeleng pasrah, "nihil habib, adik ipar saya tetap bungkam, istri saya bahkan ibu mertua saya sudah angkat tangan untuk bertanya."
Pria berjanggut sekitar 7 cm itu meloloskan nafas panjang, "apakah kamu mengijinkan jika saya yang meminang adik iparmu?" Syarif menatap habib Alwah tak percaya, dosen di salah satu universitas negri itu sampai spechless, saking tak bisa berkata-katanya ia menatap sambil cengo mirip kambing be go.
Habib Alwah terkekeh, "insya Allah, anggap saja saya sedang menyelamatkan marwah adik iparmu, membantu sesama. Saya ikhlas lillahita'ala, insya Allah menjadi pahala untuk saya sekeluarga, semoga saya bisa membimbing adik iparmu till jannah," jelasnya santun terlihat betul keikhlasan dan ketulusan. Setelah melalui pemikiran selama seharian sejak Syarif bicara padanya, ia mulai berpikir keras sekeras batu pondasi dan solat di sepertiga malam.
"Alhamdulillah! Kalau begitu nanti saya sampaikan pada keluarga dan Shanneta, niatan baik habib..."
"Oh iya, mumpung saya ada waktu luang selepas ini. Bagaimana kalau sekarang saya ke rumah dan menyampaikan sendiri pada ibu mertuamu?"
"Oh boleh! Boleh! Kebetulan Shanneta sedang di rumah," angguk Syarif.
Sekitar 3 jam ia keluar dari rumah, Neta kembali dengan keadaan yang sudah sedikit segar dan rambut yang berganti warna cat, jadi ungu ke pink-pink'an biar dikata anaknya terong.
Tapi ia lantas mengerutkan dahi saat melihat di carport ada sebuah mobil lain berjenis SUV, ia lantas masuk tak merasa aneh.
"Mobil siapa nih?! Tumben banget, apa mobil temennya kak Syifa atau mas Syarif?!"
Ia melengkungkan bibir cuek dan menggidikkan bahunya acuh.
Tanpa mengucap salam ia nyelonong saja masuk, merasa masih sangat kesal dengan anggota keluarganya.
Neta menghentikan langkah saat dengan kompaknya mereka mendaratkan tatapan mata ke arah Neta, dilihatnya ada orang lain dengan peci putih, janggut sekitar 7 cm mirip tukang obat habbatusauda hingga tenggorokannya tercekat dan refleks mengucap, "assalamu'alaikum," ia mendadak soleha.
"Wa'alaikumsalam,"
Seorang pria paruh baya duduk di depan Syarif dan Syifa juga ibu, ada 2 cangkir teh manis juga 2 cangkir kopi hitam, setoples rengginang dan sepiring kue bolu brownies kukus menemani mereka mengobrol.
"Neta, sini nak!" ibu melambaikan tangan.
"Kenapa bu?" Neta sudah menaruh curiga pada mereka penghuni ruang tamu, ditambah tuh si pria berjenggot dan berpeci putih malah senyam--senyum anjay kaya orang kesetrum.
"Shaneeta Amber, ini adik ipar saya yang sudah saya ceritakan habib," mas Syarif memperkenalkan dirinya pada si pria yang ngangguk-ngangguk persis kakak tua.
"Neta," angguk Neta judes. Neta memanglah bukan seorang profiler di satuan kepolisian, tapi ia memiliki insting dan kemampuan untuk menilai seseorang, dari roman-romannya melihat habib ini ia mencium wajah-wajah kebelet kawin.
"Shaneeta, ini Habib Alwah...beliau rekan satu kajian mas di pusat dakwah Islam, pemilik showroom mobil dan usaha ternak nila di Jati gede, beliau sudah pernah menikah tapi Allah lebih sayang istrinya hingga cepat dipanggil ke haribaan, meninggalkan satu putra berusia 15 tahun."
"Ikut berbela sungkawa. Terus? Apa hubungannya sama aku?" Neta melirik mas Syarif, ibu, kak Syifa secara bergantian dengan tatapan tajam mendelik.
"Saya sudah tau kisah kamu dari Syarif, Neta. Insya Allah dengan ijin dan ridho Allah, saya mau menerima kamu sepaket dengan janin yang ada di kandungan kamu, insya Allah saya ikhlas lahir batin," ucapnya.
*Nah kan udah gue duga*, *Habib ikhlas, gue engga*!
Neta tertawa tergelak, tapi tak seorang pun disana yang ikut tertawa hingga ia akhirnya tertawa sendiri dan menghentikkan tawa garingnya, ia berdehem demi mengusir rasa tak nyaman, bahkan saat ia membuka mulut terlihat jelas tindikan dan piercing di lidah Neta.
"Gini ya mas habib, atau saya panggil mas ustadz, atau ustadz habib?" beberapa detik mereka terdiam sepi, hingga akhirnya Neta mengambil inisiatif.
"Oke mas Alwah! Saya mau kasih klarifikasi....sebenarnya saya ini ngga hamil, i'm 100 percent virgin! Ya, walaupun orang-orang pasti meragukan mengingat pekerjaan dan pergaulan saya tapi saya pastikan saya ini tidak sedang mengandung." Neta beranjak mendelik pada seluruh anggota keluarganya, tak habis pikir mereka begitu tega ingin menjodohkannya dengan duda anak satu.
"Neta! Net!" ibu dan kak Syifa menyusul Neta yang bergegas ke lantai atas.
"Neta! Yang sopan sama tamu, dia baik mau menerima kamu yang sudah...." Syifa tak meneruskan ucapannya, Shanneta melemparkan tatapan tajam pada kakak dan ibunya itu, ia sudah jengah, "apa? Mau nyebut lagi hamil?! Neta ngga ngerasa hamil! Ngerti bahasa Indonesia ngga sih? Kalo Neta bilang Neta ngga hamil, ya engga!"
*Plak*!
Tanpa sadar Syifa menampar pipi adiknya itu, "sadar atau engga, sekarang di perut kamu ada janin kecil, Neta! Kamu harus menyelamatkan marwah ibu, marwah keluarga, marwah kamu sendiri! Stop membangkang, terima kenyataan dek! Kalau ayah dari janin kamu ngga bertanggung jawab, kamu bilang. Bagi rasa sakit dan kecewamu sama kita," Syifa menangis memeluk adiknya.
Neta melen guh panjang, pipinya terasa panas dan sedikit kebas, "terserah lah."
Neta menutup pintu kasar, dan menjatuhkan badannya begitu saja di kasur, ia juga tak lupa mengunci pintu agar tak ada yang mengganggu termasuk Aqis. Kini ia sudah tak bisa secuek itu lagi.
"Neta bilang ikut saja sama keputusan keluarga," ucap Syifa.
"Alhamdulillah," mereka mengucap sukur.
"Secepatnya saya akan kabari keluarga di rumah, untuk nanti lebih lanjutnya akan saya informasikan pada Syarif, bu. Syukron,"
"Salam untuk Shanneta," ujar habib Alwah.
Terdengar suara deru mesin mobil dari luar pertanda mobil SUV itu keluar dari halaman rumah.
"Apa iya gue hamil ya?" Neta beranjak dari kasur dan melihat ke arah cermin pantulan diri, ia menyingkabkan ujung kaosnya dan menepuk-nepuk perut yang berbunyi layaknya buah nangka matang.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Ya salam kalo iya pun Neta hamil,Apa harus nikah sama yg udah di panggil kakek2 gitu..🤦🤦
2024-12-23
1
Qaisaa Nazarudin
Sembarangan aja Syifa,Mana ada Neta bilang gitu..🤦🤦🙄🙄
2024-12-23
0
Bung Dado
di daerah saya testpack cuma 5.000 perak.
2025-01-29
0